JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus kandidat doktor studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bambang Soesatyo melakukan pendalaman disertasi ‘Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Rangka Menghadapi Revolusi Industri 5.0’. Dalam penelitian disertasinya tersebut, Bamsoet akan menelaah peran PPHN dalam menjaga kesinambungan pembangunan dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0, menganalisis prinsip-prinsip dan teori hukum yang dapat dijadikan landasan fikir dan yuridis PPHN sebagai payung hukum, serta menganalisis konsep hukum dan ruang lingkup PPHN yang paling tepat diterapkan di Indonesia.
Untuk menguatkan pentingnya suatu negara memiliki perencanaan jangka panjang yang menjamin kesinambungan, Bamsoet juga telah melakukan penelitian dan sudah mendapatkan perbandingan dengan negara lain seperti China, Rusia, Korea Selatan, Singapura dan Jepang.
“Sebagaimana diketahui, pada saat Indonesia dipimpin Presiden Soekarno, bangsa Indonesia memiliki Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di pemerintahan Presiden Soeharto memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak era Reformasi, pola pembangunan berubah karena berdasarkan visi dan misi presiden-wakil presiden terpilih, yang dielaborasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5-10 tahun. Dampak negatifnya, menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan ke pemerintahan penggantinya,” ujar Bamsoet usai mengikuti kuliah doktor studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, secara virtual dari Jakarta, Kamis (7/4/22).
Hadir sebagai dosen penguji antara lain Prof.Dr. Romli Atmasasmita, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, Prof. Dr. Huala Adolf dan Co Promotor Dr Ary Zulfikar.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menerangkan, untuk menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan berbagai tantangan zaman kedepan, Indonesia perlu memiliki rencana pembangunan jangka panjang, sebagaimana negara-negara besar dunia lainnya. Tiongkok, misalnya, pada periode tahun 1970-an/1980-an saja telah memiliki rencana pembangunan hingga tahun 2050, yakni pada saat usia kemerdekaan Tiongkok memasuki usia ke-100 tahun.
“Sasaran pembangunannya terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama mewujudkan masyarakat Tiongkok yang sejahtera. Tahap kedua Tiongkok menjadi negara maju. Dan tahap ketiga Tiongkok menjadi negara modern. Tiga tahap tersebut memakan waktu 100 tahun dari mulai kemerdekaan Tiongkok pada 1 Oktober 1949 hingga perayaan ulang tahun ke-100 pada 1 Oktober 2050,” kata Bamsoet.
Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan & Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, Singapura yang saat ini tumbuh menjadi negara maju di Asia Tenggara, memiliki visi pembangunan jangka panjang yang dikenal sebagai ‘The Concept Plan’ yang dirumuskan sejak tahun 1971. Berisi perencanaan pembangunan yang menjadi pondasi, pedoman dan panduan dalam membangun struktur kota melalui pengelolaan lahan dan transportasi strategis. Artinya, butuh waktu antara 40 hingga 50 tahun bagi Singapura untuk mewujudkan visi besar kenegaraannya, hingga menjadikan Singapura seperti sekarang.
“Pada beberapa negara lainnya di dunia, ketentuan mengenai pengaturan haluan negara bukanlah sesuatu yang tabu. Negara Irlandia, India, dan Filipina misalnya, menyebutkan secara tegas prinsip-prinsip haluan negara tersebut di dalam Konstitusi mereka. Irlandia mencantumkan Directive Principles of Social Policy pada Pasal 45 Konstitusi Irlandia Tahun 2015. India mencantumkan Directive Principles of State Policy pada Bab IV Konstitusi India. Sedangkan Filipina mencantumkan Declaration of Principles and State Policies Principles pada Pasal II Konstitusi Filipina Tahun 1987,” urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, di Indonesia, pentingnya kehadiran sebuah haluan negara, berangkat dari sebuah kebutuhan akan hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif yang akan menjabarkan prinsip-prinsip normatif dalam Konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional. Setelah MPR tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN, fungsi GBHN digantikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025.
“Namun dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih menyisakan beragam persoalan. Selain kecenderungan eksekutif sentris, dengan model sistem perencanaan pembangunan nasional yang demikian, memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Karena implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) didasarkan kepada visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum, maka masing-masing dapat memiliki visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan,” jelas Bamsoet.
Anggota Dewan Pakar Pimpinan Nasional KAHMI ini menambahkan, demikian pula antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah, kemungkinan berpotensi terjadi ketidakselarasan pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu RPJMN mengingat visi dan misi gubernur/bupati/walikota sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih.
“Di samping itu, desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan tidak sinerginya perencanaan pembangunan antar daerah, serta antara pusat dan daerah. Dampak dari implementasi pembangunan yang tidak sinergis, tidak selaras, dan tidak berkesinambungan, sangat berpotensi menimbulkan inefisiensi atau pemborosan anggaran. Disinilah urgensi menghadirkan kembali haluan negara dengan nomenklatur PPHN, yang akan dijadikan sebagai bintang penunjuk arah pembangunan. Sehingga Indonesia Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai haluan konstitusional negara, dan PPHN sebagai kebijakan dasar pembangunan negara,” pungkas Bamsoet.
(ANFPPM)