Disarikan dari diskusi Rossiana Silalahi dan Narasumber Kwik Kian Gie mantan menko ekuin 1999-2000, Said Didu mantan Sesmen BUMN 2005-2010, Prof Arie Kuncoro Dekan Fak Ekonomi & Bisnis UI, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDI P Andreas Edi Susetio, Deni Puspa Purbasari Deputi III Kantor Staf Kepresidenan dimuat di Youtube pada (9/9/2018).
Prolog oleh Rosiana: kejatuhan nilai rupiah beberapa hari ini menjadi persoalan serius. Presiden Jokowi langsung memanggil para menteri dan gubernur BI membahas masalah tersebut sekaligus mengantisipasi langkah-langkah yang harus dilakukan.
Apa sebenarnya yang terjadi dan langkah apa yang harus dilakukan agar Indonesia tidak jatuh ke dalam krisis seperti Turki, Argentina dan Venezuela.
Menurut Kwik Kian Gie sejak republik ini berdiri rupiah tidak pernah tidak merosot. “Jauh sebelum ini saya sudah mengatakan dollar akan menjadi Rp 15.000, dan akan terus merosot. Saya akan bahas mengapa merosot. Sejak 1945 rupiah terus mengalami kemerosotan dan malah mengalami pengguntingan, 50 persen yang kiri berlaku, yang kanan 50 persen berlaku obligasi paksa yang dikenal istilah gunting Syafruddin Prawiranegara”, katanya.
Ketika republik ini mulai teratur sejak tahun 1970, apabila dibandingkan dengan negara sekawasan seperti Singapura, Filipina dan Thailand. Indonesia mengalami depresiasi (penurunan nilai tukar mata uang) mencapai 4400 persen. Paling buruk dibanding Filipina yang hanya mengalami 767 persen, Thailan 53 persen malah Singapura mengalami Apresiasi (penguatan nilai mata uang). “Ini adalah fakta”, jawab Kwik saat ditanya Presenter Rosi soal apakah ia serius dan tidak sekedar menakut-nakuti.
Menurut anggota komisi XI Andreas yang dari tahun 1995 sampai 2000 dia berada di direksi Bank Niaga. Selaku pelaku sejarah ketika krisis 1998, ia menyimpulkan bahwa kondisi 1998 sangat berbeda dengan 2018.
Andreas juga mengungkapkan bahwa berdasarkan fakta, ekonomi Indonesia masih bertumbuh, tidak banyak negara yang bisa bertumbuh diatas lima persen. Tidak hanya itu, tingkat Inflasi yang terjadi di Indonesia juga rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Dengan jelas tidak, karena kebetulan tahun 1995 sampai 2000 saya menjadi direksi bank niaga, jadi saya mengalami sendiri sebagai pelaku sejarah bahwa kondisinya sangat berbeda dan itu tidak akan sama bahwa kita tidak akan mengalami krisis seperti tahun 98” Kata Andreas Eddy Susetyo.
Selanjutnya, Said Didu, Sekretaris Kementrian BUMN tahun 2005-2010 menjelaskan bahwa ada perbedaan antara krisis 1998 dan 2018.
Perbedaan yang dimaksud adalah terkait kondisi pangan Indonesia.
Masalah yang terjadi di tahun 1998 adalah kondisi pangan tidak stabil sehingga terjadi gejolak sosial yang tinggi sedangkan pada 2018 kondisi pangan cenderung stabil.
Sementara itu, Prof Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ketika ditanyai oleh Rossi tentang apakah krisis 1998 akan terjadi di tahun 2018 dengan singkat dia hanya menjawab tidak.
Berikutnnya, Deputi Bidang kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari, mengatakan bahwa melemahnya rupiah adalah hasil dari konsekuensi yang logis.
“Kalau kita melihat rupiah semakin lemah, ini adalah konsekuensi yang logis,” kata Denni.
Denni juga mengungkapkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi sudah berusaha dengan melakukan structure adjustment seperti membangun infrastruktur, membuat iklim usaha menjadi lebih bagus, dan kualitas sumber daya manusia yang lebih bagus juga sehingga krisis yang terjadi pada tahun 1998 tidak akan terjadi di 2018.(youtube/RP)
(Ruben Panggabean)