INSENTIF PPDS; ISSU LAMA, KISAH BARU

Iqbal Mochtar

Tiba-tiba issu insentif PPDS menyeruak kembali. Sekedar info : PPDS adalah Program Pendidikan Dokter Spesialis, yaitu program sekolah atau training bagi dokter yang ingin menjadi spesialis. Pemicunya adalah statemen Menteri Kesehatan yang katanya kaget mengetahui peserta PPDS tidak diberi insentif. Padahal mereka bekerja dan melayani pasien di rumah sakit. Menkes berjanji akan membuat program yang memberikan insentif bagi PPDS. Bukan hanya itu, Menkes juga berjanji akan memberi bayaran atau insentif pada dokter lulusan luar negeri yang akan beradaptasi di Indonesia.

Untuk memuluskan ini, Menkes berinisiatif membuka program PPDS berwahana rumah sakit (hospital-base). Dengan model ini, peserta PPDS dianggap bekerja dan berhak mendapat bayaran atau insentif. Sampai disini semua terlihat keren.

Paradoks muncul ketika mulai merujuk ke Undang-undang.

Ternyata issu insentif PPDS bukan issu baru. Itu issu lama. Dalam UU Pendidikan Kedokteran Nomor 20 tahun 2013 masalah ini telah dibahas. Pasal 31 menyebutkan bahwa mahasiswa PPDS memiliki hak untuk memperoleh insentif; dimana ketentuan terkait insentif ini diatur dalam Peraturan Menteri. Jadi sebenarnya, sejak tahun 2013, UU telah mengamanatkan bahwa setiap peserta PPDS berhak mendapat insentif disamping hak-hak lain.

Peraturannya sudah ada sejak 10 tahun lalu. Seharusnya, setelah 10 tahun diundangkan, pelaksanaannya sudah lancar dan semua PPDS mendapat insentif.

Kenyataanya, hingga kini PPDS tidak diberi insentif atau bayaran. Artinya, 10 tahun hak mereka terabaikan. 10 tahun pemangku kebijakan tidak mengimplementasikan UU. Mengapa bisa terjadi? Apakah ada ganjalan pada pihak Kementerian, Universitas, Rumah Sakit atau Program Pendidikan? Seharusnya ini yang ditelisik Kemendikbud dan Kemenkes, yaitu mengecek mengapa dan pada level mana terjadi penyimpangan ini. Bukankah amanat UU harus dijalankan?

Ada yang berkomentar bahwa insentif tidak bisa diberikan bila tidak ada gaji. Alasannya, insentif adalah tambahan terhadap gaji. Padahal sebagian besar peserta PPDS tidak memiliki gaji. Mereka sekolah dengan biaya sendiri; mereka tidak digaji. Artinya, insentif tidak bisa diberikan kepada sebagian besar peserta PPDS.

Komentar lain, issu insentif adalah kong-kalikong dalam UU. Dibuat tampak keren; seolah ada insentif namun insentif ini tidak bisa dibayarkan karena mereka tidak memiliki gaji.

Bila ini benar terjadi, ini sangat tidak manusiawi. UU dibuat untuk memberi proteksi dan kesejahteraan kepada PPDS; bukan untuk mengibuli mereka. Bukan untuk lip service. Kalau mau memberi insentif seharusnya UU nya dibuat dengan niat baik memberi. Bukan ditawarkan sebagai hak dan kemudian tidak diberikan dengan alasan tertentu. Ini namanya ‘cheating’.

Yang juga aneh adalah pernyataan Menkes yang menggebu-gebu ingin memberikan insentif PPDS. Seolah ini adalah program baru yang lukratif. Seolah-olah Menkes membuka pintu kesejahteraan PPDS. Padahal PPDS tahu bahwa insentif itu adalah hak mereka yang seharusnya sudah sejak lama diberikan. Mereka tahu bahwa pemerintah berutang kepada mereka.

Jadi yang seharusnya dilakukan Menkes bukan ‘me-launching’ sebuah program baru tetapi ‘menelisik’ sebuah peraturan yang tidak dijalankan selama lebih 10 tahun. Dilakukan investigasi penyebab tidak diberikannya insentif kepada PPDS dan mencari solusinya. Kasarnya, lakukan upaya serius untuk menjalankan UU yang ada.

Masalahnya, apakah benar pemerintah ingin memberi insentif PPDS? Benar-benar serius dan ikhlas? Jangan-jangan benar bahwa issu insentif hanya sebagai lip service saja. Atau ada niat dan rencana memberi tetapi duit membayarnya entah darimana. Ada kendala antara das sain dan das solen. Kita tunggu saja episode selanjutnya ‘drama kronis’ ini.

Komentar saya:

Kita ikuti model Malaysia saja yang sudah dibangun sejak tahun 1977 dengan hasil sangat memuaskan.

REDAKSI SBSINews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here