Kali ini saya mau berbagi ingatan saya mengenai keberanian ayah. Cover Majalah Forum Keadilan Mei 1994 menunjukkan ayah yang berkata, “Saya Siap Digantung” mengingat kasus demonstrasi buruh pertama di Indonesia di masa Orde Baru yang dilakukan oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Cover tersebut menunjukkan siapa ayah apa adanya. Dia tidak pernah takut terhadap berbagai ancaman yang dihadapinya. Bagi teman-teman generasi sekarang yang tiap hari bisa mengungkapkan berbagai protesnya di media sosial, tahun 1994 seperti sebuah periode yang tak terbayangkan.
Cerita yang dibagi bang Gabarel Sinaga menunjukkan bagaimana ayah dan teman-teman harus mengecoh aparat yang mengikuti mereka waktu itu dari bandara Polonia Medan, dengan taktik pindah mobil dan masuk ke jalan tol. Pernah juga rumah tulang Tarigan dilempar bom molotov karena ayah berhasil mengecoh mereka dan tidak terdeteksi keberadaannya di Medan. Pengalaman ala-ala intelijen saya bersama ayah ada beberapa. Satu yang saya ingat adalah pada 1996 ayah diundang untuk ke Tokyo ada forum OPEC. Ancaman datang ke rumah, dia akan dibunuh jika berkeras pergi. Pagi itu, ayah mengatur taktik. Ayah menghubungi asistennya, lalu menelepon saudara kami yang tinggal tidak jauh dari kami. Ayah meminta asistennya mas Yono untuk pergi memantau situasi di sekitar rumah kami. Mas Yono melaporkan, ada satu mobil suzuki Katana dengan beberapa orang yang menunggu di pinggir jalan, di luar daerah rumah kami. Ayah meminjam mobil saudara kami, lalu meminta mama dan adik saya Darta untuk membawa mobil kami duluan, sementara Ayah, saya dan mas Yono di mobil belakang. Ketika Mama dan Darta dalam mobil daihatsu Zebra merah kami melewati mobil Katana tersebut, kami yang agak menjaga jarak di belakang melihat mereka menunjuk ke mobil kami, bergegas menghidupkan mobil mereka, dan mengikuti mama. Saya ingat Ayah berkata, “Ah, masih lebih pintar kita dari mereka.” Mama Rosintan Marpaung dan Darta diberitahu untuk memutar sekali di Jl. Balap Sepeda lalu kembali ke rumah untuk keamanan mereka.
Sebagai anak aktivis, kami juga hidup dan besar dengan berbagai ancaman. Pengalaman tersebut membuat kami sebagai keluarga tidak lagi takut terhadap ancaman yang datang kepada kami. Ayah selalu berkata, “Jika memperjuangkan kebenaran, kita tidak perlu takut. Tuhan beserta kita.” Waktu itu, saya belajar bukan dari ucapannya, namun dari tindakannya. Ada tiga pengalaman yang mengingatkan saya akan keberanian ayah yang dia tularkan kepada anak-anaknya dalam mengatakan hal yang benar.
Setelah ayah ditahan di Penjara Tanjung Gusta, Medan, 1994-1995, hidup kami sudah tidak pernah sama. Ayah selalu mengingatkan kami untuk berhati-hati dalam perjalanan ke sekolah. Kebetulan sekolah saya dan adik saya kami tempuh dengan 30 menit berjalan kaki. Ada satu momen sekitar tahun 1995 ketika ayah masih ditahan di Medan, dan saya bermain di sebuah rumah teman di ujung gang rumah kami. Lalu, dua orang datang dan bertanya kepada kami, “Dek, rumah Binsar Pakpahan yang mana ya?” Saya agak heran kenapa orang ini bertanya ke saya mengenai alamat rumah saya. Kami kompak menunjukkan rumah ayah. Kami intip dia berjalan ke arah rumah, ketika melewati rumah kami mereka melihat-lihat sebentar lalu melanjutkan perjalanan mereka hingga tidak terlihat di ujung gang. Pengalaman saya mengatakan bahwa mereka adalah “intel”. Ketika ayah ditahan di Medan, kami sudah mengikuti persidangannya beberapa kali ketika kami membesuk dia di Medan. Dalam pengadilan, beberapa anggota keluarga selalu mengingatkan, awas itu intel, sambil menunjukkan beberapa orang dengan ciri yang hampir sama: perawakan yang tegap, menggunakan jeans, kadang-kadang jaket jeans, warna kulit agak gelap. Dari beberapa persidangan itu, saya sudah mempelajari siapa intel yang dimaksud dan mulai berhati-hati terhadap mereka dengan penampilan demikian. Teman-teman saya juga lama-lama memahami siapa ayah dan tahu bahwa kami harus berhati-hati. Mereka beberapa kali “melihat” orang-orang dengan ciri yang sama yang mengikuti kami berjalan pulang sekolah. Karena itu, kami tidak pernah berjalan hanya berdua, saya dan adik saya. Kami pasti jalan bersama-sama beberapa teman, dengan alasan keamanan.
