Oleh: Natalius Pigai

Uruguay Round 1994 bahwa kita berkompetisi melalui mekanisme, bukan perang, seperti Game Of Thorn: “ Dunia Sudah Mengalami Pergeseran Paradigma dari Perang ke Kompetitif dan Kini Resiprokal”

Tulisan berikut ini original, ilmiah dan disajikan dengan bahasa populer agar kita mengerti bagaimana Indonesia keluar sebagai pemenang dalam persaingan global melalui Mekanisme Liberalisasi GATT & GATS dalam WTO. Bukan mengeluh seakan-akan kita terhalusinasi dan imajinasi perang dagang jaman baheula.

Dua hari terakhir ini rakyat Indonesia heboh bercerita tentang Pidato Presiden Joko Widodo di Forum IMF di Bali. Kita semua terhipnotis seakan-akan pidato Jokowi yang menganalogikan perdagangan dunia ibarat perang ibarat film fiksi berjudul Game of Thorn begitu hebat. Presiden tidak pahami bawah diawal cerita saja sudah dimulai dengan kamatian Jhon Arryn, Istri King Robert berzina dengan saudara kandung sendiri, Daenerys jual diri kepada Drogo, King Robert dan Stark bergabung merebut kembali kerajaan di selatan. Itulah Intisari film dimana isinya hanya; mengandung nilai amoralitas seperti perang, kematian, jual diri, adik dan Kaka kandung berhubungan badan. Film
tidak patut jadi analogi di pidato terhormat. Karena itu pidato tanpa makna, ibarat alunan dawai tak bermakna.

Bagaimana mungkin Jokowi menganologikan peradangan dengan serial Game of Thrones? kalau menyitir dari pernyatan Sri Mulyani di Nusa Dua, Bali, Sabtu (13/11/2018).

Kondisi persaingan yang dilakukan antar negara maju dianalogikan dengan sebuah serial film Game of Thrones itu tidak tepat. Sangat tidak fokus dan tidak mengena, bagaimana pentingnya kolaborasi dan memberikan kesadaran Menkeu dan Gubernur Bank Sentral seluruh dunia untuk bekerja sama dalam mengurangi dunia perekonomian yang tengah mengalami eskalasi dalam perang perdagangan, capital outflow. Padahal istilah perang dagang itu paradigma lama, kemudian berubah menjadi kompetitif dan kini resiprokal. Bahkan semua sistem dan mekanisme perdagangan sudah disepakati melalui WTO.

Tetapi harus dipahami bahwa Pidato Jokowi di Bali itu hanya sekedar pidato bernuansa politik terkait dengan Pilpres 2019 untuk menunjukkan dirinya luwes, linca membawa orang dalam imajinasi seakan-akan berada dalam dunia gaul dan kaum milenial. Tetapi secara substansial hanya bisa membuat para pemimpin dunia tertawa berbahak-bahak bahwa pemimpin di negara ini kurang memahami persaingan dan kompetisi melalui sebuah mekanisme sistem perdagangan dunia.

Jangan bertanya pada Amerika dan Uni Eropa, justru kita mesti merasa aneh dan banyak orang bertanya bagaimana mungkin negara China Komunis bisa memainkan mekanisme liberalisasi. Inilah rahasia (inner circle) politik dagang China yang tidak banyak diketahui publik juga oleh pemimpin negeri ini.

Saya telah lama diam dan tidak berkomentar mengenai Perpres 20 tahun 2018 Tenaga Kerja Asing. Makin lama makin miris, para kaum oposisi berpolemik politik, kaum penguasa berpanggung sandiwara. Seharusnya pemerintah tidak boleh defensif atas kritikan karena demi kebaikan umum (bonum commune), demi negara (et Patria).

Hari ini seantero negeri ini berpolemik serius tentang hadirnya Perpres 20/ 2018 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA). Kritikan paling menohok dari kelompok oposisi adalah kemudahan dan aksesibilitas bagi pekerja asing untuk mengisi berbagai lapangan kerja yang tersedia di Indonesia. Sementara argumentasi pemerintah terkesan amatir, defensif dan membela diri.

