Oleh Sumanto Al Qurtuby
Direktur Nusantara Institute, dosen King Fahd University, dan senior scholar Middle East Institute

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman buku berjudul “Mindfulness-Based Business: Berbisnis dengan Hati.” Pengirimnya adalah penulisnya itu sendiri, yaitu Bapak Sudhamek AWS yang biasa saya sapa Pak Dhamek. Buku ini diberi “foreword” oleh Megawati Soekarnoputri dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Jadi buku ini terasa spesial, rasa spesialnya melebihi makan martabak spesial telur tiga.

Bagiku, Pak Dhamek, yang mendapat sejumlah penghargaan nasional dan internasional ini, adalah sosok yang unik sekaligus multitalenta dan multiprofesi. Ia adalah seorang pengusaha, pejabat negara, aktivis LSM, pengurus ormas keagamaan, praktisi dialog antariman, altruis, atau edukator, sekedar menyebut sekelumit contoh.

Kini, Pak Dhamek tercatat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri, chairman Garudafood & DAW (Dharma Agung Wijaya) Group, Ketua Dewan Pengawas Majelis Buddhayana Indonesia, Sekretaris Dewan Pertimbangan DPN APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), pendiri Global Sevilla School, dan masih banyak lagi. Pak Dhamek juga anggota Dewan Penasehat Nusantara Institute. Kalau Anda ingin informasi lebih lanjut tentang Pak Dhamek, silakan tanyakan saja ke “Koh Google” yang ciamik.

Sudah cukup lama saya mengenal Pak Dhamek yang mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa (Dr. HC) dari UKSW, almamaternya, yang juga almamater saya. Beberapa kali kami mengadakan pertemuan informal sambil ngopi dan ngobrol ringan “ngalor-ngidul ngetan-ngulon”, baik di kantornya maupun di cafe.

Kesan saya, Pak Dhamek ini bukan hanya seorang pebisnis Tionghoa yang lurus atau pengikut Buddha yang taat tetapi juga spiritualis sejati. Ia gemar menyelami relung-relung dunia spiritualitas yang bersifat “beyond religion”. Ia tegaskan manusia bukan hanya “mahluk ekonomi” tetapi juga (hendaknya) “mahluk spiritual”. Di buku yang ia kirim itu, saya lihat Pak Dhamek juga mengutip kata-kata E.F. Schumacher, seorang filsuf ekonomi terkemuka dan penulis buku legendaris “Small is Beautiful,” yang mengatakan bahwa “Semua krisis bermula dari krisis spiritual.”

Harap diingat spiritualitas tidak sama dengan agama. Agama tentu saja mengandung dan mengajarkan ajaran spiritual. Tetapi spiritualitas bukan monopoli agama. Hal itu karena watak spiritualitas itu “melampaui agama”. Jadi, seorang spiritualis tidak mesti seorang “agamis” atau “religius”. Ia bisa jadi seorang agnostik atau bahkan non-teis. Pula, sebaliknya, orang beragama tidak mesti atau belum tentu seorang spiritualis. Banyak orang beragama yang bahkan jauh atau sepi dari “ruh spiritualitas” karena banyak dari mereka yang hanya menjadikan agama sebagai instrumen politik, bisnis, atau “topeng kesalehan” saja.

Tentang apa itu spiritualitas, Pak Dhamek sudah menjelaskan panjang-lebar di buku itu dilengkapi dengan pendapat dari berbagai sarjana, ilmuwan, akademisi, dan agamawan.

Pak Dhamek yang juga vegetarian ini saya perhatikan juga pribadi atau sosok yang gemar mendengar dan bahkan mencatat. Sangat jarang ada seorang tokoh nasional, pejabat tinggi negara, pengusaha sukses, konglomerat kaya (konglomerat ya kaya, kalau miskin namanya kolongmelarat) dan tokoh agama yang bersedia mendengar dengan seksama apalagi mencatat apa yang diomongkan orang lain. Kebanyakan dari mereka maunya ngomong, memberi ceramah, dan mendikte. Orang lain yang harus mendengarkan dan mencatat. Kebanyakan dari mereka maunya “menjawab” bukan “bertanya”. Tapi Pak Dhamek tidak. Setiap kami bertemu dan ngobrol, ia selalu mendengarkan (dan mencatat) dengan seksama, telaten, dan detail.

