Tulisan dibawah ini milik Pendeta Binsar Pakpahan Anak Sulung Almarhum Prof Dr Muchtar Pakpahan. SH.MA. Kami sengaja mengangkatnya sebagai bacaan di SBSINEWS.COM.

Suatu siang di tahun 1970an di daerah Medan, seorang pemuda penarik becak sedang leyeh-leyeh di bawah pohon rindang sambil menunggu penumpang dengan membaca buku Soekarno. Tidak berapa lama datang polisi dan pemuda tersebut di bawa ke kantor polisi yang ternyata berada di belakang becakny.
Polisi tersebut pun menginterogasinya.
“Darimana kau dapat buku ini?” Ujar polisi tersebut dengan tegas ingin menunjukkan bahwa dia berkuasa.
“Saya pinjam dari teman saya” jawab pemuda itu
“Darimana dia dapatkan buku ini?”
“Saya tidak tau pak.”
“Kenapa kau baca buku ini?”
“Saya mau belajar mengenai Soekarno pak. Dia sosok yang mengagumkan”.
“Kau tau tidak, buku ini dilarang!”
“Wah tidak tahu pak. Minta maaf lah kalau salah.”
“Buku mengenai Soekarno tidak boleh lagi beredar. Tahu kau?! Sekarang kumaafkan lah kau, tapi jangan ulangi lagi ya.”

Pemuda tersebut meninggalkan kantor polisi tersebut dan menuju rumah dosennya. Seorang perempuan yang memiliki idealis tinggi dan juga merupakan dosen di fakultas hukum di USU. Pemuda penarik becak tersebut merupakan mahasiswa hukum tingkat satu dan masih berapi-api ingin menerapkan ilmu hukumnya yang masih cetek. Dia menemui ibu dosen tersebut dan menceritakan pengalamannya.

“Besok, kau kesana lagi. Bawa buku ini. Kalo dia mau menahanmu atau buku ini, tanya sama dia, dimana pasalnya? Dimana dasarnya hukumnya?”

Merasa mendapatkan amunisi untuk berargumen, besoknya pemuda tersebut pun melakukan hal yang sama kembali. Namun kali ini bukan leyeh-leyeh, tapi menanti kapan petugas akan keluar dan melihatnya kembali membaca buku bersampul gambar Soekarno tersebut.

Benar saja, pemuda tersebut pun dibawa kembali ke dalam kantor polisi dan diinterogasi dengan petugas yang sama.

“Kau ini, sudah kubilang kemarin. Kenapa masih kau lakukan?”

Pemuda tersebut sudah menyiapkan argumennya dengan baik.

“Memangnya dimana pasal yang bilang saya tidak boleh baca buku ini?”

“Bah, melawan kau ya?!”

“Saya tidak melawan pak, saya mahasiswa Hukum. Dosen saya merupakan dosen hukum bagi polisi di Sumatera Utara ini. Secara hukum, saya mau tanya apa dasar hukumnya bapak melarang saya baca buku mengenai pendiri bangsa ini?”

“Bah, banyak kali cakapmu! Masih kecil pun berani-beraninya kau melawan petugas hukum!”

Pemuda tersebut tetap bersikeras dengan argumennya yang tidak bisa dijawab oleh polisi tersebut. Sehingga akhirnya pemuda tersebut kembali dibebaskan. Bahkan ketika polisi itu ingin menyita bukunya, pemuda tersebut mengingat pesan dosennya dan kembali memenangkan argumen tersebut. Sementara polisi tersebut merasa apa yang dikatakan pemuda itu benar sehingga dia tidak menahan pemuda yang bisa dianggap melawan petugas hukum tersebut.

Keesokan harinya, pemuda tersebut kembali melakukan hal yang sama. Dan tentu saja, kembali dibawa ke dalam kantor polisi.

Polisi yang kemarin menginterogasinya hanya bisa berekspresi “lo lagi-lo lagi”.

“Ngapai lagi kamu kemari? Sudah kubilang jangan lagi kau baca buku itu!” Kali ini nadanya sudah setengah memohon.

Pemuda tersebut menjawab seperti sedang berorasi dengan berapi-api. Dalam bayangannya dia sedang meniru Soekarno yang sedang berpidato mengenai Indonesia, nasionalisme dan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, seperti hari-hari sebelumnya, diapun kembali dilepaskan. Namun kali ini sebelum pemuda tersebut meninggalkan ruangan, dia meminta sesuatu kepada petugas tersebut.

“Bagi dulu ongkos” ujar pemuda tersebut seolah-olah sedang meminta haknya.
“Bah kurang ajar kali kau. Kau minta ongkos sama aku!” Polisi tersebut makin kesal.
“Kalian sudah mengambil waktuku yang harusnya bisa dapatku pelanggan. Tapi karena kalian menahanku tanpa dasar hukum, maka aku minta ganti rugi!”

Akhirnya polisi tersebut mengeluarkan sejumlah uang yang menurut pemuda tersebut dia untung. Krn jumlahnya lebih banyak daripada kalo dia menarik becak.

Setelah itu, pemuda tersebut pun bebas membaca buku mengenai Soekarno meskipun di depan kantor polisi.

Pemuda tersebut adalah ayah saya Muchtar Pakpahan Baru . Keberanian dia untuk menegakkan hukum sudah dimulai sejak dia masih baru menjadi mahasiswa fakultas hukum. Kisah yang buat saya sangat inspiratif. Baginya “Kalau kamu benar, kenapa kamu harus takut?”.
Standar benar bagi ayah selalu berlandaskan pada Konstitusi, Pancasila dan prinsip kekristenan yaitu kasih. Makanya, apapun yang mengancam dia, selama dia tau apa yg dia lakukan benar, maka dia percaya semesta akan melindunginya.

Selamat hari Jumat Agung ya yah. Saatnya ayah benar-benar beristirahat dan menikmati masa pensiun ayah karena kan di Surga sistemnya ga kacrut lagi yah. I miss you dad.


Mengenang Jelang Satu Bulan Wafatnya Sang. Tokoh Pergerakan Buruh Prof Dr Muchtar Pakpahan. SH.MA

Redaksi SBSINEWS
17 April 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here