Proses penetapan upah minimum (UM) 2023 akan dilakukan di bulan Nopember 2022 ini oleh semua Gubernur. Seperti biasa, Menteri Ketenagakerjaan akan mengingatkan para Gubernur untuk menetapkan UM 2023, baik UM Propinsi maupun UM Kabupaten/Kota, sesuai rumus yang dituliskan dalam Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) PP No. 36 Tahun 2022 tentang Pengupahan.

Mengingatkannya dengan mengedepankan alasan bahwa UM merupakan Program Strategis Nasional (PSN) yang wajib dipatuhi para Gubernur. Kalau Gubernur tidak patuh pada rumus di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tersebut maka Gubernur akan “disangkakan” tidak mematuhi PSN sehingga bisa disanksi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Proses penentuan UM dengan menggunakan Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) hanya membutuhkan data-data dari BPS yaitu data Rata-rata Konsumsi per Kapita, Rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART), Rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga, Inflasi Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah.

Dengan lima variable data tersebut maka dapat dihitung kenaikan UM 2023. Bila Batas Atas (BA) lebih kecil dari UM 2022 maka dipastikan tidak ada kenaikan UM di wilayah tersebut. Dengan rumus di Pasal 26 tersebut, ada beberapa kabupaten/Kota yang UM-nya tidak naik di 2022.

Jadi dapat disimpulkan bila penentuan UM 2023 masih menggunakan rumus-rumus di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) PP No. 36 Tahun 2022, tidak ada dialog secara tripartite yang bisa dibangun baik di tataran pusat maupun daerah.

Dalam pemberitaan hari ini Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan pemerintah masih menunggu hasil dialog secara Tripartit, yang melibatkan pengusaha dan buruh serta Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) untuk memformulasikan perhitungan terkait upah minimum (UM) 2023. Lebih lanjut Menaker menyatakan, namun demikian, kebijakan pengupahan tahun 2023 dipastikan akan mengacu ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021.

Saya menilai pernyataan Menaker tersebut sebagai pernyataan tanpa makna dan sangat sumbang. Bagaimana bisa ada dialog yang diharapkan Menaker ketika Menaker sudah memastikan perhitungan UM 2023 menggunakan rumus Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021? Apa sih yang dimaksud “Dialog” oleh Menaker pada pemberitaan tersebut?

Kalau dialog secara Tripartit hanya dimaknai sebagai sebuah pertemuan untuk melegitimasi perhitungan rumus yang ada di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), saya nilai itu bukan dialog. Itu sekadar pertemuan untuk ngopi bareng saja.

Saya berharap Ibu Menaker mau menjelaskan kepada public tentang “dialog” dalam penetapan UM 2023 sehingga public tahu apakah memang dialog yang dimaksud benar-benar dialog yang membuka ruang kesepakatan diantara Dewan Pengupahan Daerah atau hanya suara sumbang Bu Menaker.

Pinang Ranti, 11 Oktober 2022

Tabik

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here