Kemudian, ketika saya masih berusia 16 tahun dan duduk di kelas 2 SMA. Ketika itu ayah ditahan di LP Cipinang karena kasus Perebutan Kantor PDI di Jl. Dipenogoro 27 Juli 1996. Setelah itu, kasus yang dikenakan ke ayah malah berpindah jadi soal disertasi dan pembelaan buruh. Ayah kemudian sakit sehingga harus lama dirawat di RS Cikini, mungkin ada sekitar 18 bulan, sampai Presiden Soeharto mengundurkan diri. Dari ruangan C3 RS Cikini ini banyak koordinasi perjuangan terjadi. Di luar pintu kamar ayah selalu ada polisi yang berjaga, lama-lama kami pun jadi bersahabat dengan mereka. Di tengah kedatangan banyaknya teman-teman pejuang demokrasi, juga dari komunitas yang sekarang menjadi Gusdurian, saya belajar mengenai pergerakan. Saya kemudian diminta ayah dan teman-teman pergerakan untuk mewakili ayah pergi ke Geneva, berbicara di sidang pemimpin ILO, dan menyampaikan keprihatinan mengenai kasus ayah. Mbak Nia Sjarifudin, yang sekarang juga sering bertemu dengan saya di berbagai perjuangan kebebasan beragama, mendorong saya untuk berani menerima tawaran ini. Pendek cerita saya menyanggupi dan bersedia pergi. Meski demikian ayah mengatakan ke saya, bahwa dia mendengar isu kalau saya masuk daftar culik. Mengetahui hal seperti ini, dia masih tetap menyuruh saya pergi dan mengatakan tidak usah takut, Tuhan akan menemani saya. Sebagai anak usia 16 tahun, yang belum pernah naik pesawat, apalagi ke luar negeri, ditambah berkampanye ke sidang ILO untuk membantu pembebasan ayah saya saja sudah berat, apalagi dengan ancaman penculikan. Tapi, saya sadar, bahwa tugas ini harus tetap dijalankan. Sepanjang perjalanan di pesawat teman-teman perjuangan mengatur supaya saya pergi dengan tanda “minor first flight” yang menggunakan tanda/sticker di baju saya bahwa saya terbang sendiri dan memerlukan pendampingan. Hasilnya, saya selalu ditemani pramugari, mulai dari Jakarta, Kuala Lumpur, Zurich, Geneva. Sepanjang jalur itu saya melihat dua orang dengan ciri-ciri “intel” yang selalu mengikuti saya, mereka sering melihat ke arah saya, duduk tidak jauh dari saya, dan ketika transit juga berjalan di belakang saya. Setiap transit, saya selalu komunikasi dengan pramugari dan berkata, “Miss, I really need your help to bring me to the next flight, because this is my first time flying.” Mereka sangat ramah dan menemani saya. Saya tidak pernah sendiri, dan akhirnya tiba di Geneva dengan selamat dan melakukan beberapa tugas saya untuk menyampaikan speech mengenai pembelaan terhadap ayah saya. Setelah itu, saya kembali diundang untuk berbicara di forum APEC Youth Forum di Vancouver, Kanada tahun 1997. Lagi-lagi saya travel sendiri, dan bahkan ditahan di Los Angeles karena tidak punya transit visa USA. Saya juga tidak tahu kalau LA – Vancouver ternyata penerbangan lokal yang memaksa saya harus keluar dari international flight ke domestik. Anyways, di Vancouver, banyak wartawan bertanya kepada saya, apa yang ingin saya sampaikan kepada Presiden Soeharto yang waktu itu datang ke Vancouver. Beberapa poster koran lokal menunjukkan foto beliau dengan label “criminal”. Takut juga akan keselamatan saya, saya mengatakan, sebaiknya tidak perlu mencantumkan nama saya, karena saya masih mau pulang ke Indonesia. Untunglah, mereka tidak mencantumkan nama sumber, dan akhirnya saya bisa kembali ke Jakarta.
Pengalaman lain yang mau saya share adalah ketika ayah baru keluar dari penjara di 1999, dan dia dilanda isu yang tidak enak, dituduh menghina agama lain, yang sama sekali tidak pernah dilakukannya. Dia kemudian menerima demo di depan kantornya dan ancaman telepon setiap hari, sampai membelikan mesin penjawab telepon. Setiap saat kami diganggu oleh ancaman yang mengatakan, “Kami akan datang ke rumahmu”, atau “Kami akan membunuhmu”. Lama-lama, kami jadi terbiasa. Saya dan adik saya Iyuth bahkan meninggalkan salam di mesin penjawab telepon ini, “Anda telah menghubungi rumah Muchtar Pakpahan, jika ingin meninggalkan ancaman, silakan tinggalkan ancaman setelah bunyi beep”. Lucunya, banyak juga yang meninggalkan ancaman. Pernah satu kali, saya menerima salah satu telepon ancaman yang mengatakan adik saya mereka culik. Karena saya tahu adik saya sedang di luar, saya pancing dia, “adik saya yang mana lagi pak?” lalu kadang-kadang kalau saya dengar suara peringatan pulsa koin penelepon mau habis (ya, waktu itu masih pakai telepon koin), saya pancing mereka dan berkata, “pak pulsanya mau habis, kalau perlu koin saya bisa kasih banyak”.
Begitulah pengalaman kami sebagai anak-anak ayah yang pemberani. Keberaniannya dalam memperjuangkan kebenaran datang dari pengalaman hidupnya yang juga cukup sulit, sehingga dia selalu mengatakan, “Ayahmu ini orang yang berhutang sama Tuhan.” Dia dulu tidak pernah menyangka banyak hal yang dia jalani bisa dia terima, mulai dari gelar sarjana, sampai berbagai perjuangannya. Sehingga dia benar-benar memegang prinsip hidupnya adalah untuk melayani Tuhan melalui pelayanan terhadap kaum terpinggirkan. Keberaniannya ternyata tertular kepada kami. Terima kasih ayah untuk pelajaran berharga.
Penulis
Binsar Pakpahan