Presiden telah memilih Direktur Utama BPJS Kesehatan serta 7 direksi lainnya dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan serta 6 direksi lainnya. Dua surat Keputusan Presiden (Keppres) untuk pengangkatan Direksi BPJS Kesehatan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan telah ditandatangani oleh Presiden tanggal 19 Februari kemarin. Tentunya dua Keppres tersebut juga berisi pengangkatan Dewas Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan keluarnya dua Keppres tersebut, Direksi dan Dewas kedua BPJS akan bekerja selama lima tahun (2021 – 2026).
Tentunya Presiden memilih para Direksi dan Dewas dari unsur Pemerintah kedua BPJS tersebut dengan segala pertimbangannya, dan ini hak prerogatif Presiden. Direksi dan Dewas terpilih tinggal menunggu untuk dilantik oleh Presiden. Pekerjaan pertama yang akan dikerjakan oleh kedua Dirut adalah menyusun “kabinet” para direksinya yaitu menentukan para direksi pada jabatan masing-masing. Kedua Keppres hanya menyebutkan nama Dirut dan direksi saja tanpa menentukan jabatan direksi-direksi, misalnya direktur kepesertaan, pelayanan, dsb. Semoga penentuan jabatan direksi didasari kemampuan dan latar belakang pengalaman sang direksi di bidangnya, dan semua direksi solid hingga akhir masa jabatannya.
Demikian juga nantinya bagi Dewas akan dibagi berdasarkan bidang kerjanya sehingga proses pengawasan dapat dilakukan dengan lebih fokus. Direksi dan Dewas diharapkan bisa lebih professional dalam mengemban tugasnya yang sudah digariskan dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Jangan ada lagi dewas yang maunya “mendikte” direksi, jangan ada lagi dewas yang takut dengan direksi, jangan ada lagi dewas yang tersangkut skandal dengan bawahannya, jangan ada lagi dewas yang dilaporkan ke DJSN, dsb.
Semua persoalan yang terjadi selama ini di BPJS Ketenagakerjaan (Kepesertaan, Pelayanan dan Investasi) dan di BPJS Kesehatan (Kepesertaan, Pelayanan dan Faskes, dan Pembiayaan) seharusnya sudah dengan mudah diidentifikasi oleh para Direksi dan Dewas, mengingat direksi dan dewas yang terpilih adalah orang-orang yang juga sudah terlibat dalam ekosisitem JKN dan ekosistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga diharapkan segala persoalan tersebut dapat diselesaikan secara bertahap dalam koridor waktu yang pasti. Kunci menyelesaikan seluruh persoalan adalah membangun komunikasi dengan seluruh stakeholder, dan masukan-masukan yang diberikan kepada Direksi dan Dewas senantiasa dikaji dan dipertimbangkan dengan baik.
Tentunya segala persoalan yang ada tidak bisa diselesaikan oleh Direksi semata karena faktor regulasi yang memang ranah Pemerintah. Untuk BPJS Kesehatan, ditetapkannya Pak Ali Gufron (mantan Wamenkes) sebagai Dirut dan Pak Achmad Yurianto (mantan Dirjen di Kemenkers) sebagai ketua Dewas, yang merupakan “orang” Kemenkes, diharapkan bisa lebih memudahkan komunikasi antara BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan sehingga regulasi yang menjadi persoalan selama ini bisa direvisi dan memberikan perbaikan pelayanan.
Demikian juga Direksi BPJS Ketenagakerjaan diharapkan dapat membangun komunikasi yang intens dan berkualitas dengan Kementerian Ketenagakerjaan, sehingga regulasi yang menjadi persoalan selama ini seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no. 19 Tahun 2015 segera direvisi dan disesuaikan dengan ketentuan UU SJSN, demikian juga Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang diamanatkan PP No. 82 Tahun 2019 segera diselesaikan sehingga beasiswa anak-anak dari pekerja yang meninggal dunia dapat segera diberikan.
Adapun tantangan ke depan bagi kedua BPJS juga cukup besar. Kehadiran Perpres no. 64 Tahun 2020 yang mengamanatkan banyak hal baru dalam JKN seperti kenaikan denda, klas perawatan standar, kenaikan iuran klas 3 mandiri, dsb merupakan tantangan bagi Direksi baru, dan diharapkan bisa direspon dengan baik oleh Direksi sehingga tidak menjadi masalah baru bagi rakyat.
Demikian juga BPJS Ketenagakerjaan, dengan hadirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan regulasi turunan berupa Paraturan Pemerintah (PP) yang menciptakan satu program baru jaminan sosial yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang disertai dengan rekomposisi iuran sehingga Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) mengalami penurunan karena dibagi ke JKP, merupakan tantangan baru bagi direksi untuk tetap mampu melayani peserta JKK dan JKm dengan kenaikan manfaat berdasarkan PP No. 82 Tahun 2019.
Kehadiran PP Pengupahan yang baru, yang memangkas nilai upah minimum (UM) bagi pekerja mikro dan kecil, serta berpotensinya UM Propinsi dan kabupaten/kota yang ada saat ini ditinjau ulang (baca : diturunkan) berdasarkan rumus-rumus penyesuaian UM yang ada di PP Pengupahan, akan berdampak pada penurunan pendapatan iuran yang diterima BPJS Ketenagakerjaan sehingga mengancam rasio klaim mengalami peningkatan yang signifikan.
Segala persoalan dan tantangan tersebut tentunya harus diselesaikan dengan tetap berfokus pada peningkatan kesejahteraan peserta yaitu rakyat Indonesia, sehingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rakyat Indonesia yang pada tahun 2020 sebesar 71,94 bisa ditingkatkan dengan signifikan.
Semoga Direksi dan Dewas baru kedua BPJS mampu memberikan legacy (warisan) selama bekerja lima tahun ke depan untuk peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Tabik
Timboel Siregar