sbsinews- Anggap saja hasil quick count (sementara) pemilihan kepala daerah Kabupaten Supriori , salah satu kabupaten di Provinsi Papua itu hasil sesungguhnya. Pemenangnya hanya mendapatkan 17% suara. Sementara 83% tidak memilih pasangan tersebut. Muncul dalam benak nakal ini, bagaimana cara pasangan ini berhasil memimpin nantinya dengan hasil perolehan suara yang begitu minim. Belum lagi jika masih ada kemarahan dan dendam (politis) dalam dirinya muncul setelah dilantik nanti.
Sudahlah, pasti calon pemimpin itu sudah dibekali kemampuan untuk mensiasati itu. Toh, itu pilihan rakyat dan sudah dianggap sah sesuai aturan pilkada. Mereka akan menjadi Bupati dan calon Bupati yang sah secara undang-undang. Persoalannya apakah siasat itu ditutupi dengan tipu muslihat atau benar-benar dipenuhi dengan keinginan untuk memajukan rakyatnya tanpa sedikitpun dendam terhadap 83% rakyat yang tidak memilihnya?
Lagi-lagi jangan meniru pilkada DKI 2017 lalu. Setelah rakyat DKI terpecah menjadi 42% dan 58%, lihat bagaimana pemimpinnya kewalahan menjadikannya 100%. Polarisasi semakin bergerak dan berjarak. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan yang cenderung menisbikan keberadaan yang 42% itu. Bukan tak mungkin sebagian dari yang 58% pun sudah jengah dan menyesal kenapa memilih dia. Aroma dendam politik sangat kental dalam kepemimpinan hasil jualan ayat dan mayat.
Ya, 17 % di pilkada kabupaten Supiori provinsi Papua itu, ditengarai sebagai angka kepercayaan masyarakat untuk memilih pemimpinnya. Ini bukan angka keramat apalagi angka togel. Itu angka amanah dan tanggung jawab moral berapapun besarannya.
Situasi juga tak berbeda sekalipun angkanya dibalik seperti yang lebih kurang terjadi di kabupaten Solo Jawa Tengah, hasil pilkada 9 Desember lalu, angka kepercayaan masyarakat pemilih mencapai hingga 83%. Tetap saja itu angka amanah dan tanggung jawab moral.
Kedua angka elektabiltas yang nilai moral itu mengandung makna tanggung jawab yang sama. Juga harus disikapi dengan hati-hati. 17 % menunjukkan angka pengharapan masyarakat yang kecil terhadap dirinya. Sebaliknya 83% menunjukkan angka ekspektasi yang besar terhadap dirinya. Ketidakmampuan bersikap bijak terhadap angka ini akan mengakibatkan hal yang sama yaitu kegagalan memimpin.
Secara leksikal elektabilitas sering dipahami sebagai kemampuan seseorang dapat terpilih dalam sebuah konstelasi politik bernama pemilihan umum. Dalam dunia politik, elektabilitas biasanya dikenakan pada tokoh entah dengan partai politik sebagai motornya atau independen. Tokoh itu memiliki popularitas tertentu misalnya karena mampu memperjuangkan hak-hak rakyat di parlemen atau karena factor pengaruh elektabilitas orangtua seperti di Solo, karena sang calon adalah anak seorang presiden RI. Ketika nama tokoh itu disebut, begitu digemari dan disenangi karna factor “X” yang dimiliki.
Dunia politik mereduksi makna elektabilitas pada ketertarikan publik pada figur yang kelak menjadi pemimpin. Pilkada menjadi salah satu wadah para konstituen untuk memilih tokoh idolanya di bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hasil perolehan suara, akan menunjukkan sejauh mana tingkat elektabilitas seseorang. Entahkah menembus angka fantastis di atas angka 50 % ataukah anjlok di bawahnya.
Harapan pemilih pada tokoh yang diidolakan akan diwujudkan dalam pelayanan publik yang akan dibiayai 60 % APBD setelah digunakan 40 % untuk membayar gaji Aparat Sipil Negara (ASN). Tentunya pelayanan publik ini menyentuh langsung harapan dan impian pemilih yang 50 % itu. Artinya Harapan begitu tinggi pada awal dengan ekspektasi tinggi 50 % harus diwujudkan dalam kebijakan publik yang benar-benar menyentuh harapan dan impian pilihan konstituen.
Persoalannya, bagaimana jika ekspektasi itu terlalu berlebihan di mana kenyataannya setelah menjadi pemimpin biasa-biasa saja bahkan lebih mundur dari pemimpin terdahulu? INI YANG DINAMAKAN SALAH PILIH!
Di sisi lain bagaimana jika ternyata pemimpin yang terpilih memiliki elektabilitas rendah dan setelah dilantik justru mampu mewujudkan semua impian pemilih yang di bawah 50 % itu melalui pelayanan publik dengan APBD yang benar-benar berpihak pada seluruh keinginan dan harapan konstituen baik yang memilihnya maupun yang tidak memilihnya? Ini baru benar. Sebaliknya, bagaimana ketika dilantik ternyata pelayanan publik di bawah rata-rata prosentase pilihan rakyat di TPS karena lebih banyak menggunakan anggaran APBD untuk membayar hutang (pinjaman) waktu kampanye dll? INI YANG DISEBUT MASALAH!!!
Logikanya begini. Ekspektasi besar muncul dari konstituen terhadap pemimpin yang kini terpilih menjadi Bupati/ Walikota/ Gubernur dengan elektabilitas (+50%). Jika pemimpin itu mampu mewujudkan harapan konstituen, maka pilihan rakyat tidak salah. Jika tidak, maka negative trust yang akan diwujudkan dalam demo dan berbagai ekpresi public terhadap kebijakan tidak pro rakyat, bahkan periode berikut tidak akan dipilih lagi.
Jika elektabilitas (-50%) tapi mampu mewujudkan impian pemilihnya termasuk yang tidak memilihnya melalui program pro rakyat yang menyentuh langsung hajat hidup mereka, maka elektabilitasnya akan naik, trust bisa dibangun untuk periode berikut. Jika tidak mampu mewujudkan impian pemilih dan bukan pemilihnya, maka hasil akhir untuk periode mendatang akan minus alias tidak akan terpilih lagi, kecuali “main curang” melalui money politics.
Angka moral ini tidak bisa dihitung secara matematis lagi karena menyangkut hati konstituen, ketulusan pemimpin dan integritas pribadi pemimpin dalam mensejahterakan semua rakyatnya bukan rakyat yang sesuai dengan angka elektabiltasnya saja. Dalam angka itu terdapat trust 100% sebesar apapun angka elektabilitasnya. Ini yang saya sebut sebagai trust dalam angka pilkada.
Paulus Laratmase