Dialog Kebudayaan bersama dihadapan Pekerja Seni Kampus Makassar dari berbagai Universitas bersama Penulis Kitab Assikalabineng sekaligus dosen Sastra Unhas yaitu Bapak Mukhlis Hadrawi dan juga Rijal Jamal sang Ahli Pantun Kritis plus Aktifis Konten Kreator.
Dan, Ayahanda Mukhlis Hadrawi saat bicara menyampaikan kesannya sewaktu menghadiri malam pernikahan saya ke segenap yang hadir, khususnya kepada kanda rijal jamal, bahwa saya ini gila , gila dalam arti bisa bisanya malam pernikahan yang di bugis di isi acara begadang dan permainan domino tapi ia lakukan seminar dan bedah buku kitab assikalabineng yang dihadiri oleh mahasiswa, pemuda desa, dan warga.
Sebenarnya , apa yang al faqir lakukan dimalam pernikahan tersebut adalah satu upaya melakukan rekonstruksi budaya yang menurut hemat diri kurang produktif ke arah yang produktif ( intelektual dan moral).
Budaya berasal dari kata bahasa sansekerta budhayyah yang secara akar ( jamak) ia berarti akal budi.Penggunaan akal budi dalam filsafat ialah meliputi aspek logika ( benar salah) , etika ( baik buruk) dan juga estetika ( indah jelek), atas dasar ini, bisa dikatakan bahwa budaya adalah hasil refleksi akal budi manusia maupun ekspresi jiwa sadar dengan memperhatikan nilai nilai logis, etis dan estetis.
Namun, perlu diketahui bahwa dalam konteks budaya lokal, semuanya identik dengan nilai nilai spiritual seperti dalam tradisi mappadendang dalam tradisi Bugis, yang selain sebagai media silaturahmi penduduk desa ( sesama petani) juga adalah suatu ungkapan syukur kepada pencipta atas karunia-Nya.Dalam tradisi wayang pun oleh para Walisongo khususnya sunan kalijaga dijadikan instrumen untuk memperkenalkan nilai nilai religius dan moral ( akhlak) islam.
Sehingga bisa dikatakan bahwa identitas budaya lokal selain memiliki aspek spiritual yang terkait nilai nilai ketuhanan ( trasenden ) juga terkait dengan nilai nilai sosial humanis.
Mungkin satu persoalan mendasar dewasa ini terkait basis kebudayaan kita adalah dikotomi budaya lokal dan budaya modern.
Apakah kita harus bertahan dengan budaya lokal namun dinggap ketinggalan zaman, ataukah kita harus meninggalkan nilai budaya lokal demi kemajuan ?
Persoalan lain adalah dalam budaya modern kita membeo tanpa memfilter nilai nilainya sehingga banyak membuat kita kehilangan jati diri dan identitas budaya sendiri.
Persoalan lain pada budaya lokal, Kita dituntut untuk terus menjaga dan melestarikan basis kebudayaan lokal, namun disatu sisi kita kehilangan dasar epistem, ontologis dan dimensi aksiologis budaya ( nilai nilai kebudayaan) tersebut sehingga hanya menjadi ritual ritual belaka.
Semisal pada malam itu ditampilkan tarian empat etnis, tentu tarian itu bukanlah terkait estetika ( keindahan) dalam arti artifisial ( Indrawi) namun ia juga menampakkan keindahan filosofis yang bermakna keteraturan, keseimbangan antara gerak tubuh, irama gendang, yang terkait ekspresi keteraturan alam semesta, sisi lain menjelaskan berbagai suku yang berbeda bisa hidup damai dam Harmoni, tentunya, tarian empat etnis tersebut memberi nilai edukasi moral kepada kita agar ke depannya sebagai generasi muda kita bisa bersatu meski beda suku, sehingga dimakassar kita tidak mendengarkan lagi adanya isu perang mahasiswa antar suku/daerah.
Jadi, budaya itu perlu di interpretasikan kembali secara filosofis, dan pada sisi lain menarik pesan pesan moral secara kontekstual, dengannya pagelaran budaya bukan semata pertunjukan tetapi juga adalah media edukasi sosial kemasyarakatan.
Dan terakhir, hemat al Faqir, baik budaya modern maupun budaya lokal, kriteria nya bukan pada bentuk artifisial semata, tapi juga pada persoalan apakah budaya itu mampu memanusiakan kita dalam arti memiliki kandungan nilai spiritual ,estetik, etis ( akhlak), logis ( intelek), juga terkait nilai nilai sosial humanis yang ada ( bagaimana suatu budaya menunjang dimensi solidaritas sosial, persatuan, gotong royong, saling memuliakan dan menghargai satu sam lain).
Masih banyak point tidak kami uraikan termasuk dinamika pertanyaan dari audiens.
Penulis
Akhmad Ali Abdillah
PPM Muthahari – Makassar