Pula, Pak Dhamek juga seorang altruis dan humanis yang gemar membantu urusan kemanusiaan. Jadi, sekali lagi, sosok Pak Dhamek ini komplit welit: pebisnis, pejabat, spiritualis, aktivis, altruis dan lain sebagainya.

Buku ini merupakan buku pertama Pak Dhamek yang merupakan hasil refleksi dari puluhan tahun memimpin perusahaan Garudafood dan lainnya. Pula, kehadiran buku ini untuk menjawab pertanyaan sang ayah yang juga seorang Legiun Veteran Republik Indonesia puluhan tahun silam saat Pak Dhamek masih berumur belasan tahun. Pertanyaan sang ayah adalah: “Bisakah berbisnis tanpa meninggalkan moralitas (dan ajaran normatif agama)”?

Karena Pak Dhamek masih belia kala itu, pertanyaan itu dilontarkan untuk kakak-kakaknya. Meski begitu, Pak Dhamek selalu terngiang-ngiang dengan pertanyaan menantang itu. Berpuluh tahun kemudian ia temukan jawabannya: bukan hanya “bisa” tetapi sebuah keniscayaan. Bisnis harus dibangun diatas fondasi moralitas dan spiritualitas supaya kokoh dan berkelanjutan.

Momen besar kemudian terjadi di dunia bisnis saat terjadi krisis moneter (krismon) dan krisis ekonomi (krisnomi) pada 1998 dan 2008. Pada waktu itu, berbagai perusahaan raksasa dunia tumbang: Tyco International, Adelphia, Global Crossing, WorldCom, Arthur Andersen, dlsb. Menurut Pak Dhamek, perusahan-perusahaan itu “nyungsep” karena tidak dibangun diatas fondasi moralitas dan spiritualitas yang kokoh. Mereka hanya mengandalkan manipulasi laporan keuangan supaya tampak cantik tapi sebetulnya “dalemannya” keropos. Laksana buih–kelihatan besar tapi kalau disentus mimpes.

Pak Dhamek belajar dari pengalaman getir itu. Maka ia pun percaya sebuah bisnis agar sustainable dan “berkah” harus berbasis pada spiritualitas (spirituality), dan lebih khusus lagi pada “mindful” dan “mindfulness”. Jika “mindful” ia maknai sebagai “berkesadaran agung”, maka “mindfulness” adalah “kebersadaran agung”. Tanpa itu, berbisnis cenderung “minus humanity” atau rasa perikemanusiaan. Tanpa itu pula, berbisnis juga cenderung dilakukan dengan tanpa etika dan moralitas serta “menghalalkan segala cara” yang bertujuan untuk memupuk keuntungan material dan menimbun kekayaan saja.

Bagi Pak Dhamek, “bisnis adalah ibadah”, dan karena itu harus dilakukan dengan baik, benar, lurus, penuh etika, berbasis pada moralitas yang kuat dan spiritualitas yang kokoh, serta untuk pengabdian pada Tuhan dan pelayanan kemanusiaan. Singkatnya, supaya selamat dunia-akhirat, berbisnis harus “dengan hati”. Buku ini berusaha menjelaskan, antara lain, apa itu “berbisnis dengan hati” atau “berbisnis berbasis mindfulness,” mengapa harus demikian, apa rationale-nya, bagaimana agar bisa mencapai kesana.

Lebih lengkapnya, silakan membaca dan merenungkan sendiri buku ciamik ini. Setelah membaca dan merenungkan, jangan lupa mempraktikkan bukan hanya di dunia bisnis saja tetapi juga di “dunia lain” seperti dalam mengelola lembaga pendidikan, institusi sosial, organisasi kemasyarakatan, paguyuban, atau bahkan negara. Fondasi spiritualitas dan mindfulness ini sangat penting apalagi Indonesia kini sedang “paceklik spiritualitas” dan “minus mindfulness”, meskipun surplus pengikut agama.

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
(ANFPP240121)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here