oleh : Andi Naja FP Paraga
Bencana Alam bertubi tubi memporak porandakan Bumi Nusa Tenggara Barat dan disusul Bumi Sulawesi khususnya Sulawesi Tengah, Kawasan Indonesia Bagian Tengah diguncang gempa bumi dan Tsunami begitu dahsyat. Ribuan jiwa menjadi korban, harta benda tidak dapat diselamatkan. Pantai dan pelabuhan tak berwujud bahkan ada desa yang ditelan bumi, kota sekejap menjadi kota mati. Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Sungguh suatu peristiwa yang mengharu birukan Bangsa ini. Indonesia Raya kembali berduka.
Sejenak kita merenung seraya mendoakan seluruh korban baik yang sudah meninggal ataupun yang selamat seraya kita hadirkan kesadaran kita meyakini bahwa hadirnya musibah semata-mata atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa dan kepadanya pula kita berserah diri dan memohon pertolongannya agar kita dapat bangkit kembali dari musibah ini membangun dan melanjutkan kehidupan kita.
Musibah NTB dan Sulteng adalah musibah kita semua tanpa kecuali. Oleh karena itu semua pihak hendaknya saling bergandeng tangan dan mengabaikan kepentingan apapun selain kepentingan mengatasi persoalan ini. Untuk sejenak sebaiknya hentikan hiruk pikuk politik, kebisingan politik Pileg dan Pilpres 2019. Hal ini membuat kita abai akan prediksi – prediksi bencana alam dan tsunami prediksi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pernah dimuat Koran Kompas 31 Mei 2017 dengan judul “Waspadai Gempa Besar di Sulawesi” salah satu alineanya mengatakan ada 44 titik gempa di Pulau Sulawesi dan teridentifikasi ada 12 titik gempa bahkan menyebutkan dengan jelas ‘Palu’ menjadi titik yang paling rawan. Jika kita perduli dengan hasil prediksi LIPI sejatinya Gempa NTB dijadikan signal akan hadirnya gempa Sulawesi.
Mengapa hasil penelitian sebuah lembaga Ilmu Pengetahuan kita sendiri tidak perhakan, bahkan diabaikan. Bukankah seharusnya justru prediksi – prediksi itu menjadi refrensi dan sekaligus mengambil langkah antisipasi terhadap resiko yang lebih besar. Terjadi atau tidak terjadi adalah persoalan lain namun antisipasi terhadap dampak musibah yang telah terprediksi itu tetap harus dilakukan. Anehnya justru media-media barulah meminta pandangan para peneliti setelah musibah terjadi. Justru analisa para pakar itu tak berarti apa – apa lagi bahkan pemirsa televisi berkata ketus:” selama ini kalian kemana”.
Baiklah semua sudah terjadi, NTB dan Sulteng tak berwujud lagi. Namun demikian kehidupan harus kembali dilanjutkan. Mari kita urus korbang yang meninggal untuk dikuburkan secara baik. Mari kita mulai membangun tempat tinggal bagi yang selamat dan fasilitas – fasilitas vital lainnya. Mari berikan bantuan yang diperlukan terutama kebutuhan hidup sehari – hari. Sulit dibayangkan bagaimana mereka bisa tidur lelap ditengah puing-pung besar dan korban yang belum terkubur. Tidak ada yang boleh bekerja lambat, lambat justru akan membuat duka semakin dalam.
Kita menghimbau Pemerintah dari pusat hingga daerah bahkan Swasta serta Lembaga apapun untuk bahu membahu memulihkan keadaan ini. Tentu dengan pemulihan yang terpola dan terprogram. Mari buktikan kita mampu bangkit dari musibah apapun seraya berharap pula Tuhan yang Maha Penyayang menganugrahkan kepada kita semangat dan kekuatan untuk bangkit kembali. Semoga musibah membawa hikmah dan menghapuskan dosa dosa kita.(03/09/28)