“Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
Adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin Bersama daun
Aku dibesarkan
Hitam kulit keriting rambut, aku Papua.
Biar nanti langit terbelah aku Papua.”
Hari-hari ini terngiang kembali di telinga syair lagu karya Franky Sahilatua yang pernah dilantunkan bung Edo Kondologit, penyanyi asal Papua. Lagu indah itu menyiratkan sebuah kebanggaan orang-orang Papua atas dirinya sebagai surga kecil bagian dari anugerah dari Sang pencipta.
Kita tahu banyak orang suka Papua, keren dan eksotis. Lantas apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan surga kecil yang jatuh ke bumi itu?
Bukan semata-mata keindahan laut, sungai, hutan dan hasil alam dan tambangnya. Alam Papua adalah juga kodrat dan peradaban dan kemanusiaan bumi Papua dengan keragaman hayati, fauna serta keberadaan suku-suku masyarakat yang menjadi satu. Eksotisme alam Papua dan masyarakatnya memang menyerupai surga kecil di mana ada keaslian ciptaan yang belum tercemar. Siapapun yang menyangkal, secara langsung ia menyangkal Sang Pencipta sendiri.
Nah, saya merasa PROLOG singkat di atas ini perlu dipertegas lagi untuk mengkounter isu-isu rasis yang hingga saat ini masih saja bermunculan terhadap saudara kita dari tanah Papua khususnya.
Sebagai orang yang pernah tinggal di ujung Nusantara ini, saya merasa perlakuan diskriminatif terhadap orang Papua dari masa ke masa sangatlah tidak elok. Bertahun-tahun kekayaan alam Papua dikeruk, tapi kesejahteraan masyarakatnya baru akhir-akhir ini saja diperjuangkan.
Sejarah kelam Papua sejak masa orba juga memperlihatkan banyak isu kemanusiaan masyarakat Papua tidak diselesaikan bahkan cenderung diabaikan. Inilah pelanggaran HAM yang sejatinya ketika perlakuan tidak manusiawi masih kental di tanah Papua.
Untunglah kita punya Jokowi yang punya kecintaan khas terhadap masyarakat Papua. Walaupun demikian, upaya Jokowi untuk peningkatan kesetaraan taraf hidup di Papua dan keberadaban masyarakat Papua mendapat tantangan yang tidak ringan.
Banyak upaya mendiskreditkan pemerintah lewat pelemparan isu-isu tak bertanggung jawab seperti separatisme. Terakhir adalah tantangan masalah rasial yang amat sensitif di muka bumi cendrawasih ini.
Beberapa dekade berselang, anehnya kasus rasisme ini kembali dan kerap berulang. Kalau tidak ditangani dengan baik, bisa saja apa yang dikerjakan Jokowi terhadap Papua akan menjadi sia-sia.
Seperti yang menimpa Natalius Pigai, mantan komisioner HAM, baru-baru ini. Beberapa kali Pigai diserang secara rasis. Tampaknya ada yang salah dalam cara orang tertentu memahami Papua.
Harus diakui memang tidak sedikit orang yang tidak sejalan dengan Natalius Pigai karena keberanian dan kelugasan kritiknya terhadap pemerintah. Perbedaan pandangan dan politik seorang Pigai menempatkan dirinya seolah selalu berseberangan dengan pemerintah.
Tapi harus diingat juga konteks kritikan Pigai adalah politik. Jika harus melawan Pigai dengan bersikap rasis, siapapun tidak akan setuju. Ketika orang menyerang pribadi apalagi jika menyangkut SARA, berarti orang itu melawan kodrat orang Papua yang diturunkan dari Sang Pencipta sendiri.
Belum lama ini seorang bernama Ambrocius Nababan mengungkapkan kritik bernada rasisme terhadap Pigai. Bahkan seruannya tak pantas ditulis di sini. Sontak warganet dan khalayak ramai merespon. Orang-orang yang selama ini berseberangan secara politik dengan Pigai pun bereaksi keras mengutuk tindakan maupun ucapan rasisme di negeri ini.
