Koplak. Ngawur. Sengkleh. Sesat pikir. Dan, praktik kegilaan berpikir. Itu yang dilakukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) yang menyomasi Deddy Corbuzier. Ya betapa PJS dan 80 meng-klaim mau mengejar Deddy.
Tak kurang mantan Kepala BIN AM Hendropriyono menyarankan kepada PJS tampil di acara Deddy Corbuzier. Bukan malah membully dan menyomasi. PJS memberikan pencerahan. Pun selama ini PJS tidak diketahui oleh masyarakat. Ya, ada baiknya para pengurus diundang oleh Deddy Corbuzier daripada membuat gaduh.
Juga presenter Gilang Dirga ikut urun rembug. Dia juga menanyakan tersinggungnya PJS soal covid atau gila-nya? Kalau soal kata gila dan covid semua tahu: orang gila tidak ada yang terkena covid. Karena belum ada penelitian.
Di akun Instagram Deddy Corbuzier menulis: “Jadi saya minta maaf kalau ada yang tersinggung krn kata kata GILA.. Sumpah deh.. Saya ga tau kalau kata kata itu salah…Jujur sih saya kaget krn
saya cek di KBBI masih pakai kata “Gila” dan saya baru Paham ada kata ODGJ”.
Makin gila. PJS sedang melakukan denial: menolak kenyataan. Orang gila yang nyata di depan mata dianggap tidak boleh disebut gila. Kalau tidak ada orang gila, maka tidak akan ada PJS – sebagai entitas atau badan yang menolak disebut adanya ‘orang gila’.
Denial adalah fakta upaya mengingkari kenyataan. Fakta adanya tanda-tanda, fenomena nyata, symptoms, ciri-ciri gangguan mental, mental error, sakit jiwa, diingkari dengan istilah ODGJ. Gejala sakit jiwa juga.
Sesungguhnya, yang dilakukan oleh PJS adalah praktik eufemisme. Upaya menutupi kata atau ungkapan yang dipersepsikan, dipikir, diyakini, diasosiasikan, distigmakan sebagai tak pantas, tabu. Contoh, kata pelacur di-eufemismekan jadi WTS (wanita tuna susila). Kini kata WTS sudah juga tak pantas. Sebelumnya, kata perempuan eksperimen (perek) kini juga telah menjadi tabu.
Karena, sebuah “kata” mendeskripsikan suatu benda (mass), dzat, konsep, atau ide (idea) atau mendeskripsikan / mendenotasi / menunjukkan makna konseptual. Maka ketika “kata”, misal ‘pelacur’ diubah menjadi lebih manis sebagai praktik eufemisme, saat itu juga esensi kata tersebut tidak berubah. Perbuatan pelacur tetap sama melayani hubungan seksual, ketika diubah menjadi WTS, atau perek.
Jadi, inilah kenyataan bangsa yang sedang sakit. Fakta di-denial. Kata di-eufemismekan. Penolakan atas fakta dan praktik eufemisme adalah kekonyolan. Bahkan bagian dari praktik para ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), alias gila. Betapa tidak gila kalau, faktanya ada orang gila tidak boleh disebut gila.
Dan somasi terhadap Deddy Corbuzier pun hanya pepesan kosong dari praktik kegilaan. Upaya denial dan eufemisme terhadap kata gila. Kata yang dianggap tidak boleh dipakai di Indonesia, bolehnya menyebut orang gila dengan singkatan: ODGJ. Gangguan jiwa: alias gila. Silakan tertawa ngakak. (Penulis: Ninoy Karundeng).