Bang,
Setiap kali saya memimpin demo buruh, selalu ada wartawan, intel, polisi yang bisik-bisik.
“Anak buah Muchtar Pakpahan itu!”
Memang benar! Abang waktu itu, menjadi ikon dan lokomotif perjuangan buruh dan perlawanan terhadap rezim Soeharto.
Menjadi “anak buah”mu adalah sebuah pencapaian bagi saya. Meski konsekuensinya adalah kerja keras, tahan ogar, tahan lapar dan tahan godaan. Karena kasus yang begitu banyak yang membutuhkan militansi teruji.
Tidak sedikit juga yang mencibir kami dengan mengatakan:
‘Anak buah si Muchtar Pakpahan PKI do i, kan?”
Pernah suatu ketika, saya ribut dengan pengusaha di Pematangsiantar, karena di dinding pabriknya ditempeli kliping koran “Muchtar Pakpahan Anak PKI” untuk menakut-nakuti buruhnya yang adalah anggota SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia).
Hampir saja kupolisikan, tapi dia keburu minta maaf. Saya marah, karena saat itu buruh belum paham apa itu komunis dan PKI.
Ketika semua tokoh pergerakan nasional (dan internasional) menyebut diri sosialis yang alergi dengan romantisme ritual agama, bahkan banyak yang “mengkerenkan” diri dengan mengaku sebagai agnostic. Dan lebih extrim mengklaim atheis. Kau tetap memilih menjadi orang yang sangat religius.
Kau bukan sintua, tapi kesalehanmu dan kesederhanaanmu membuat kami partohonon “shame on me”. Dan karena itu, di mataku kau setingkat di atas tokoh pergerakan lainnya.
Ada banyak kisah tentangmu, yang kusaksikan sendiri. Bahkan kualami bersama-sama denganmu, yang selalu kubagikan untuk menginspirasi para aktivis muda.
Dan itu tetap akan kusimpan. Kuceritakan kelak kepada anak dan cucu cicitku. Bahwa di negeri pernah ada orang hebat, yang berjuang untuk kaum miskin dan papa. Dan perjuangannya menggetarkan dunia.
Lalu dengan bangga, kutunjukkan foto-foto bahwa aku pernah satu masa bersama-sama dengan orang hebat itu.
Tahun lalu ketika kita diskusi soal UU Ciptaker, kau bilang,” Mana ada lagi yang mengingat orangtua seperti aku, Bul”
Bang,
Hari ini semua media nasional memuat fotomu. Kisah-kisah heroikmu. Tak ada yang menyangkal kesetiaanmu menjalani hidup melawan kesewenang-wenangan. Bahkan mereka yang pernah lawanmu pun menaruh hormat.
Telah banyak pertarungan kau menangkan. Meski akhirnya kau dikalahkan cancer nasofaring.
Di Surat Malua- ku ada tertulis Hata Sipaingot (Mazmur 11:7). Tapi aku lebih suka terjemahan bahasa Batak Tobanya,
“Ai na tigor do Jahowa, jala dihaholongi do angka hatigoran, idaon ni na tigor roha i ma sogot bohina”.
Borhatma ho abang! Dapothon Tuhanmi.
Dia sudah mempersiapkan tempat yang indah buatmu. Tempat khusus untuk orang-orang istimewa yang memperjuangkan keadilan di dunia.
Kami yang tinggal akan meneruskan perjuanganmu. Supaya kita bisa berkumpul di tempat itu kelak.
Selamat jalan, bang MP !
Timbul Simanungkalit
– Mantan Ketua FTA-SBSI Siantar Simalungun
– Mantan Sekjend DPP FGarteks-KSBSI