World bank dalam laporannya mengatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini harga beras indonesia lebih mahal dari negara ASEAN. Data bulan juni 2019, menurut Food and Agriculture Organizations (FAO) , harga internasional beras ekspor kualitas bawah (varitas white rice 25% broken) dari Thailand sekitar Rp 5.395. Kemudian, harga beras kualitas sama dari Vietnam sekitar Rp 5.324/kg. Sedangkan, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga beras dalam negeri kualitas bawah I yang termurah yakni di wilayah DKI Jakarta Rp 8.200/kg.
Mengapa kita kalah bersaing dengan Thailand dan Vietnam. Pertama karena topographi lahan tidak semua rata seperti Thailand dan Vietnam. Kita negara kepulauan yang otomatis biaya logistik jauh lebih mahal dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam. Kedua, lahan sawah yang dimilik petani rata rata 0,5 hektar. Dan sebagian besar mereka adalah penyewa tanah dari tuan tanah. Dengan lahan terbatas dan sewa, sangat sulit petani bisa efisien. Andaikan alat produksi dengan mesin, tetap saja tidak efisien. Jadi cara kerja konvensional itu lebih karena keterbatasan lahan.
Masalah keterbatasan lahan ini sudah dicermati oleh semua kader PDIP. Makanya PDIP paling nyiyir soal janji SBY akan melakukan reforma 9 juta hektar lahan pertanian. Dan disaat PDIP sukses menempatkan kadernya, Jokowi sebagai presiden, program reforma agraris itu menjadi agenda utama PDIP. Tapi setelah 7 tahun Jokowi berkuasa. Apa hasil dari Reforma Agraria itu? masih jauh dari harapan. Kendalanya lebih kepada lemahnya ketentuan yang diatur dalam Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Sebenarnya, andaikan sukses juga reforma agraria itu, masih ada kendala serius untuk memakmurkan petani. Apa itu ? keterbatas lahan dan tekhnologi serta pasar. 70 tahun lalu China melakukan reformasi agrarias yang radikal. Tetapi tidak bisa mengubah kemiskinan jadi kemakmuran. Mengapa? karena jumlah komunitas yang besar dan terbelakang dalam segala hal. Jadi tidak bisa diserahkan kepada petani begitu saja atau diatur dalam tata niaga lewat koperasi. Jadi bagaimana cara china keluar dari benang kusut sektor pertanian? Inilah yang mereka sejak tahun 2008.
Lahan pertanian yang ada pada satu desa, ditentukan apa yang bernilai ekonomi untuk di tanam. Kemudian, lahan perorangan itu disatukan sebagai estate food. Hak akan tanah berubah dalam bentuk penyertaan saham. Dengan lahan yang luas, dalam satu management , tentu tidak sulit bagi petani untuk mendapatkan sumber pembiayaan untuk mekanisasi pertanian dan biaya produksi , SDM. Kemudian pemerintah memberikan insentif membangun pusat stockist dan logistik. Sehingga stok tersedia, logistik terjamin akan mendorong lahirnya ekosistem bisnis, seperti industri pengolahan ( agroindstustri).
Kini China telah berhasil memproduksi seperempat biji-bijian dunia dan memberi makan seperlima populasi dunia. Padahal lahan subur mereka hanya 10 persen dari lahan subur dunia. Saat ini, China menempati urutan pertama di dunia dalam hal produksi sereal, kapas, buah, sayuran, daging, unggas, telur, dan produk perikanan. Jumlah petani Cina yang hidup di bawah garis kemiskinan juga turun drastis, dari 770 juta menjadi 5,5 juta selama 40 tahun terakhir.
Sederhana saja ya caranya. Itu kalau dikerjakan. Menjadi rumit kalau dibahas, apalagi diseminarkan. Karena terbukti sekian puluh tahun kita sibuk membahas nasip petani namun tidak juga berubah. Ada ribuan sarjana pertanian. Petani tetap jadi komunitas yang buram, Kalah dalam segala hal. Yang berubah nasibnya adalah oligarki bisnis dan politisi.
(ANFPPM)