Inti persoalan utama tidak hanya soal petunjuk teknis perdagangan yang tertuang dalam berbagai peraturan dan juga petunjuk pelaksanaan melalui peraturan Menteri terkait yang akan dirumuskan, tetapi masalah yang paling substansial adalah menabrak bahkan melampaui, jauh lebih liberal dari prinsip kepentingan bangsa dan negara yang justru tiap negara diberi keleluasaan menentukan hambatan (barier) di dalam perjanjian multilateral melalui general agreement on trade and tariff and Services (GATS) yang dihasilkan dalam putaran Uruguay (Uruguay Round) oleh World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994.

Pemerintah perlu pahami bahwa Liberalisasi perdagangan bebas bukan berarti sangat liberal dan dunia tanpa batas (borderles nations) seperti yang digambarkan oleh Kunichi Ohmae. Berdasarkan perjanjian GATS dan juga GATT dalam WTO setiap negara diberi kewenangan untuk menentukan kepentingan nasional, salah satunya adalah antara lain Tes Kebutuhan Economi (Economic Need Test/ENT). Tes untung dan rugi bagi kepentingan negara Indonesia. Hal ini berlaku bagi seluruh negara-negara di dunia baik negara maju maupun juga negara berkembang dalam hal ini disebut Free Trade Mechanism (FTM) atau mekanisme liberalisasi perdagangan dunia.

Pidato Jokowi di Bali itu menunjukkan seakan-akan kita berada dalam sebuah perang dunia ke empat sebagaimana disampaikan oleh Marcon. Menurut saya, Jokowi salah besar, karena pemrintah seharusnya melakukan perdagangan barang dan jasa melalui mekanisme permintaan (request) dan penawaran (offer) dari antar negara sebagai mekanisme baku yang dihormati dalam perjanjian multilateral yaitu dirumuskan dalam penjanjian resiprokal dan saling pengakuan (Mutual Recognition Agreement/MRA).

Meskipun hampir seluruh mitra dagang Indonesia mempermasalahkan adanya barier karena dianggap diskriminatif dan berpotensi ke arbitrasi. Sejak awal mitra dagang asing takut jika pemerintah menerapkan beberapa hambatan non tarif karena untuk kepentingan nasional tetapi menjadi persoalannya adalah Indonesia juga tidak pernah membuat regulasi yang kuat yang bersifat proteksionisme. Itulah kelemahan terbesar pemerintah saat ini. Maka ada benarnya jika sumber daya negeri ini bocor, dirampok.

Kalau pemerintah mengikuti mekanisme perdagangan maka sangat mustahil barang dan jasa misalnya katakanlah dari China bisa masuk ke negara kita. Test kebutuhan ekonomi atau ENT tersebut sebenarnya ada pembatasan atau barier untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Persoalan utamanya Pemerintah periode 2014-2019 terkesan tidak nasionalis, tidak mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia khususnya angkatan kerja sudah mencapai 130 juta dan penganggur yang tinggi 7,04 juta orang dan berbagai sumber daya ekonomi yang melimpa.

Memang, kita mesti mengakui bahwa Indonesia adalah negara pengirim dan penerima sebagai mitra dagang (sending & receiving country ), namun kebutuhan masing-masing negara antara tentu berbedah, misalnya TKI Indonesia mengisi jenis pekerjaan yang tidak disukai oleh angkatan kerja Hongkong/China sebagai pekerja rumah tangga. Sementara Indonesia membuka kesempatan kerja bagi pekerja China justru di sektor formal, industri dan manufaktur yang tentu berpatokan yang membutuhkan kualifikasi standarisasi, sertifikasi profesi dan kompetensi.

Namun persoalannya, kita semua tidak mengetahui bagaimana menguji kualitas perdagangan jika Indonesia tidak menentukan hambatan (barier) khususnya melalui test kebutuhan ekonomi (Economic Need Test) tersebut di atas. pemerintah saat ini terkesan mengelola negara ini secara amatiran, kurang profesional. Padahal mekanisme Request & Offer, Economic Need Test maupun juga MRA dalam liberalisasi perdagangan dunia melalui GATT, GATS di WTO diperbolehkan adanya alat filter agar menjaga kepentingan dan kewibawaan negara.

