Membaca Dialog Daulat Sihombing SH MH dengan Pengurus (K)SBSI di WAG DPP – Korwil (K)SBSI kami tertarik mengumpulkan potongan-potongan uraiannya merespon pertanyaan-pertanyaan di Group ini.
Anggota Majelis Pertimbangan (Konfederasi) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (MPO (K)SBSI) mencoba meluruskan beberapa hal. Sebagai Aktifis Buruh Senior yang juga pernah duduk sebagai Hakim Ad Hoc mewaki Serikat Buruh/Pekerja di Peradilan Hubungan Industrial (PHI) ia berpendapat sebagai berikut.
Mestinya Serikat Buruh jadi Pengusaha bagaimana caranya meningkatkan produksi atau paling tidak bisa bertahan untuk mempekerjakan pekerja pada saat pandemi ini, terutama Hotel, Rumah Makan, Sektor Pariwisata yang pekerjanya terdampak langsung.
Ya ada Serikat Buruh lebih banyak ke Politiknya bukan ke substansi dari isi Undang-undang, pada saat ini ada ribuan Putusan PHI yang tidak bisa di eksekusi tapi tidak ada 1(satu) serikat pekerja/buruh yang konsen atau teriak, termasuk pekerja KSBSI yang di PHK, sudah menang di PHI tapi tidak bisa mendapatkan uang pesangonnya, coba kalau perusahaan begitu Putusan PHU langsung bayar pekerja2 yang di phk bisa mendapatkan modal kerja.
Saya jauh sebelum ada omnibuslaw sudah menulis sama TURC bahkan pernah diterbitkan bukunya tentang Eksekusi vs Geseling, tapi tidak ada yang pernah konsen, karena apa tidak seksi.
Pasal 156 jo Pasal 185 Omnibuslaw ada memuat pidana tapi ompong, karena tidak ada yang teriak teknisnya seperti apa.
Semua teriak-teriak, sementara saat ini pekerja diperusahaan untung masih bisa bekerja, akibat pandemi, jam bekerja dalam 1 bulan dikurangi signifikan, gaji yang asal dibayar, jawaban mereka untung masih bisa bekerja.
Mudah-mudahan Serikat Buruh bisa menciptakan lapangan kerja untuk pekerja yang di PHK.
Saat ini untuk mengajak pekerja/buruh berserikat terkadang kita juga miris dengan jawaban mereka, jawabannya sederhana jangankan menuntut kesejahteraan pak untuk saat ini masih bekerja saja masih untung, karena kebanyakan perusahaan mengurangi jam kerja bahkan mengurangi pekerjanya.
Kita bisa saja mengadu argumen dengan asumsi manis tapi saat ini asumsi-asumsi omong kosong karena secara fakta benar mereka butuh makan untuk anak isteri, mereka butuh hidup, sementara kita dari serikat ketika mereka di PHK bisa apa untuk hidup anak isteri mereka.
Di PHK menang di PHI benteng terakhir pengadilan tapi ketika perusahaan tidak bisa bayar atau tidak mau bayar, apa pengurus serikat bisa berbuat banyak, tidak.
Makanya hampir seluruh serikat buruh saat ini terutama dikuar Jawa sepengetahuan saya, lebih banyak diam.
Mungkin sedikit gambaran untuk eksekusi, yang pernah saya alamani ini hanya eksekusi real, bukan eksekusi pembayaran sejumlah uang, biaya termurah di Pengadilan sampai pengosongan itu 40 juta.
Kalau ekseksi penjualan tambah lagi, karena harus melalui proses lelang.
Jadi kalau hanya putusan 30 juta atau paling tinggi 50 juta, dapat dibayangkan bagaimana mau eksekusi, biaya dari negara cumq 7.5 juta.
Jangan tanya kenapa, itulah sistem hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia.
Tapi itu pengalaman saya, bisa jadi ada yang punya pengalaman bisa gratis boleh juga teknisnya di share disini.
Pasal 156 jo Pasal 185 UU No 11 tahun 2020, itu ada sanksi pidana bila pengusaha tidak membayar pesangon, tapi ini tidak ada satupun yang mendorong untuk di perjelas dan di pertegas, supaya buruh tidak menang diatas kertas.
KSPI, (K)SBSI dimana….
Ha.ha saya punya harapan besar terhadap pasal 156 jo pasal 185 omnibuslaw, terlepas dari sisi yang lain, karena disitu ada tindak pidana bagi pengusaha yang tidak membayar pesangon, tapi teknisnya dari undang-undang tersebut belum ada, saya tanya ke Disnaker mereka tidak tau caranya, ke Polisi juga sama, padahal mereka ujung tombak pelaksaan tindak pidana di lapangan.
Betul, tidak ada yang mau ribet urusannya, tapi kita berhadapan dengan pihak lain yang membuat kita harus ribet, kalau maunya sih semua lancar.
Kekesalan seperti itu hampir dialami oleh pengurus dan advokat yang mengurus buruh seluruh Indonesia. Ada yang tidak susah, karena pihak pengadilan akan cepat merespon, nilainya besar. Tapi kalau nilainya dibawah 50 juta atau dibawah 100 juta itu yang sulit.
Dalam Undang-undang Hukum Acara Perdata baik HIR maupun RBg, untuk eksekusi harus diajukan harta yang bergerak milik tergugat, setelah habis atau tidak ditemukan harta tergugat yang tidak bergerak baru kemudian di perbolehkan harta yang tidak bergerak.
Harta yang tidak bergerakpun yang diajukan untuk disita eksekusi nilainya harus sepadan dengan jumlah nilai yang harus dibayarkan.
Itu baru mengenai bendanya,
Khusus eksekusi tanah untuk pembayaran sejumlah uang, dari permohonan, annmaning, konstritring, sita dan eksekusi itu kekuasaan pengadilan, kemudian setelah lengkap pengadilan mengajukan permohonan lelang melalui KPPN setempat.
Nah untuk lelang Permenkeu Nomor 27 harus lengkap, SKPT dari BPN, untuk dapat SKPT kita harus tau nomor sertifikat dan lain-lain.
Redaksi SBSINEWS
29 Juni 2021