Nitizen Indonesia, menurut laporan Microsoft, menempati posisi terendah dalam kesopanan di Asia Tenggara.

Rendahnya kesopanan tak hanya terjadi dalam dunia maya yang marak dengan pelecehan seksual, komentar kasar dan pembunuhan karakter akibat kecanduan polarisasi politik dan keyakinan, namun lebih mencolok di dunia nyata. Fenomena ini tercermin dari tingginya angka kejahatan termasuk korupsi, pemerasan, penipuan, pungutan liar dan persekusi juga dari rendahnya angka wisatawan mancanegara.

Tinggi dan rendahnya kesopanan juga tercermin dalam perlakuan terhadap wanita bahkan dalam lingkungan relijius dan modern. Kasus-kasus kriminal amat biadab terutama seksual berupa pemerkosaan dan pelecehan yang hampir setiap hari diberitakan seolah jadi berita kejahatan biasa.

Kasus-kasus konflik berdarah seperti tawuran antar pelajar, perundungan terhadap maba dalam program orientasi, dan pertikaian antar ormas soal lahan operasi, pembantaian berlatar sentimen suku dan etnis, tawuran antar kampung, antar geng, antar suporter klub jadi fenomena lumrah. Tragedi Mei, Sampit dan Poso adalah contoh nyata dan “segar” tentang itu.

Rendahnya tingkat kesopanan adalah cermin rendahnya toleransi. Kekerasan karena sentimen agama dan aliran dll terlalu nyata dibiarkan, bahkan cenderung ditutupi dan dirugikan dalam proses hukum.

Itu semua membuat kita mempertanyakan stigma “kekerasan adalah budaya import dari Timteng.” Karena budaya adalah produk kreasi logis, etis dan estetis manusia, kekerasan dan kekasaran tak pernah masuk dalam list budaya. Ia bukanlah budaya siapapun.

Kesopanan dan kekerasan juga tak terkait dengan agama formal, budaya etnis dan daerah tertentu tapi ia adalah efek tinggi dan rendahnya rasionalitas serta hidup dan matinya logika kapan dan di manapun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here