Oleh Muchtar Pakpahan
Natalius Pigai adalah salah seorang pembicara dalam diskusi REFLEKSI HUT TI ke 73. Natalius dalam uraiannya menyatakan bukan revolusi mental nelainkan revolusi nguntal.
Pigai menerangkan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam empat tahun kepemimpinan Jokowi, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,82 persen. Hanya turun sangat sedikit dari sepeninggalan Presiden SBY, dimana pada 2014 diakhir masa jabatannya angka kemiskiman 10,96 persen.
Hanya turun 1 persen kemiskinan selama 4 tahun, pundi – pundi orang kaya bertambah 10%/tahun, pengusahan hanya tumbuh 0,3 persen. Pada hal sejak Jokowi berkuasa menghabiskan APBN 7000 Trilyun.
Ironi di negeri kaya raya. Kemiskinan tetap tinggi, pengangguran dimana2, angkatan kerja menumpuk, mereka lalu lalang sambil tenteng tas menyeberangi jembatan tanpa sungai di kota metropolitan. mereka lalu lalang dari kantor ke kantor mencari sesuap nasi untuk kehidupan. Sementara pemerintah menutup pintu dan peluang kerja konon katanya “Moratorium” penerimaan CPNS sejak 2014, disisi lain pemeintah tidak mampu mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor swasta. Kampung saya di Paniai, pedalaman Papua saja sudah mencapai 6 ribu penganggur dari jumlah penduduk hanya 100 ribu. Belum lagi di tempat lain seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mencapai jutaan penganggur.
“Bukan revolusi mental, tapi revolusi nguntal. Dia (rakyat) cari makan sendiri, makan sendiri, ditelan tanpa ngunyah itu nguntal namanya. Hasilnya dari rilis BPS, Jokowi meninggalkan kemiskinan 9,82 hanya turun satu digit selama 4 tahun,” jelas Pigai.
Tingginya angka kemiskinan di Indonesia, lanjut Pigai, dikarenakan penyebaran anggaran yang tidak merata. Sebab anggaran negara lebih diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur yang dianggap tidak bias menyerap tenaga kerja.