Zaman dulu cerita mudik kita biasa diwarnai dengan masalah calo tiket kereta. Ulah para calo tiket ini memang menyebalkan sekali. Saya termasuk salah satu korbannya.
Susah membuktikan mereka bekerjasama dengan ‘orang dalam’, tapi faktanya penjualan tiket di loket begitu cepat habis, padahal antrian panjang mengular.
Di saat semua orang butuh tiket kereta mau mudik atau arus balik, berkeliaran lah para calo tiket menawarkan tiket. Tentu hargannya jauh lebih tinggi, sampai dua tiga kali lipat dari aslinya.
Calon penumpang hanya bisa misuh-misuh sendiri, tinggal pilih, mau teruskan perjalanan atau balik kanan grak.
Jelas sangat tidak mungkin calo ini bekerja secara individu, pasti berjamaah alias ada mafianya.
Lucunya penjualan tiket liar lewat calo ini sebegitu maraknya, sementara dimana-mana dipasang spanduk himbauan jangan beli tiket lewat calo.
Teman saya bilang bahwa yang pasang spanduk itu justru para calo. Sengaja dipasang agar terkesan upaya pemberantasan calo tiket kelihatan sudah dilakukan. Buktinya spanduknya ada dimana-mana tuh.
Kesannya bukan tidak ada tindakan, tapi belum maksimal. Padahal sebenarnya praktek percaloan tiket tetap jalan terus dengan aman dan lancar jaya.
Dan begitulah, banyak orang terpaksa jadi korban pemerasan para calo tiket. Uang yang mereka dapat dengan peras keringat banting tulang, ludes dijarah mafia calo tiket.
Itulah sekelumit kisah duka dari lembar sejarah zaman Jahiliyah perkereta-apian kita dulu.
* * *
Bagaimana lantas calo tiket akhirnya bisa lenyap?
Prosesnya pasti berbelit dan kompleks, tapi yang ingin saya soroti dalam hal ini ketika ada keseriusan dari managemen sendiri.
Pembenahan dilakukan secara menyeluruh, tidak tambal sulam dan sistem penjualan tiket yang jadul itu pun 100% diganti total.
Kebetulan juga pas kita sudah masuk zaman online. Maka dibuatlah pola bahwa calon pembeli tiket tidak perlu datang ke stasiun sekedar untuk mengantri tiket semalaman di depan loket. Cukup pesan online dari rumah saja.
Dengan cara itu, kesempatan pertemuan fisik antara calon pembeli tiket dengan para calo tidak terjadi. Stasiun KA tidak lagi menjual tiket, semua tiket hanya bisa dibeli secara online dua tiga bulan sebelumnya.
Jadi ngapain juga kita cari tiket ke stasiun. Tinggal para calonya bengong, kok sepi nggak ada yang beli tiket. Pada kemana orang ya? Datang-datang sudah pada punya tiket semua? Plonga-plongo saja tuh para calo kebingungan.
Tambah lagi semua stasiun KA dibuat steril dari siapapun. Yang boleh masuk ke peron hanya penumpang yang punya tiket dan sudah jam keberangkatan. Itu pun nama di tiketnya harus seusai nama di KTP. Para pengantar dan penjemput hanya boeh sampai pintu masuk stasiun.
Degan begitu, nyaris semua celah yang biasa dimanfaatkan mafia dan para calo sama sekali tertutup rapat tanpa celah sedikit pun.
Meski pas puncak musim mudik, tapi suasana stasiun KA tetap lengang, tertib dan kondusif. Tidak ada lagi pemandangan naik ke atap gerbong. Juga tidak ada lagi nggandul kereta nembak di tempat ke kondektur.
Tidak ada lagi pedagang asongan dan pengamen keluar masuk gerbong penumpang di tengah malam.
Minazh-zhulumati ilan-nur
Penulis
– Ahmad Sarwat –