Kasus pembunuhan ajudan jendral polisi mengembet ke Dewan Pers, lembaga yang menaungi media massa, yang saya hormati. Petinggi Dewan Pers, sebagai benteng terakhir media massa dan wartawan itu telah melakukan kesalahan fatal yang tak hanya merusak integritas pers melainkan juga merusak kinerja kewartawanan. Serta merusak lembaga tertinggi pers. Mempermalukan korps jurnalistik.
Bayangkan, seorang petinggi Dewan Pers meminta agar para wartawan hanya mengutip sumber resmi saja.
“Insan pers seharusnya menulis penjelasan dari Mabes Polri tanpa berspekulasi lebih jauh, ” begitu permintaan petinggi Dewan Pers itu.
“Informasi harus betul-betul dilihat secara profesional. Jangan ada spekulasi,” tambahnya.
Selain itu, memenuhi permintaan pengacara keluarga jendral, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakkan Etika Dewan Pers itu meminta agar wartawan berempati pada keluarga jendral.
Wartawan diminta menunjukkan pemberitaan yang bersemangat empati – katanya.
Jurnalisme empati bukan ditujukan kepada keluarga yang kehilangan brigadir J, yang tewas dengan cara yang sangat brutal dan tragis. Melainkan kepada petinggi Polri yang masih hidup karena trauma.
“Bagaimana pun, keluarga mempunyai tiga orang anak yang masih berusia muda, dan ini yang menimbulkan dampak yang luar biasa apabila teman-teman pers tidak mengindahkan Kode Etik Jurnalistik,” ujar petinggi DP itu.
Bagi jurnalis / wartawan, imbauan petinggi dewan pers itu merupakan kesalahan mendasar. Fatal. Memalukan. Skandal. Bahkan berpotensi tindak pidana, yaitu melanggar UU Pers no.40 tahun 1999. Khususnya pasal 18, yaitu: barang siapa menghalang halangi tugas wartawan maka dikenai pidana penjara dua tahun dan denda Rp. 500 juta.
Sebab, Undang Undang Tentang Pers Pasal 4 menegaskan:
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Ada ancaman pidana bagi mereka yang menghalangi tugas wartawan dan mencari berita untuk mendapatkan kebenaran. Sebagaimana tertulis pada Bab VIII / Pasal 18 :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
MAKA – tak pelak, para “jurnalis tegak lurus”, wartawan idealis, pelatih reporter baru di media massa, baik koran, majalah, media cetak maupun elektronik, juga kini online, mengecam itu. Murka.
Ketua Pertimbangan PWI Pusat Ilham Bintang menyebut imbauan Dewan Pers itu “Dungu!” Kecaman yang sangat keras dan tak biasanya dari jurnalis kawakan yang gigih memperjuangkan wartawan dan kewartawanan.
Sejatinya memang, sikap dasar yang ditumbuhkan oleh setiap wartawan – utamanya para pemula – dan dirawat oleh para senior dan petingginya adalah ‘Skeptis’.
Kewajiban pertama wartawan adalah ‘Skeptis’ : mempertanyakan semua informasi yang dia terima dari narasumber. Tak mudah percaya.
Wartawan tidak boleh serta merta menerima informasi yang diungkapkan oleh narasumber. Khususnya sumber resmi, pemerintah dan lembaga.
Harus mempertanyakan: Benarkah? Seberapa valid?
Selanjutnya, mencari argumennya, data dan fakta pendukungnya, dan menguji kebenarannya. Menelusuri dan mendalaminya, melakukan cek dan ricek ke pihak lain; pihak yang berperkara / bersengketa – untuk mendapat keseimbangan (“cover both side”) dan berimbang (“balance”) serta mencari kepastian dari sumber sumber lain yang kompeten. Para ahlinya.
Dalam kasus Irjen Pol. Ferdy Sambo, petinggi Dewan Pers tersebut langsung menggergaji, memangkas prosedur itu, dan melompati logika : kutip keterangan sumber yang resmi saja! Jangan berspekulasi.
Hanya menulis berita berdasarkan keterangan resmi ?
TAHUKAH ANDA? Jika Anda seorang wartawan dan hanya mengutip keterangan dari sumber resmi, maka otomatis Anda kehilangan jiwa dan jabatan kewartawanan Anda.
Dengan hanya mengutip sumber resmi , Anda turun pangkat menjadi juru tulis dan juru siar. Tukang ‘upload’. Mengikuti apa maunya pembuat dan penyebar ‘press release’ (siaran berita).
Di masa lalu, khususnya di awal 1980-an, siaran pers atau ‘press release’ disebut sebagai lembaran sampah. Hanya layak dilihat sekilas, untuk dibuang ke tong sampah. Jadi bungkus gorengan. Wartawan yang mengandalkan rilis, wartawan kasta terendah dalam rantai produk jurnalistik.
Massa itu isi ‘press release’ hanya berisi berita keberhasilan, khususnya keberhasilan negara, pemerintah dan lembaga swasta yang sering jauh dari kenyataan. Juga cerita program sukses, baik pemerintah maupun swasta. Banyak penipuan, cenderung menyesatkan, angkat telor, puja puji, sehingga dalam hitungan menit jadi tong sampah.
Kini press release sudah disusun lebih baik. Banyak wartawan senior yang memberikan pelatihan kepada humas pemerintah dan swasta yang membuat pers rilis / siaran berita seperti yang diinginkan media.
Namun bagaimana pun dalam pers rilis tak ada berita buruk. Kecuali press release yang menyerang pihak lain – biasanya dari LSM – sesuai agendanya.
PATUT DIDUGA, apa yang disampaikan oleh petinggi Dewan Pers bukanlah kekhilafan – “slip of the tounge”. Melainkan kesengajaan. Begitulah pergunjingan di kalangan wartawan senior ibukota, rekan dan sahabat saya: menunjukan dengan kasat mata, Dewan Pers terkooptasi, kena telikung, ditundukkan oleh korps petinggi Polri.
Benteng terakhir para jurnalis dan insan media itu, telah dilemahkan.
Petinggi Dewan Pers, yang seharusnya menjaga marwah mahkamah tertinggi para jurnalis, tega mengamputasi kaki sendiri.
Kini para “wartawan tegak lurus”, yang mempertahankan idealisme jurnalistik, menggugatnya. Membahas serius dan siap melakukan aksi. Penggalangan kekuatan untuk memberikan peringatan, tinjauan dan mengusut skandal ini.
Hal yang lebih mengerikan, lobby pejabat Polri ke petinggi Dewan Pers tak berhenti hanya di Kebon Sirih saja, dimana Dewan Pers berkantor. Melainkan juga dilakukan pihak lain yang terkait.
Sumber anonim yang saya terima mengungkapkan, konglomerat media ternama, yang juga politisi, juga ikut sibuk melakukan pendekatan (lobby) ke para jurnalis senior aliran “tegak lurus” (idealis) untuk meredam kobaran skandal dari rumah Irjen Polri itu.
Diungkapkan pula bahwa Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakkan Etika itu merupakan utusan / kaki tangan / kepanjangan kepentingan grup media milik konglomerat itu.
Bisnis sang konglomerat tergantung penjagaan centeng dari aparat. Kini ketika internal aparat bermasalah, mereka dikerahkan sebagai pemadam kebakaran.
Lembaga pers yang berkantor di seberang jalan – hanya sepelemparan batu jaraknya di Kebon Sirih itu – menjadi sasarannya.
Penulis
Supriyanto Martusuwito