Kartini sebagai pemikir modern banyak merenungkan soal agama atau spiritualitas. Kritiknya pada agama masih terus aktual di jaman ini. Kartini melihat bahwa agama cenderung tidak menyatukan manusia melainkan mencerai beraikan manusia. Agama tidak membawa perdamaian namun justeru penyebab kekerasan.
Orang yang seibu-sebapak berlawanan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang esa itu. Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sayangnya, dengan amat sedihnya bercerai-cerai. Karena berlainan tempat menyerbu Tuhan, Tuhan yang itu juga, terdirilah tembok membatas hati yang berkasih-kasihan.
Ya Tuhanku, ada kalanya aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu, yang sebenarnya harus mempersatukan semua hamba Allah, sejak dari dahulu-dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, jadi sebab perkelahian berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya.
Sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam…Orang diajar di sini membaca Qur’an tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu. Sekalipun tiada jadi orang saleh, kan boleh juga orang jadi orang baik hati.
Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?”
(Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).