Sepuluh tahun belakangan ini, bisa dikatakan nyaris tidak ada puasa saya yang genap satu bulan penuh di bulan ramadhan. Selalu ada saja halangan yg ‘memaksa’ saya untuk tidak berpuasa. Umumnya dikarenakan musafir ke beberapa daerah atas undangan untuk silaturrahmi. Keadaan musafir itulah yang mengharuskan saya untuk berbuka dan menggantinya (qadha) di hari lainnya sesuai dengan firman Allah di atas yang mengatakan “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Q.S.al-Baqarah : 185)

Hanya saja salah satu kesulitan saya dalam kondisi seperti itu adalah mencari makanan sebab umumnya warung-warung tutup dan kalaupun buka biasanya cukup tersembunyi dan ditutup-tutupi. Mengapa? Karena ada anjuran pemerintah daerah untuk menghormati orang yang berpuasa dan adanya ‘kecaman’ sosial bagi yang membuka warung nasi.

Jelas, puasa adalah kewajiban bagi seseorang yang memenuhi syarat-syaratnya diantaranya adalah baligh, berakal, suci (tidak sedang haid dan nifas), tidak membahayakan dirinya (sehat), dan menetap alias tidak musafir. Itu berarti bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka puasa adalah terlarang bagi mereka. Dengan merujuk hal tersebut, maka orang yang tidak berpuasa berada pada posisi yang sama dengan orang yang berpuasa, yakni sama-sama dalam taat dan mengamalkan perintah Allah swt. Orang yang memenuhi syarat, maka ia berpuasa sesuai perintah Allah swt , dan orang yang tidak memenuhi syarat maka ia tidak berpuasa sesuai dengan perintah Allah juga. Lalu mengapa kita hanya menghormati orang yang berpuasa dan kurang menghormati orang yang tidak berpuasa?

Bukankah orang yang musafir, orang sakit, orang yg lagi haid dan nifas, atau orang yang lagi hamil dan menyusui, orang-orang tua yang tak mampu berpuasa, serta lainnya yang dikarenakan alasan-alasan syar’i tidak melaksanakan puasa adalah orang-orang yang beriman dan taat pada perintah Allah swt.

Suatu kali di bulan ramdahan, saya diundang memberikan kajian ke suatu daerah di luar kota Medan, ke tempat pengajian seorang Syeikh Thariqat. Saya dan beberapa teman berangkat memenuhi undangan tersebut. Kami pun berangkat pagi hari dari Medan. Sesampainya di sana telah banyak masyarakat berkumpul di balai pengajian thariqat. Maka kami pun bersilaturrahmi dengan masyarakat dan menyampikan tausyiah serta dilanjutkan dengan tanya jawab dan solat zuhur berjamaah.

Pengajian pun selesai sekitar siang hari menjelang sore. Setelah pengajian selesai, ibu-ibu setempat pun kemudian di perintahkan sang syeikh thariqat untuk menyediakan hidangan. Berbagai macam makanan diletakkan di hadapan kami. Kami terkejut melihat hal itu, dan menanyakan pada Syeikh thariqah tersebut. Maka sang syeikh menjawab sambil tersenyum, “Bukankah para rombongan sedang tidak berpuasa karena musafir (sesuai dengan mazhab syiah), makanya kami sengaja menyediakan hidangan sebagai penghormatan bagi yang tidak berpuasa. Adapun kami tetap berpuasa, karena kami bukan musafir. Silahkan di cicipi tanpa sungkan-sungkan, karena orang-orang di sini sudah paham hukum-hukum puasa dalam berbagai mazhab.”

Dengan hati lega kamipun menyantap makanan yang dihidangkan tanpa malu-malu dan tanpa sembunyi-sembunyi. Di dalam hati saya berkata, “Jika di luar mungkin kami makan sambil sembunyi dan hanya menunjukkan ujung kaki, tapi di sini bisa makan di depan kaum muslimin tanpa rasa risih. Ternyata, betapa indahnya jika kita saling menghormati keragaman pemahaman. Tidak hanya orang yang berpuasa yang harus dihormati, orang yang tak berpuasa pun layak mendapat penghormatan, karena sama-sama mentaati perintah Allah swt.” Terngiang kembali ucapan sang Syeikh Thariqah tersebtu, “Kami sengaja menyediakan hidangan sebagai penghormatan bagi yang tidak berpuasa.” Semoga Allah merahmati Syaikh Tarekat tersebut Wallahu a’lam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here