Pada bagian kedua dari seri tulisan ini, saya mau menyampaikan filosofi dasar yang terkandung dalam ritual Rambu Solo sekaligus menegaskan prinsip adat hidup orang Toraja terhadap kematian badaniah.
Semasa hidupnya Paulus Pasang Kanan dikenal sebagai tokoh umat Katolik sekaligus budayawan yang telaten merawat budaya Toraja dengan apik.
Di tengah keprihatinan bergesernya nilai-nilai budaya asli Tana Toraja, Paulus selalu berusaha mentransformasikan kemajuan jaman ke dalam peradaban budaya Tana Toraja tanpa menghilangkan sedikitpun esensi dari budaya tersebut. Termasuk upacara adat Rambu Solo
“Bayobayonari Te Lino, Timbayona Te Panglion” demikian Mgr. John Liku Ada’ sebagai selebran utama mengawali kotbahnya pada Perayaan ekaristi di upacara “Makarudusan” sebagai pembuka rangkaian Rambu Solo Paulus Pasang Kanan tanggal 10 Juli 2021 yang lalu.
Lewat syair itu saya baru menyadari satu esensi dalam adat Toraja bahwa ketika jenazah yang sudah lama meninggal dan dirawat, diberi makan itu hanya dianggap sedang sakit terbaring. Lewat upaya “Makarudusan” itulah orang tersebut dinyatakan secara jasad telah meninggal dunia.
Dari Londe atau syair “”Bayobayonari Te Lino, Timbayona Te Panglion” yang diucapkan bapak Uskup tadi justru terletak filosofi hidup dan kematian orang Toraja yang dalam.
Ada hidup setelah kematian, yaitu hidup di seberang kubur. Bukan hidup untuk mati saja seperti yang sering disalah mengerti oleh masyarakat awam terhadap syair tersebut.
Sejajar dengan pemahaman teologi kematian dalam Agama Katolik sebagaimana dianut oleh Paulus Pasang kanan. Bukan kematiannya yang penting, tapi kehidupan setelahnya yang dirindu oleh segenap umat beriman. Nyatanya pemahaman ini telah hidup dan berakar dalam pada budaya Tana Toraja.
Karena itu Rambu Solo yang saya hadiri berhari-hari ini terasa nuansa spiritualnya.
Bukan sekedar pesta budaya rakyat di mana ada bangunan adat yang megah dan puluhan ekor kerbau tambun dan babi gemuk disembelih sebagai korban sekaligus penghantar Paulus Pasang Kanan menuju keabadiannya. Tapi, ini perayaan sukacita menyongsong kehidupan baru dari Paulus Pasang kanan yang baru saja meninggal.

Keinginannya adalah Rambu Solo-nya kelak menjadi kenangan dan pegangan bagi generasi selanjutnya dalam menghormat leluhurnya.
Dan benarlah bahwa Rambu Solo menjadi pembuktian akhir dirinya di mana Paulus Pasang Kanan menjadi tokoh sentral dalam perayaan yang tahapan-tahapan dilakukan dengan cermat dan sedetail mungkin.
Saya sendiri melihat bagaimana tahapan demi tahapan yang cermat dalam upacara rambu solo ini menghadirkan makna spiritual tersendiri.
Sebagai orang Katolik, Rambu Solo Paulus Pasang Kanan dipenuhi dengan nuansa doa menurut agama Katolik, mulai dari pembukaan sampai penutupan melalui perayaan ekaristi yang dipersembahkan oleh bapak uskup dan imam-imam lainnya.
Pengaruh masuknya kekristenan dan agama Islam tidak serta-merta menghilangkan tradisi ma’passorongan lako Puang Matua (semacam doa keluarga) di Tana oraja. Adalah suatu keharusan bagi semua warga untuk wajib menjenguk keluarga yang sedang berduka.
Dengan masuknya beberapa agama di Sangalla’, wilayah di mana upacara Rambu Solo ini diselenggarakan doa penyerahan kepada “Puang Matua”, dilaksanakan oleh setiap pengunjung sesuai dengan agama dan keyakinannya.
Keluarga yang berduka dari agama tertentu dapat berinisiatif untuk dilakukan doa bersama kepada “Puang Matua” sesuai agama yang dianut oleh warga yang meninggal dunia. Dan ini diikuti oleh warga lain yang tidak seiman dengan menghargai upacara ritual agama yang sedang melaksanakan doa kepada “Puang Matua”.
Di sinilah letak toleransi terhadap keberadaan agama lain di Sangalla’ dalam berbagai aspek juga termasuk aspek ritual keagamaan bagi orang yang telah meninggal dunia, menjadi salah satu ciri khas di Sangalla’. Keluarga lain ikut berempati dengan caranya sendiri merasakan apa yang sedang dialami keluarga yang sedang berduka.
Emphati ini ditunjukkan warga Sangalla’ ketika mengunjungi keluarga berduka dengan membawa beras, gula, kopi atau uang yang dimiliki untuk diserahkan kepada keluarga. Sungguh suatu perayaan sukacita yang melibatkan kebersamaan yang benar-benar bhinneka.
Kematian badaniah bukan akhir dari segalanya, tapi permulaan kehidupan baru yang transendental. Rambu Solo yang sakral mengawali perjalanan budayaran Tana Toraja, Paulus Pasang Kanan ini.

Paulus Laratmase, akhir Juli 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here