Pertama kali mengetahui namanya, dari sampul buku tebal, “Meraih Cinta Ilahi, Pencerahan Sufistik” milik teman sebangku saat mengikuti Basic Training HMI tahun 2001. Sesuai judulnya, saya benar-benar mendapatkan pencerahan, dan semakin mencintai Islam. Dari kumpulan esainya itu, saya jadi mengenal Islam bukan sekedar deretan kewajiban-kewajiban fikih, bukan lagi sekedar bacaan-bacaan Arab yang sebelumnya saya baca saat salat, doa dan mengaji yang kosong dari makna dan cinta karena tidak saya pahami.

Dari Islam yang diperkenalkannya, saya jadi lebih tahu keinginan Nabi dalam dakwahnya. Bukan hanya agar manusia menyembah Allah, namun juga agar sesama manusia saling memanusiakan. Kalimat dari bukunya yang saya suka, ketika ia menyebut bahwa dalam Alquran, Allah lebih banyak membicarakan mengenai ibadah sosial dibanding ibadah ritual, bahkan ibadah ritual yang diperintahkan Allah harus memiliki implikasi manfaat pada kehidupan sosial. Saya jadi mengenal, dalam Islam ada ritual yang pahalanya besar di luar haji, salat, puasa dan zakat, yaitu berkhidmat pada mustadhafin.

Benar-benar mencerahkan. Sejak itu, saya berburu buku apa saja yang ditulisnya. Saya baca buku Islam Aktual dari buku kumal teman, saat itu sampai harus saya kopi, karena sulit menemukan cetakan barunya. Bahkan buku tebal “Psikologi Komunikasi” yang bisa dibilang buku ilmiah-akademis pertama yang saya bisa saya tamatkan, bahkan saya baca berulang kali.

Para pakar komunikasi juga mengakui, bahwa itu buku komunikasi terbaik yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Mungkin karena penulisnya, betul-betul menguasai bidang itu, dan memang terlihat jelas, ia adalah sosok yang ingin selalu mempersembahkan yang perfect dan tidak asal jadi. Itu terbukti dari apa saja yang ditulisnya. Materi-materi berat tersampaikan dengan renyah dan mudah dipahami.

Retorika Modern, Rekayasa Sosial, Renungan-Renungan Sufistik, Islam dan Pluralisme, Tafsir Sufi Alfatihah, Dahulukan Akhlak daripada Fikih dan Islam Alternatif adalah diantara karya lamanya yang saya baca saat masih di kampus UNM. Selalu buku-buku itu dicetak berkali-kali, karena memang diminati pembaca. Menariknya, dari bukunya, saya jadi mengenal kaum intelektual Indonesia lainnya seperti Nurcholis Madjid, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib bahkan sampai deretan pemikir luar negeri.

Kegemarannya mengutip pendapat filosof dan menjelaskan ulang dengan tekhnik yang memudahkan pembaca dalam memahaminya membuat teori-teori filsafat jadi serasa begitu dekat dengan kehidupan sehari-sehari. Darinya juga saya akhirnya mengenal transkrip pemikiran Ali Syariati, Murtadha Muthahari sampai Imam Khomeini dan berpetualang di alam pemikiran intelektual mereka, yang membuatku bercita-cita bisa ke Iran.

Sampai meski pada perjalanan selanjutnya saya aktif di sebuah lembaga dakwah yang berafiliasi kepemikiran Wahabisme, saya tetap tidak bisa menghilangkan pengaruh keislaman coraknya yang ia tanamkan melalui tulisan-tulisannya. Saya masih lebih tertarik pada warna Islam yang diperkenalkannya. Jauh lebih menyentuh inti persoalan umat. Oleh senior-senior di lembaga dakwah tersebut, saya dilarang membaca buku-bukunya, yang mereka sebut sesat dan menyimpang.

Sampai suatu hari, saya mendapat informasi dari teman, bahwa beliau akan ke Makassar dan menyampaikan ceramah di sebuah yayasan. Saya langsung berbinar-binar. Ada perasaan suka cita yang mengharu, untuk bisa menatap langsung dari dekat, tokoh yang kukagumi pemikirannya itu. Kutunggu hari itu dan kupastikan untuk harus hadir. Sampai hari itu tiba. Saya termasuk yang duduk bersila di tengah lebih dari seribuan orang yang khusyuk mendengarkan pengajiannya.

Kulawan rasa risih dan kuabaikan tatapan mata yang membuatku merasa terkucil -saat itu hanya saya yang tampak berbeda dari yang lainnya dengan kain celana yang tergantung di atas mata kaki- demi mendengarkan langsung tuturan lisannya. Saya sadar dan tahu diri, tatapan ganjil dan aneh dari mereka yang hadir ketika melihatku hal yang wajar. Soalnya, orang-orang yang penampilannya serupa denganku saat itu getol memusuhi dan memfitnah mereka.

