Amnesty International Indonesia menyebut ada tujuh poin bermasalah dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) Klaster Ketenagakerjaan. Amnesty menilai poin-poin itu dapat melemahkan hak asasi manusia (HAM), khususnya hak-hak pekerja.
“Menghilangkan jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara, jangka waktu perpanjangan maksimum dan kondisi lain yang menyebabkan perubahan pengaturan kerja sementara menjadi pengaturan kerja yang tetap,” kata dia dalam konferensi video, Rabu (19/8).
Masalah kedua, kata dia, RUU ini juga menambahkan pasal 77A, yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu, di mana jumlah kompensasi untuk jam kerja ekstra akan ditentukan oleh pemberi kerja melalui skema masa kerja, dan bukan tarif yang ditetapkan pemerintah.
Masalah selanjutnya, RUU ini juga menambahkan pasal 88C, yang menghapus upah minimum kota/kabupaten, sebagai dasar upah minimum bagi pekerja.
Ketentuan ini, menurut Usman, akan memukul rata standar upah minimum di semua kota dalam satu provinsi.
“Sehingga berpotensi menurunkan upah pekerja. Upah buruh di Karawang akan turun, karena dia mengikuti standar provinsi yang ditentukan berdasarkan upah minimum kabupaten terendah, misal di Banjar,” ucap dia.
Selanjutnnya, RUU Ciptaker menurut Usman juga mengubah rumus penghitungan upah minimum dalam ketentuan pasal 88D, dengan menghilangkan tingkat inflasi yang sebelumnya diperhitungkan dalam penghitungan upah minimum.
“Tingkat inflasi ini secara langsung sangat mempengaruhi biaya hidup, daya beli dari para pekerja. Sehingga menentukan apakah upah minimum itu akan cukup untuk menentukan standar hidup yang layak, itu menjadi sangat bermasalah,” kata dia.
Masalah kelima adalah RUU Ciptaker menambahkan ketentuan pasal 88B, yang memberikan kebebasan kepada perusahaan untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada para pekerja sebagai dasar penghitungan upah.
“Jadi sistem upah per satuan, ini akan sangat bermasalah bagi buruh yang mengandalkan kerja per harian atau per satuan dengan upah yang sangat minimal,” kata dia.
Masalah selanjutnya, RUU Ciptaker mengubah ketentuan cuti berbayar dalam pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, di mana amandemen ini meniadakan bentuk cuti berbayar yang dinilai penting untuk buruh perempuan.
“Misal cuti haid, cuti untuk acara keluarga, cuti orang tua, hingga cuti hari raya keagamaan,” kata dia.
Masalah terakhir, RUU Ciptaker menghapus pasal 91 UU Ketenegakerjaan. Perubahan ini, menurut Usman, akan meniadakan kewajiban perusahaan untuk membayar pekerja dengan gaji yang sesuai dengan upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, apabila perjanjian antara pekerja dan perusahaan, lebih rendah dari standar upah minimum.
“RUU ini ke depan harus dipertimbangkan secara matang, dengan proses konsultasi yang bermakna, dalam arti mengakomodir masukan-masukan yang disuarakan pekerja, oleh serikat pekerja, sehingga RUU ini tidak melemahkan HAM, khususnya hak para pekerja,” kata Usman.
RUU Ciptaker merupakan aturan yang sudah dipersiapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2019.
Beleid itu memungkinkan pemerintah mengubah beberapa undang-undang dalam satu proses atau dikenal dengan istilah omnibus law. Setidaknya, ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang akan diubah pemerintah dan terbagi menjadi 11 kluster.
Jokowi mengklaim, RUU itu dapat menarik investasi asing karena mampu menciptakan kemudahan melakukan usaha.
Namun dalam perjalanannya, muncul pro dan kontra mengenai aturan tersebut, khususnya mengenai kluster ketenagakerjaan. Pasal-pasal dalam RUU Ciptaker dinilai merugikan kaum buruh, selain itu, serikat buruh merasa juga tidak dilibatkan dalam proses pembahasan aturan ini.
Imbas penolakan itu, aksi demonstrasi yang dilakukan dari berbagai serikat buruh dan elemen masyarakat terjadi di berbagai daerah.
SUMBER : CNNINDONESIA.COM