Lisa Rumbewas Sangat Layak Jadi Duta PON XX Papua
Raema Lisa Rumbewas atau yang akrab dikenal dengan Lisa Rumbewas dinilai yang paling layak sebagai Duta Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke-20 di Papua.
Atlit angkat besi yang sudah kesohor sampai Olimpiade ini, harusnya masuk dalam pertimbangan Pemerintah Pusat untuk dijadikan Duta PON XX Papua.
Selain untuk mengangkat harkat dan martabat Perempuan Papua, Lisa Rumbewas juga telah mengukir prestasi besar dari cabang olah raga angkat besi untuk Indonesia.
Polemik penunjukan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua seharusnya tak perlu terjadi. Istri presenter Raffi Ahmad itu mendapat penolakan yang luas dari masyarakat karena dijadikan sebagai Duta PON XX Papua.
Komika Arie Kriting, misalnya, kurang setuju jika yang dijadikan Duta PON XX Papua itu adalah Nagita Slavina. Putra kelahiran Papua ini, menyebut, ada sederet nama orang-orang Papua yang sangat mumpuni dan layak untuk jadi Duta PON XX Papua. Seperti Lisa Rumbewas.
“Pilihannya ada banyak kok, Nowela, Lisa Rumbewas, Putri Nere, Monalisa Sembor, dan masih banyak lagi lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu,” ujar Arie Kriting.
Keresahan yang kini sedang disuarakan oleh Arie Kriting ini menurutnya adalah suara dari orang banyak.
“Keresahan ini sebenarnya hadir di dalam pikiran banyak orang. Semoga kita bisa sama-sama mendorong agar representasi Perempuan Papua pada ajang yang diadakan di daerah mereka sendiri, bisa terwujud. Mari menjadi bangsa yang menghormati perbedaan,” tutur Arie Kriting.
Dalam hal ini, Arie Kriting hanya ingin aspirasinya sebagai Orang Timur didengar oleh banyak orang, terutama Pemerintah.
Dirinya ingin keterlibatan orang Papua untuk menjadi duta atau ikon PON ini bisa dipertimbangkan lagi oleh Pemerintah.
Raema Lisa Rumbewas sendiri adalah lifter atau atlet angkat besi yang sudah mengukir prestasi dan mengharumkan nama baik Indonesia hingga ke kancah Internasional.
Raema Lisa Rumbewas lahir di Jayapura, pada 10 September 1980. Dia adalah seorang atlet putri angkat besi Indonesia.
Lisa Rumbewas berasal dari keluarga atlet. Ayahnya, Levi Rumbewas pernah menjadi binaragawan terbaik Indonesia. Sementara ibunya, Ida Korwa juga seorang lifter. Keluarga ini boleh disebut perintis angkat besi di Papua.
Pada Olimpiade Athena 2004, Lisa, begitu panggilan akrabnya, mendapat medali perak untuk kategori angkat besi putri, kelas 53 kg Grup A.
Sebelumnya, Lisa juga pernah meraih medali perak di Olimpiade Sydney 2000. Selain itu ia juga mendapat medali serupa pada SEA Games XXI. Lisa Rumbewas tampil kembali di nomor 53 kg pada Olimpiade Beijing 2008, namun hanya menempati posisi keempat dengan total angkatan 206 kg.
Jadi, dari sekian nama, bahkan dari penunjukan Nagita Slavina yang sangat jarang bersentuhan dengan dunia olah raga, kurang pas jika dijadikan ikon PON XX di Papua.
Pemerintah, sebaiknya mempertimbangkan ulang, dengan menjadikan Lisa Rumbewas sebagai ikon atau Duta PON XX Papua. Selain sebagai Putri dari Papua, dengan pelaksanaan PON di Papua, aspirasi masyarakat, khususnya Papua, dapat disandang dan diartikulasikan lewat Lisa Rumbewas sebagai Duta PON XX Papua.
Arie Kriting memberikan solusi untuk tetap membawa perempuan Papua untuk dijadikan ikon PON di Papua.
“Solusi dari saya, Duta PON XX Papua harus tetap perempuan Papua. Angkat lagi salah satu sosok perempuan Papua,” ujarnya.
Dia melanjutkan, Tokoh Perempuan Papua ini bisa mendampingi Boaz Solossa sebagai Duta PON XX Papua.
“Sedangkan Kakak Raffi Ahmad dan Nagita Slavina bisa diposisikan sebagai sahabat Duta PON XX Papua, karena jelas, kekuatannya untuk mendorong sosialisasi PON XX Papua ini sangat dibutuhkan,” timpal Arie Kriting.
Terakhir, Arie Kriting menjelaskan mengapa dirinya ingin ada orang Papua yang menjadi ikon PON Papua ini.
“Menurut saya dengan kehadiran sosok Perempuan Papua sebagai Duta PON XX Papua, akan menghindarkan terjadinya Cultural Appropriation dan menjadi sinyal baik bagi pengakuan kita atas keberagaman Indonesia. Pada akhirnya nanti kesuksesan PON Papua tidak hanya tercapai secara pelaksanaan event, tetapi juga sukses menjadi perekat kesatuan bangsa. Mari kita tunjukkan dan banggakan keberagaman kita sebagai Bangsa Indonesia. Salam sayang untuk semua,” terang Arie Kriting.
Dalam unggahannya yang lain, Arie Kriting mengunggah foto perempuan Papua yang diunggah pada Kamis, (3/6/2021).
Dirinya mengatakan jika hal tersebut adalah aspirasinya terkait dengan keterlibatan orang-orang Papua untuk menjadi duta dan ikon PON.
