Tahun lalu Senin malam, 9 Agustus 2020, Komunitas Pengkaji Isu-isu Kontemporer (Kopiko), menyelenggarakan webinar bertajuk “Radikalisme: Fakta, Mitos, atau Proyek?” Pada webinar tersebut, saya selaku Peneliti Balai Litbang Agama Makassar diundang sebagai salah satu pemantik diskusi.

Selain saya, kegiatan tersebut juga diisi dua pemantik lain, yaitu Amanah Nurish, Ph.D (Dosen Kajian Terorisme PPs Universitas Indonesia) dan Nono S.A. Sumampouw (peneliti/antropolog dari Manado). Tulisan ini merupakan ringkasan dari materi yang saya sampaikan pada acara tersebut.

Radikalisme

Term radikal merupakan istilah yang kerap dimaknai secara ambigu. Dalam dunia filsafat, radikal bermakna positif. Berpikir radikal (radix = akar) atau berpikir sampai ke akar-akarnya, merupakan kemestian dari cara berpikir filsafat, sehingga semua filosof pasti membawa ide-ide atau pemikiran yang radikal.

Namun, makna positif dari term radikal tersebut mengalami peyorasi makna ketika dibawa dalam dunia sosial-politik dan keagamaan.

Kata radikal, menurut Cambridge Advanced Learners Dictionary (2008), adalah percaya atau mengekspresikan keyakinan, bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem.

Sedangkan radikalisme, berarti tindakan atau gerakan yang ditandai oleh aksi ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah keadaan sesuai yang diinginkan. Dalam kajian ideologi, radikalisme adalah ideologi non-kompromistis, atau lawan dari kata moderat (Jainuri, 2016).

Karena karakternya yang ekstrem, radikalisme sering diidentikkan dengan aksi-aksi kekerasan sebagai bagian dari modus perjuangannya.

Perilaku kekerasan adalah respons atas keadaan, yang menurut mereka, sebagai kegagalan dari suatu tatanan sistem sosial politik yang terjadi.

Kelompok radikalis ini berusaha supaya hanya ideologi mereka sajalah yang menjadi alternatif satu-satunya, yang nantinya menggantikan tatanan sosial yang ada, dan membawa masyarakat pada tatanan sosial ideal.

Sifatnya yang afirmatif terhadap kekerasan membuat radikalisme, ketika dikaitkan dengan gerakan keagamaan, dimaknai sebagai “sikap kaku dalam beragama yang mengandung tindak kekerasan” atau “tindak kekerasan atas nama agama.”

Radikalisme kemudian jamak dipahami dan diidentikkan dengan paham, atau gerakan keagamaan fundamentalis, yang menghalalkan cara-cara kekerasan atau teror dalam aksi-aksinya.

Dalam tinjauan internal agama, fenomena sikap ekstrem dan kekerasan atas nama agama adalah sebagai respons atas fakta, yang menurut mereka, merupakan penyimpangan dari sekelompok orang tertentu atas ajaran dan prinsip agama.

Basis kognisi dari radikalisme agama, adalah cara pandang lirerer dalam menafsirkan nas keagamaan, tafsir tunggal, menolak perbedaan, sikap anti tradisi, dan berpandangan zaman awal dari agama (salafus salih) sebagai prototipe ideal yang harus diduplikasi secara utuh pada zaman ini.

Mereka memberi “cetak biru” kepada generasi awal sebagai zaman dan komunitas dengan praktik keagamaan terbaik.

“Cetak biru” atas idealitas generasi awal inilah, yang menjadikan dasar bagi mereka untuk berjuang mengembalikan masyarakat kembali, sebagaimana generasi awal tersebut.

Cita-cita dan perjuangan tersebutlah yang membuat mereka juga disebut kaum revivalis, yaitu kelompok yang memperjuangkan cita-cita kembalinya zaman keemaasan atau golden age dalam konteks zaman kini, sebagaimana “cetak biru” dari zaman golden age di masa lalu tersebut.

Radikalisme agama secara sederhana dapat dilihat pada lima ciri, yaitu simbolisme agama, menolak paham kebangsaan (nasionalisme, demokrasi, dan paham kebangsaan lain yang dipandang sebagai produk sekuler Barat), tindak kekerasan atas nama agama, intoleran terhadap perbedaan (intern maupun dengan penganut agama lain), serta sikap reaktif yang puritanis terhadap upaya integrasi agama dan kebudayaan lokal.

Fakta

Sebagai sebuah fakta, radikalisme tentu tak bisa dinafikan. Fakta radikalisme agama bukanlah hal baru, melainkan tumbuh beriring dengan sejarah sebuah komunitas agama.

Pada era kontemporer, radikalisme agama kerap diidentikkan dengan Islam, sebuah asumsi yang tentu tak sepenuhnya benar. Sebab, fakta radikalisme, pada dasarnya terdapat pada semua komunitas agama.

Namun, penyematan radikalisme pada kelompok Islam tertentu, juga tak bisa disangkal. Mulai dari konteks global, regional, nasional, hingga lokal, kelompok radikal Islam tampak nyata dalam gerakan dan aksi, meski bukan sebagai sebuah kelompok tunggal.

Fazlur Rahman (2000), menggunakan istilah revivalis untuk menunjuk kelompok keagamaan muslim, yang secara radikal ingin mengembalikan tatanan masyarakat muslim kembali pada tatanan generasi awal.

Sementara Bassam Tibi (2000), menggunakan istilah fundamentalis, yaitu ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio-politik dan ekonomi, dalam rangka menegakkan sebuah tatanan yang diridhai Tuhan.

