Pemerintah membentuk tim untuk membahas penyusunan pedoman interpretasi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dinilai memuat sejumlah pasal yang multitafsir. “Tim bertugas untuk membuat interpretasi yang lebih teknis dan memuat kriteria implementasi dari pasal-pasal yang dianggap pasal karet,” ujar Menko Polhukam Mahfud MD dalam keterangan pers melalui video, Jumat (19/2) malam.
Menurut Mahfud, tim tersebut akan dipimpin oleh Menkominfo Johnny G Plate. Seperti diketahui, wacana penyusunan pedoman interpretasi ini diungkapkan oleh Menkominfo saat dikonfirmasi soal langkah pemerintah terkait revisi UU ITE pada Rabu (17/2). Johnny mengatakan, pembentukan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE diinstruksikan oleh Presiden Jokowi. Pedoman tersebut dibuat agar implementasi pasal-pasal UU ITE berjalan adil dan tak multitafsir. Dalam proses pembahasan, Kemenkominfo akan melibatkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Kelompok Masyarakat Sipil masih menyangsikan niat Presiden Jokowi merevisi UU ITE sebelum wacana itu benar-benar diwujudkan. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, misalnya menanti keseriusan Presiden Jokowi mengkonkretkan ucapannya. Dari segi kemampuan, kata Asfinawati, pemerintah cukup kuat untuk mengintervensi lolos tidaknya sebuah kebijakan. Hal itu bertolak dari mulusnya penerbitan sejumlah undang-undang mulai dari Omnibus Law, revisi Undang-undang KPK hingga, revisi UU Minerba. “Tinggal kemauan saja. Mau atau enggak, atau cuma lip service saja?” ujar Asfinawati, kemarin.
Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto meragukan keseriusan pemerintah dalam merevisi UU ITE. Ia menilai pemerintah tidak satu suara. “Saya ragu bahwa pemerintah ini serius untuk merevisi UU ITE, karena dari pernyataan para pejabat publik, pemerintah sendiri tampaknya belum satu suara,” kata Arif dalam diskusi bertajuk Revisi UU ITE : Setelah Korban Berjatuhan, Jumat (19/2).
Arif menilai, sikap pemerintah yang berbeda itu justru membingungkan. Pertama, pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkominfo Johnny G Plate terkait langkah awal revisi dengan menyusun pedoman interpretasi atas UU ITE. Kemudian Deputi IV Kantor Staf Presiden Bidang Informasi dan Komunikasi Politik (KSP) Juri Ardiantoro yang mempersilakan DPR mengambil inisiatif revisi UU ITE. “Sinyal-sinyal ini membingungkan. Jadi saya ragu bahwa pemerintah serius, karena Istana saja tidak satu suara seperti itu,” tuturnya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengatakan, polisi ada dalam posisi serba salah ketika menerima laporan tentang perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, sering muncul anggapan bahwa polisi berpihak kepada pelapor yang laporannya diterima. “Serba salah. Di satu sisi penerapan UU ITE ini dampak polarisasi yang masih terus kelihatan. Kita bisa lihat pengelompokan ini sumber masalah yang harus kita selesaikan,” kata Sigit saat memberikan sambutan pada Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-74 di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, kemarin malam.
Karena itu, dia berjanji segera menyelesaikan persoalan itu, salah satunya dengan menginstruksikan jajarannya membuat panduan dalam menerima laporan yang menggunakan UU ITE. Dengan begitu, tiap penyidik memiliki pedoman umum yang sama dalam penerapan UU ITE . “Hoaks dan kritik itu beda tipis. Ini potensi kondisi bangsa terpecah,” ujar dia. Salah satu aturan yang akan ditentukan dalam panduan yakni laporan dengan pasal UU ITE yang bersifat delik aduan harus dilaporkan langsung oleh korban. Artinya, korban tidak boleh diwakilkan.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TEPI) Jeirry Sumampow meminta pemerintahan Presiden Jokowi merinci pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap tidak memberikan keadilan. Jeirry mengatakan, pemerintah perlu merinci pasal-pasal tersebut karena ia khawatir pasal yang dianggap bermasalah oleh pemerintah justru berbeda dengan konsep yang ada di masyarakat.
“Pasal-pasal apa saja yang harus direvisi yang menurut presiden memberi ketidakadilan, atau menurut masyarakat memberi ketidakadilan. Jangan-jangan yang kita bayangkan mau direvisi itu berbeda dengan yang dibayangkan presiden dan pemerintah,” kata Jeirry dalam diskusi virtual bertajuk ‘Revisi UU ITE: Setelah Korban Berjatuhan’, Jumat (19/2).
Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti meminta pemerintah dan DPR merevisi sejumlah aturan hukum yang kerap digunakan untuk saling lapor ke polisi atau mengkriminalisasi pihak lain. Selain UU ITE, Rangkuti berpendapat, KUHP juga perlu direvisi. “Saya kira revisi Undang-Undang ITE tidak akan berdampak signifikan kalau KUHP masih memuat pasal yang sama,” katanya, Jumat (19/2). Ia mencontohkan pasal pencemaran nama baik yang diatur pada Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, juga diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Menurut Ray, apabila KUHP tidak ikut direvisi, maka aksi saling lapor akan terus berlanjut dengan memakai KUHP. Ray pun meminta agar Presiden Jokowi juga meninjau pasal-pasal yang ada di KUHP, apakah sudah memberi ruang yang cukup bagi publik untuk mengkritik dan berpendapat atau tidak.
Mantan Jubir Partai Demokrat yang kini menjadi anggota PDIP, Ruhut Sitompul mengatakan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) harus meminta maaf kepada Presiden Jokowi karena telah melemparkan bola panas terkait dugaan perebutan kepemimpinan di tubuh Partai Demokrat. “Ini menunjukan bahwa AHY itu childish. Sudah lempar bola panas, dan menuduh enggak-enggak pada Presiden Jokowi. Seharusnya AHY minta maaf karena sudah menduga Presiden Jokowi mengetahui semua. Walaupun dia pakai asas praduga tak bersalah, dia harus minta maaf,” ujarnya.(ANFPP220221)