Kritik dari Komika Arie Kriting soal cultural appropriation alias perampasan atau klaim budaya terkait pemilihan selebritas Nagita Slavina sebagai Duta Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua dinilai valid. Diskriminasi terhadap Bumi Cendrawasih pun disorot.
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mempertanyakan alasan dan motif penunjukan Nagita Slavina sebagai Duta PON.
Diketahui, Nagita Slavina, yang merupakan bukan orang Papua, sebelumnya terpilih sebagai duta PON Papua. Arie Kriting pun menawarkan sejumlah opsi pendamping yang merupakan perempuan asli Papua.
“Kalau kemudian Si Duta PON ini bukan orang Papua dan mengenakan atribut-atribut Papua dan orang Papua, (jika) menyatakan (cultural) appropiation itu adalah alasan yang valid,” ujar Sekjen AMAN Rukka Simbolinggi.
Dikutip dari Cambridge Dictionary, cultural appropriation is the act of taking or using things from a culture that is not your own, especially without showing that you understand or respect this culture.
Apropriasi kultural merupakan tindakan mengambil atau menggunakan sesuatu dari budaya yang bukan milik Anda sendiri, khususnya tanpa memperlihatkan bahwa Anda memahami atau menghormati budaya tersebut.
Menurut Rukka, fenomena ini terjadi saat kekayaan masyarakat adat dicuri oleh orang atau kelompok lain dan digunakan untuk kepentingan mereka.
Mengenai polemik pemilihan Nagita Slavina sebagai Duta PON di Bumi Cenderawasih, Rukka menduga hal itu dilakukan pemerintah karena gelaran tersebut merupakan Acara Nasional.
“Akan tetapi akan menjadi lebih elok dan akan menjadi lebih tepat ketika duta dari PON di mana PON itu akan dilaksanakan di Papua itu memang Orang Asli dari Papua,” kritiknya.
Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa kasus kultural apropriasi dalam 20 tahun terakhir banyak dilakukan oleh kalangan desainer fesyen.
Salah satunya brand Zara, yang digugat pemerintah Mexico karena dinilai mengambil desain baju masyarakat Mexico dan menjualnya. Dari tindakan ini, Zara mengambil keuntungan.
“Dan apa yang bisa dilihat dari kasus ini ya bisa disebut cultural appropriation, tapi motifnya harus dicek,” lanjut Rukka.
Sementara itu, Guru Besar Hukum dari University of California Olufunmilayo Arewa dalam tulisannya ‘Cultural appropriation: when ‘borrowing’ becomes exploitation’ menyebut, fenomena ini bisa terjadi ketika peminjaman suatu simbol budaya memperkuat hubungan yang eksploitatif.
“Argumen saya adalah bahwa peminjaman dapat menjadi apropriasi ketika memperkuat hubungan eksploitatif secara historis atau menghilangkan peluang negara-negara Afrika untuk mengontrol atau mengambil manfaat dari materi budaya mereka,” sebagaimana dikutip dari artikelnya yang diunggah di theconversation.com, 20 Juni 2016.
Rukka melanjutkan, ketimpangan ini merupakan realitas yang dialami masyarakat Papua.
Dalam konteks pembangunan di Papua, misalnya, yang lebih banyak dinikmati masyarakat non-Papua. Di sisi lain, di tengah-tengah masyarakat di sana, mereka juga kerap mengalami tindakan diskriminasi.
“Di tengah-tengah itu orang Papua terus menerus mengalami diskriminasi, orang Papua terus menerus mengalami kekerasan,” ucap Rukka.
Diketahui, Papua sejauh ini masih bergejolak dengan munculnya beragam kasus penembakan yang terkait kelompok kriminal bersenjata (KKB), penolakan dana otonomi khusus (Otsus), hingga tuntutan penentuan nasib sendiri alias referendum.
Kegagalan pembangunan yang menyentuh kalangan pribumi dituding jadi biangnya, selain penanganan kasus pelanggaran HAM yang tak pernah tuntas.
Sebelumnya, kultural apropriasi atau perampasan budaya menjadi perbincangan setelah salah satu influencer Nagita Slavina ditunjuk menjadi Duta Pekan Olah Raga Nasional (PON) XX di Papua.
Foto Nagita yang menggunakan simbol-simbol budaya Papua seperti pakaian adat dan aksesoris lainnya tersebar di banyak media.
Nagita bukanlah orang Papua, berkulit putih, dan tidak memiliki identitas yang tersambung dengan Papua.
Pemilihan Nagita sebagai Duta PON di bumi Cenderawasih ini mengundang banyak kritik, salah satunya dari komika Arie Kriting. Melalui akun Instagramnya, Arie menyatakan bahwa aspirasi kelompoknya mendorong agar terdapat representasi perempuan Papua dalam gelaran PON.
“Hal ini bisa menghindarkan bangsa kita dari sikap Kultural Apropriasi, karena tidak menghadirkan perempuan Papua dengan gambaran yang jelas,” tulis Arie, Kamis (3/6).
Sementara itu, Arie Kriting sendiri merekomendasikan beberapa sosok perempuan yang bisa menjadi Duta PON Papua. Mereka antara lain, Nowela, Lisa Rumbewas, Putri Nere, Monalisa Sembor, dan lainnya.
“Semoga kita bisa sama-sama mendorong agar representasi Perempuan Papua pada ajang yang diadakan di daerah mereka sendiri, bisa terwujud,” tulis Arie.
(ANFPP070621)