Selanjutnya, ideologi fundamentalisme tersebut bersifat eksklusif. Dalam arti, menolak opsi-opsi yang dipandang oleh mereka bertentangan dengan agama, terutama terhadap pandangan-pandangan sekuler, yang menolak hubungan antara agama dan politik.

Fakta gerakan Islam radikal yang menggunakan cara-cara kekerasan dan teror dalam menjalankan misinya pada konteks global, dapat kita lihat pada organisasi Jamaah Islamiyah (JI), Al-Qaeda, Islamic State Irak and Suriah (ISIS), dan beberapa kelompok keagamaan radikal lainnya.

Radikalisme keagamaan yang menolak paham kebangsaan, pro terhadap tindakan kekerasan, intoleran, dan menentang akomodasi agama terhadap kebudayaan lokal, tampak nyata pada beberapa kelompok keagamaan di Indonesia.

Gerakan yang dilakukan adalah mulai penggiringan opini hingga tindakan persekusi. Bahkan, teror yang mengusung misi simbolisme agama.

Aksi kekerasan jamak dilakukan sebagai modus perjuangan. Mulai dari negasi atas keragaman keyakinan hingga penentangan terhadap praktik kebudayaan lokal, yang dipandang bertentangan dengan nilai, prinsip, dan ajaran agama yang murni.

Berbagai temuan riset menemukan, paham keagamaan radikal telah merasuk pada berbagai segmen dan lapisan masyarakat, mulai kalangan akademisi hingga dunia birokrasi.

Opini yang terbangun, bahwa radikalisme identik dengan kelompok marginal yang lemah secara pengetahuan dan ekonomi, terbantahkan dengan fakta, bahwa yang cenderung berpaham keagamaan radikal banyak berasal dari kalangan terdidik dan mereka secara ekonomi cukup mapan.

Cara pandang keagamaan, adalah faktor, meski bukan satu-satunya pemicu seseorang secara keagamaan menjadi radikal.

Pemahaman agama yang monolitik, eksklusif, puritanis, dan formalis merupakan pemicu radikalisme agama dari faktor cara pandang keagamaan.

Aksi-aksi radikal dapat dilihat dari maraknya penolakan pembangunan hingga perusakan rumah ibadat, pembubaran paksa kegiatan tertentu yang dipandang bertentangan dengan prinsip agama mereka, hingga aksi-aksi persekusi terhadap penganut keyakinan agama atau kelompok agama yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan, radikalisme agama, adalah fakta yang sangat nyata.

Mitos

Apakah radikalisme agama mengundung unsur mitos? Jawabnya, iya. Sebagai sebuah ideologi, radikalisme agama tentu saja mengalami proses, yang disebut Thompson (1994) sebagai mitifikasi.

Mitifikasi inilah yang menjadi penggerak solidaritas kelompok untuk berjuang bersama. Mitifikasi yang tampak pada mitos tentang tatanan sosial nan ideal yang diridhai Allah dan angan-angan tentang bidadari yang akan menjemput seorang yang mati syahid, saat menjalankan tugas teror.

Hingga mitos sebagai orang atau kelompok “pilihan” yang “terpilih” untuk menjalankan misi perjuangan suci memberantas semua bentuk penyimpangan di masyarakat, yang tak sesuai dengan prinsip agama yang mereka pahami.

Radikalisme juga mengalami proses mitifikasi secara eksternal akibat oversimplifiaksi dan overgeneralisasi dalam memahami radikalisme.

Mitifikasi tersebut melahirkan mitos, bahwa radikalisme agama hanya identik dengan agama tertentu (misalnya, Islam). Padahal, radikalisme dengan beragam bentuk dan intensitasnya, ada pada semua kelompok agama.

Mitos lain yang kerap terbangun akibat oversimplifikasi memahami radikalisme, adalah identifikasi radikalisme agama pada bentuk-bentuk ekspresi keagamaan tertentu. Semisal jilbab besar, cadar, janggut, dan bentuk ekspresi keagamaan lainnya, yang dipandang sebagai penciri, bahwa seseorang berhaluan keagamaan yang radikal.

Proyek

Gerakan radikalisme agama oleh pihak-pihak tertentu, kemudian dimanfaatkan sebagai proyek, baik berskala global, regional, nasional, hingga skala lokal.

Robert Dreyfus, dalam bukunya Devil Game Orchestra: 60 Tahun Perselingkuhan Amerika-Religious Extremist (2007), menjelaskan bagaimana perselingkuhan Amerika dengan kelompok Islam radikal untuk menghancurkan Uni Soviet selama masa perang dingin, khususnya pengaruh Soviet di kawasan Timur-Tengah.

Kelompok Islam radikal dimanfaatkan sebagai proxy politik Amerika untuk memuluskan tujuan ekonomi politiknya atas kawasan Timur-Tengah. Meski pada kenyataannya, langkah politik ini pada beberapa kasus menjadi bumerang bagi Amerika.

Dalam konteks global dan regional, radikalisme agama digunakan sebagai alat untuk memuluskan bisnis penjualan senjata, penguasaan sumber-sumber ekonomi, seperti minyak, hingga agenda hegemoni politik atas kawasan regional maupun global.

Gerakan radikalisme di tingkat nasional, bahkan lokal, kerap dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu terkait proyek ekonomi-politik.

Gerakan dan aksi radikalisme dimanfaatkan sebagai strategi pengalihan isu, penguasaan sumber daya ekonomi, hingga dimanfaatkan sebagai proxy politik dalam suksesi dari pemilihan presiden, hingga pemilihan kepala daerah.

Sebagai sebuah proyek, akhirnya radikalisme agama tidak lagi murni sebagai gerakan perjuangan agama. Melainkan telah menjelma sebagai gerakan politik untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat profan.

Penulis
Sabara Nuruddin
di Makassar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here