Itu momen pertama saya melihatnya langsung. Ternyata sama dengan bukunya. Mendengarkan langsung ia berceramah, mengandung efek candu. Beberapa bulan berikutnya, ia diijadwalkan datang lagi. Namun kali ini, ia datang untuk komunitas terbatas. Menjadi pembicara dalam sebuah perekrutan kader organisasi yang dipimpinnya. Saya tidak peduli, kalau itu harus jadi syarat untuk bisa mendengarkan ceramahnya, saya lakoni.

Saya mengikuti pengkaderan tersebut yang berlangsung beberapa hari, Sayangnya, di acara puncak, yang seharusnya ia yang memberikan ceramah, karena berhalangan, beliau digantikan oleh putranya. Namun yang seharusnya saya kecewa, tidak saya rasakan sama sekali. Pembicara pengganti, sama berkelasnya. Kekagumanku bertambah. Meski akhirnya saya dikeluarkan dari lembaga dakwahku sebelumnya. Tidak ada rasa penyesalan sama sekali. Saya yakin pilihanku tepat.

Beberapa tahun setelahnya. Saya kembali bisa bertemu langsung, dan saat itu berhasil mengecup tangannya. Kejadiannya tahun 2009, ketika saya berlibur di tanah air, 2 tahun setelah berada di Iran. Saat itu ia menyampaikan ceramah di Masjid Nurul Ilmi Kampus UNM Gunung Sari. Sayang dari dua kali pertemuan langsung dengannya, saya tidak memiliki kenangan foto.

Sebagai cendekiawan muslim dan tokoh Islam, memudahkannya mengikuti event-event internasional. Termasuk ke Iran berkali-kali. Sayang selama di Iran saya tidak pernah berhasil bertemu dengan beliau. Karena memang jadwal beliau yang padat dan harus bertemu dengan tokoh-tokoh penting Iran bahkan bertemu dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Khamanei. Walhasil, dari apa yang saya ceritakan, ia punya peran dalam perjalanan hidupku, hingga saya mantap memutuskan menuntut ilmu di Iran.

Tidak bisa dipungkiri, Kang Jalal (panggilan akrabnya) telah mewarnai dunia intelektual Islam Indonesia. Menghapus nama dan perannya, sama halnya melakukan mutilasi sejarah intelektual Islam di Indonesia. Ratusan (atau mungkin mencapai ribuan) esainya banyak memberikan pengaruh. Pemikiran-pemikirannya mencerahkan. Dan buah tangannya (IJABI, Universitas Paramadina, SMU Plus Muthahari, Sekolah Cerdas Muthahari) telah mencetak insan-insan cendekia.

Sebagaimana kata pepatah, semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin menerpanya. Dan sama dengan yang dialaminya. Ia mendapat fitnah sampai pada permusuhan. Namun ia tetap tidak beranjak dari jalan yang dipilihnya. Jalan yang dingin, sepi, mencekam dan jauh dari hiruk pikuk dunia. Ketika sudah seharusnya ia beristirahat, menikmati masa tua, ia menerjunkan diri ke dunia politik, untuk tetap bisa berkhidmat dan memberi manfaat pada umat.

Selama lima tahun di parlemen, ia tidak mengecewakan konstituennya. Dia hampir sempurna dalam semua disiplin keilmuan yang digelutinya. Di bidang komunikasi, dia pakar. Di bidang sosial, dia aktivis. Di bidang keagamaan, dia ustad, dai bahkan ulama. Di bidang politik, dia legislator yang merakyat. Di bidang pendidikan, bukan hanya pendidik namun juga mendirikan sekolah dari dasar sampai universitas.

Berita kepergiannya, benar-benar membuat duka. Belum hilang kesedihan atas wafatnya bunda Euis Kartini -istri kinasihnya, kini ia menyusul hanya dalam empat hari. Meninggalkan semua karya dan warisan intelektualnya yang akan terus dikenang dan mewarnai dunia intelektual Islam Indonesia.

Selamat jalan ustad Jalal… terimakasih atas semuanya,saya bersaksi engkau telah menjalankan semua kewajiban keagamaan dan kemanusiaanmu dengan baik. Semoga Nabi Muhammad dan Ahlulbaitnya yang suci yang engkau cintai memberikan syafaatnya dan Allah swt menggabungkan ruhmu dengan barisan ruh orang-orang salih…

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun

Qom Iran 3 Rajab 1442 H/15 Februari 2021

Presiden IPI Iran 2019-2021
~ Ismail Amin ~

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here