Saya menduga perjanjian bilateral yang dibuat pemerintan Indonesia dengan Pemerintah China dan negara negara lain tidak berdasarkan Mutual Recognition Agreement (MRA) sehingga Indonesia selalu rugi, bayangkan TKI di Hongkong hanya bekerja di sektor informal sebagai pekerja rumah tangga, artinya TKI Indonesia kualifikasinya diturunkan (Down-graded) sehingga perlindungan tidak bisa optimal. Mungkin hal yang sama juga dilakukan disektor non jasa atau disektor perdagangan barang.

Berbagai laporan dan sikap pemerintah cenderung menyetujui negara asing yang justru bertentangan prinsip liberalisasi itu sendiri padahal telah nyata mengganggu prinsip perdagangan pasar yaitu: nondiskriminasi (most favourable nations) dan perlakuan yang sama/ egual (national treatment). Sementara kita memberi peluang besar kepada negara lain untuk melakukan apa saja asal investasi masuk, misalnya dibidang TKA dibolehkan untuk bekerja di berbagai posisi dan jabatan bahkan hampir semua Sekmen usaha. Oleh karena itu, pemerintah jangan marah ketika rakyat menuduh Pemerintah Jokowi benar-benar memanjakan Aseng dan Asing.

Presiden jangan pernah berfikir bahwa dunia ini masih tanpa ikatan, dunia ini telah terikat dalam berbagai peraturan, mulai dari multilateral, regional bilateral yang bersifat mengikat (binding). Kita lihat Dalam perdagangan dunia oleh WTO melalui perdagangan sektor jasa melalui GATS berdasarkan pasal 1:2 pada putaran Uruguay disebut sebagai perdagangan jasa profesi yang masuk dalam Modalitas pasokan 1 sampai 3 (mode of supply) pada Mode 4 yaitu: pemasok asing (cross border supply), konsumen ke negara lokasi pemasok (movement of consumers), membuka usaha di negara pemasok (comercial presence) dan profesional jasa asing (movement of natural persons).

Dalam konteks Ini perdagangan masuk ke Indonesia tanpa melalui ENT maka harapan GATS dimana tiap negara saling menguntungkan dan resiprokal melalui transfer sumber daya (resources transfer ) tidak akan terjadi bagi bangsa kita. Hal ini kontras dengan paradigma liberalisasi mengalami pergeseran dari kompetitif menjadi resiprokal.

Pada saat ini, saya amati, jangankan negara-negara liberal, China yang komunis saja sedang memainkan mekanisme liberalisasi untuk menekan dan menyandera Indonesia. Lihat saja dalam Mode 4 sistem perdagangan jasa berdasarkan GATS ada 4 kategori tekait penempatan tenaga kerja yang disebut temporary labour migration TKA China di Indonesia yaitu: Pertama; Intera corporate transfer yaitu perusahaan China yang menanam modal di Indonesia membawa tenaga kerjanya.

Kedua; Contractual service suppliers yaitu tenaga kerja berdasarkan order.

Ketiga; Business Visitors pengusaha asing yang sebagai pekerja perusahaannya.

Keempat; Individual Profesional, Tenaga Kerja yang memiliki kompetensi. Oleh karena itu maka wajar jika negara komunis China dengan investasi yang besar justru melakukan penetrasi dengan memainkan dan menekan negara-negara miskin termasuk Indonesia melalui mekanisme liberaliasi.

Catatan penting bagi Presiden adalah karena dalam investasi asing kita pasti lebih lunak pada investor Aseng dan Asing yang menawarkan berbagai paket negosiasi mereka, dan para menteri seringkali menjadi kaki tangan aseng dan asing maka sudah seharusnya Presiden memerintahkan para menteri untuk memasukan alat filter (trade barrier) untuk dimasukan dalam Rencana Pembangunan Nasional.

Jangan lagi berpidato bahwa kita berada dalam perang karena semua sistem perdagangan sudah ada mekanismenya. Hari ini dunia sudah mengalami pergeseran paradigma dari istilah perang dagang (trade war), ke persaingan (comptetitif) dan hari ini saling menguntungkan (asas resiprokal atau resiprositas.

Karena itu pidato presiden Jokowi yang disampaikan dalam forum IMF di Bali dengan menganalogikan perang dagang seperti film fiksi Thorn itu hanya sebuah pepesan kosong dan memalukan kita semua!

Penulis adalah Staf Khusus Menakertrans 1999-2004. Tinggal di Lereng Merapi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here