Rasisme terhadap Pigai adalah rasisme terhadap kemanusiaan universal. Pastilah warga Papua dan lainnya tersinggung sehingga menuntut pertanggungjawaban Ambrocius sendiri.
Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu misalnya. Lambok Fernando Sihombing terlebih dahulu menyatakan mengutuk keras pernyataan yang diduga dari akun Ambroncius itu. Lambok mengatakan isi unggahan itu merupakan sikap pribadi Ambroncius. Bukan lembaga di mana ia bernaung apalagi warga Batak di manapun berada. Ini harus dipertanggungjawabkan secara pribadi.
Pada kesempatan lain, Paulus Laratmase selaku Wakil Ketua Serikat Buruh Papua yang sangat konsern dengan masalah rasialisme mengatakan, ”di mata Tuhan siapapun kita dengan latar belakang suku dan agama berbeda punya nilai dan martabat yang setara dan sama.”
Lebih lanjut Paulus mengungkapkan kita harus melawan arogansi yang tidak manusiawi terhadap sesama manusia.
“Kita harus saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Tidak ada tempat untuk rasisme di bumi pertiwi ini. Ambrocius harus mempertanggungjawabkan ungkapan rasisnya di pengadilan. Jika tidak suka kekritisan Natalis Pigai, bukan lalu menyerang dia dengan rasis. Berargumen lah secara ilmiah (red: obyektif) sehingga tidak terkesan menyerang aspek kemanusiaawiannya secara rasis,” kata Paulus.
Menko Polhukam Mahfud Md pun ikut bersuara lewat akun Twiternya menanggapi ungkapan rasis terhadap Natalius Pigai ini. “Kalau Anda tak suka dengan statement atau tudingan seseorang yang Anda anggap ngaco, tak usahlah menghinanya dengan cacian atau gambar hewan.”
Pastinya banyak orang tidak setuju dengan tindakan rasisme apapun bentuknya. Tapi, kenapa masalah rasis sering berulang? Atau begitu mudahnya orang tergelincir pada sentimen ini?
Kuncinya adalah kedewasaan emosi dalam hidup sosial politik sebagian dari kita masih sangat rendah. Persoalan rasisme sangat bersinggungan dengan persoalan subyektivitas. Hampir dipastikan rasisme adalah subyektivitas pribadi tertentu dalam menanggapi persoalan sosial ekonomi dan politik. Kurangnya kedewasaan sosial dan politik itu membuat subyektivitas lebih dominan dibanding obyektivitasnya menalar isu-isu politik.
Dalam hal ini subyektivitas politis orang itu kebablasan.
Artinya perasaan dan persepsi lebih dikedepankan dalam menanggapi sesuatu yang berbeda baik secara sosial maupun politis. Termasuk dalam menanggapi perbedaan pandangan politik seorang Natalius Pigai.
Jika perasaan dan persepsi (subyektif) dominan, bukan tak mungkin unsur-unsur faktual (obyektif) menjadi nomor dua. Akibatnya sentimen-sentimen pribadi mengemuka. Penilaian rasis akhirnya menjadi ungkapan sentimen pribadi itu. Tentunya ini tak dibenarkan.
Ambrocius Nababan harus mempertanggungjawabkan ucapannya sebelum sentimen itu menyulut sentimen-sentimen yang lain. Kalau tidak, ini akan menjadi kontraproduktif atas segala upaya pemerintah untuk memeratakan keadilan sosial bagi seluruh wilayah di Indonesia termasuk Papua.
Pemerintah juga harus tegas menindak segala bentuk rasisme seperti yang dilakukan oleh Ambrocius Nababan ini. Jangan pula sampai terjadi pengadilan rakyat terhadap Ambrocius karena pastinya itu akan merusak NKRI kita. Semoga kasus ini cepat diselesaikan, bukan ditelantarkan seperti yang sudah-sudah.
Penulis : Rudi Tamrin