SANGATTA SBSINEWS – PT. Bima Palma Nugraha (PT. BPN) adalah perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit yang terletak di Kecamatan Bengalon tepatnya Desa Tepian Baru dangan luas 21.000 Ha dengan jumlah buruh hamper mencapai 1200 Orang yang berstatus Buruh Harian Lepas (BHL).
Sebagai BHL para buruh minta penjelasan kepada pihak manajemen mengenai hak-hak mereka yang selama ini tidak ada kejelasannya. Hak – hak itu seperti cuti haid, cuti melahirkan, UMK, BPKS Ketenagakerjaan, Upah Lembur, Usulan Pembagunan Rumah Ibadah, Usulan Bis Sekolah, Kecelakaan Kerja, Pensiun, tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya (upah tidak masuk kerja karena melaksanakan kegiatan keagamaan) dan lainnya.
Hak – hak buruh yang tidak ada kejelasannya tersebut oleh Pengurus Komisariat (PK) SBSI bersama beberapa buruh menghadap manajemen agar semua hak normatif tersebut dapat di berikan. Namun setelah beberapa kali pertemuan tidak ada realisasi dari manajemen PT. BPN.
Belum selesai urusan hak-hak buruh tersebut pihak managemen menanggapinya dengan melakukan mutasi 108 Orang buruh dari Rayon 5, 6, 7 yang merupakan anggota dan pengurus PK SBSI PT. BPN. Dengan mutasi tersebut Pengurus PK SBSI bersama Pengurus DPC FPPK SBSI Kutai Timur melakukan bipartit guna mempertanyakan alasan mutasi. Pada pertemuan tersebut alas an manajemen adalah karena kebutuhan dan alas an keuangan. Hal ini kami anggap alasan yang tidak realistis.
Pada 2/4/2018 PK. SBSI PT. BPN melakukan pertemuan, managemen di wakili Andri bagian HRD dan Ari Martanta (Askep Afd 7). Dalam pertemuan itu ada kesepakatan lisan bahwa mutasi akan di bicarakan lebih lanjut, akan tetapi pada tanggal 3/4/2018 mutasi tersebut tetap di lakukan. Sebagai Pengurus PK SBSI PT. BPN Rikardus YN. Ento. S.Psi kepada SBSINews menyatakan sangat menyesalkan tindakan managemen yang tidak konsisten terhadap kesepakatan, Dia menilai ada upaya memberangus kebebasan berserikat dan adanya diskriminasi karena dari 108 buruh, 90% anggota SBSI.
Berdasarkan PP Nomor 08 Tahun 1981 pekerja mengunakan haknya untuk istirahat kerja. Adanya pekerja karena dijamin undang – undang, manajemen mengangap bahwa istirahat kerja tersebut diinstruksikan oleh pengurus PK SBSI. Denganadanya anggapan tersebut maka pengurus PK SBSI Yohanes Ano, Macelino Arifin dan Hendrikus Husen menghadap manajemen untuk melakukan klarifikasi. Naas bagi Mereka. Mereka di PHK dengan alasan melakukan kesalahan kesalahan berat yaitu memprovokasi pekerja untuk berhenti bekerja.
Dalam Mediasi di hadapan mediator kuasa hukum menegaskan agar mereka di pekerjakan kembali. Hal ini karena kesalahan berat yang menjadi alasan PHK tanpa didahului oleh putusan pengadilan yang menjadi bukti adalah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 012/PPU-1/2003, namun manajemen perusahaan tetap meminta ke mediator untuk menyatakan sah PHK yang dilakukan dengan alasan telah melanggar Peraturan Perusahaan PT. BPN Pasal 25.
Karena tidak terjadi kesepakatan maka Mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kutai Timur menganjurkan kepada pihak managemen untuk membayar Pesangon dan hak-hak lainnya kepada Yohanes Ano dan kawan-kawan.
Melihat proses PHK seperti ini Netty H. Saragih, SH. Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Pertanian Perkayuan dan Konstruksi menyatakan bahwa penerapan Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak maksimal. Mediator sebagai perwakilan pemerintah tidak mampu untuk mempertahankan serta mengupayakan buruh untuk tetap bekerja. Atas tindakan manajemen tersebut selaku Pengurus Pusat akan menutut dua kali Pasal 156 ayat 2 dan ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 di Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial Kalimantan Timur. (Hendrik Hutagalung)