Untuk berpraktik sebagai dokter, melakukan tindakan dan pengobatan kepada pasien, dokter sudah harus lulus ujian kompetensi baik teori maupun praktik. Sudah jadi dokter umum berarti sudah menempuh S1 kedokteran sekitar 4 tahun, pendidikan dokter muda sekitar 2 tahun dan lulus uji kompetensi dasar keterampilan kedokteran. Kalau dokter spesialis berarti sudah lulus pendidikan spesialis 4-6 tahun dan sudah lulus ujian spesialistik sesuai dengan spesialisasinya. Seorang dokter spesialis tidak boleh melakukan tindakan di luar kompetensi spesialistiknya itu, misalnya saya dokter anestesi kok melakukan operasi caesar. Kalau mau diperbolehkan melakukan operasi caesar, saya harus sekolah lagi Spesialis kandungan.

Siapa yang menguji? Adalah kolegium yang berisi dokter² dengan kompetensi di atasnya. Misal saya untuk jadi dokter umum, saya diuji oleh dokter² dari berbagai spesialisasi, apakah saya mampu melakukan pengobatan dan tindakan sesuai standar yang ada? Nggak boleh kok saya keluar dari standar itu misalmya digabungkan dengan metode klenik tertentu.

Ketika mau jadi dokter anestesi ya diuji oleh dokter anestesi subspesialis dan guru besar yang diutus oleh kolegium anestesi. Kolegium anestesi berisi para subspesialis dan guru besar bidang anestesi. Dalam spesialis tak jarang ada beberapa tahap ujian. Ketika tidak lulus, ya berarti harus belajar lagi.

Setelah spesialis ada sub-spesialis (juga disebut konsultan), atau spesialis dengan kompetensi tambahan. Misalnya, saya sekarang tengah menyelesaikan pendidikan kompetensi tambahan Intervensi Nyeri. Penyelenggara, mentor dan pengujinya dari kolegium anestesi. Setelah lulus saya dapat kompetensi tambahan untuk melakukan tindakan intervensi nyeri, dan boleh melakukannya pada pasien.

Di semua bidang ilmu juga kurang lebih sama. Untuk jadi doktor studi agama ya diuji oleh para doktor dan guru besar studi agama. Bidang politik juga diuji oleh doktor dan guru besar politik, kadang oleh ahli lain misal ahli statistik, ahli hukum dll bila studinya memang mengenai bidang tertentu itu.

Bagaimana kalau saya mengaku menemukan suatu metode kedokteran yang belum ada dalam daftar kompetensi tertentu? Maka metode itu diuji oleh sesama ahli yang tergabung dalam kolegium dan sangat mungkin juga oleh kolegium spesialis lain yang terkait, semacam peer review. Kalau semua mengakui, baik secara teoritik maupun praktik sesuai standar² metodologi ilmu kedokteran, bukan ilmu politik, maka metode saya itu bisa saya pakai, bahkan bisa dipakai oleh dokter lain dan masuk dalam daftar kompetensi tertentu. Biasanya penemu metode itu akan jadi pengajar bagi dokter lainnya, sampai jadi penguji dokter lain kalau mau pakai metode itu. Kalau saya tidak mau diuji, tidak mau diundang untuk menjelaskan metode saya tapi saya sudah declare temuan baru, konyol namanya. Kalau melangkah lebih jauh sampai mempraktikkannya ke pasien, itu melanggar.

Kolegium² kedokteran itu berada di bawah IDI. Jadi kalau IDI dibubarkan, Kolegium² juga bubar. Penjaga standar kompetensi juga bubar, kompetensi dokter tidak lagi memiliki penjaga kualitas. Bersama dengan itu penjaga pelaksanaan etik kedokteran, MKEK juga bubar, hilanglah standar etik kedokteran. Standar ilmu bubar, standar etika juga bubar. Ya selesai..
Mau bikin lembaga baru selain IDI, ya tentu isinya sama saja tetap para dokter, bukan ahli ekonomi atau studi agama.

Semua sistem ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, berfungsi untuk menjaga kualitas kedokteran: keamanan dan efektifitas praktik kedokteran. Ini untuk kepentingan pasien juga. Jadi keliru kalau Jaya Suprana mengatakan demi haknya sebagai pasien maka oknum dokter tertentu dibebaskan untuk melakukan tindakan medis yang dia inginkan. Ndak bisa. Sekali lagi, standar² itu untuk kepentingan pasien secara lebih luas.
Tulisan ini saya rencanakan sebagai bagian tanggapan saya pada Bp Jaya suprana, tapi nanti lihat situasi saja dulu.

So, desa mawa cara, negara mawa tata. Segala sesuatu ada aturan dan standarnya.

Penulis : Dr. Alim

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here