Pembahasan tentang Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota terus menjadi berita saat ini. Kementerian Ketenagakerjaan melakukan berbagaia acara untuk memastikan pelaksanaan UMP/K 2022 tidak heboh dan dapat diterima oleh seluruh pekerja/buruh dan SP/SB, dan sangat berharap seluruh Gubernur yang diberikan kewenangan menetapkan UMP/K tahun depan menggunakan rumus yang ada di PP No. 36 tahun 2021.

Simulasi perhitungan UMP/K 2022 dilakukan oleh berbagai pihak setelah keluarnya Surat Edarana (SE) Kemnaker yang menginformasikan tentang data-data terkait penentuan UMP/K 2022. Data-data tersebut bersumber dari BPS yang diserahkan ke Kementerian Ketenagakerjaan. SE tersebut juga meminta para Gubernur menetapkan UMP/K 2022 sesuai ketentuan yang berlaku dalam PP No. 36 tahun 2021..

Sebagaimana biasanya, menjelang penetapan UMP/K, Menteri Ketenagakerjaan selalu mengeluarkan SE yang menyatakan bahwa tentang UMP/K ini adalah Program Strategis Nasional yang wajib dipatuhi oleh para Gubernur. Tahun 2020 lalu pun Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan SE yang sama dengan menekankan pada tidak naiknya upah minimum karena alasan pandemi. Pada kenyataannya SE tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi para Gubernur. Ada beberapa Gubernur yang menetapkan UMP/K tidak mengikuti SE tersebut.

Gubernur Jawa Timur menaikkan UMP 2021 sebesar 5,65 persen atau menjadi Rp 1.868.000. Angka tersebut termasuk yang tertinggi di Indonesia. Selain itu nilai UMP Sulawei Selatan juga naik sebesar 2 persen per 1 Januari 2021. Kenaikan UMP 2021 juga terjadi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Praktek penetapan UMP/K yang dilakukan oleh para Gubernur yang tidak sesuai dengan ketentuan regulasi atau pun SE Menteri Ketenagakerjaan sudah lama terjadi, dan ini menjadi hal yang biasa saja.

Pak Joko Widodo pernah mengklaim dirinya sebagai gubernur pertama di DKI Jakarta yang berani menaikkan upah minimum provinsi (UMP) hingga 44 persen. Pak Jokowi mengakui bahwa kebijakannya ini mendapatkan protes dari kalangan pengusaha. Demikian juga Ahok dan beberapa gubernur lainnya menaikan UMP tahun-tahun berikutnya tidak mengacu pada PP No. 78 Tahun 2015, yang pada saat itu pun sudah dilabelkan sebagai Program Strategis Nasional.

Saya menilai kewenangan yang diberikan oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (sebelumnya oleh UU No. 13 Tahun 2003) kepada para Gubernur untuk menetapkan UMP/K adalah kewenangan yang tidak perlu diintervensi oleh Menteri Ketenagakerjaan. Para Gubernur mengetahui kondisi ekonomi wilayahnya, dan akan menetapkan UMP/K sesuai kondisi wilayahnya. Kalau pun ada rumus-rumus dalam PP No. 36 Tahun 2021 maka ketentuan tersebut hanya sebatas acuan himbauan saja, bukan sebagai rumus yang mengatur 100 persen kewenangan Gubernur.

Kalau Gubernur dipaksa mengikuti rumus-rumus di PP No. 36 Tahun 2021 maka bisa dikatakan kewenangan Gubernur di UU Cipta Kerja dikerdilkan oleh PP no. 36 Tahun 2021 dan Gubernur hanya sebagai “tukang stempel” saja. Kewenagan Gubernur dikebiri habis oleh rumus-rumus tersebut.

Para Gubernur memiliki kepentingan terhadap penetapan UMP/K untuk mendukung konsumsi masyarakat di wilayahnya sehingga daya beli pekerja/buruh yang baik dapat menggerakan barang dan jasa di wilayahnya, dan pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayahnya.

Kalau dianalisas varibel-variabel yang ada dalam rumus penetapan UMP/K, saya menilai dengan ketentuan penetapan UMP/K berdasarkan PP No. 36 tahun 2021, rata-rata konsumsi per kapita cenderung akan turun. Sementara rata-rata jumlah anggota keluarga, dan rata-rata jumlah anggota keluarga yang bekerja setiap tahunnya tidak berubah secara signifikan. Kondisi ini akan menyebabkan nilai Batas Atas (BA) akan relatif cenderung turun.

Nilai BA yang relatif turun akan berdampak pada kenaikan UMP/K yang berada di bawah nilai inflasi. Simulasi kenaikan UMP/K 2022 yang telah terpublikasi menunjukkan kenaikan UMP/K mayoritas di bawah 1 persen dan ada juga yang tidak naik karena nilai BA di bawah nilai UMP/K eksisting. Kenaikan di bawah 1 persen atau tidak naik, sementara nilai inflasi di atas 1 persen memastikan daya beli buruh/pekerja dan keluarganya akan menurun. Upah buruh/pekerja tergerus inflasi.

Kondisi penurunan daya beli ini akan menyumbang pada kondisi penurunan rata-rata konsumsi per kapita di suatu wilayah, yang akan dijadikan data acuan untuk penetuan UMP/K tahun berikutnya. Potensi penurunan rata-rata konsumsi per kapita ini pun akan dikontribusi oleh penentuan upah minimum bagi pekerja di sektor usaha kecil mikro berdasarkan garis kemiskinan.

Para Gubernur pastinya tidak mau daya beli buruh/pekerja tergerus inflasi sehingga rata-rata konsumsi per kapita di wilayahnya cenderung turun terus. Kondisi ini yang akan menjadi “lingkaran setan” bagi perekonomian propinsi maupun kabupaten/kota di wilayahnya.

Saya berharap para Gubernur bisa melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UU Cipta Kerja dengan melihat kondisi wilayahnya secara obyektif, tidak terpaku untuk mentaati rumus-rumus di PP No. 36 Tahun 2021.

Pinang Ranti, 15 Nopember 2021

Tabik
Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here