JAKARTA – Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebut pemerintah dan DPR tidak bisa menghapus pasal di undang-undang yang telah disahkan, meski saat pembahasan disepakati untuk dihilangkan.
Hal tersebut disampaikan Feri menyikapi adanya penghapusan Pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi dari Undang-Undang Cipta Kerja.
“Tidak bisa seperti itu (dihapus), kan tidak ada buktinya bahwa semua sepakat di Panja. Artinya ini pas sidang paripurna persetujuan bersama, mereka menyetujui blank kosong tanpa ada draf yang jelas di tangan mereka,” kata Feri saat dihubungi Tribun, Jakarta, Minggu (25/10/2020).
Undang-undang tersebut, jelas mengatur bahwa perubahan UU setelah pengesahan pada rapat paripurna hanya boleh dilakukan sebatas memperbaiki kesalahan pengetikan.
“Jadi kian banyak masalah prosesnya. Tapi publik tidak boleh lupa bahwa masalah undang-undang ini bukan hanya diprosesnya saja, tapi juga pada substansinya bermasalah,” kata Feri.
“Kedua permasalahan baik prosedur dan substansi berkaitan satu sama lain. Prosedur yang salah dapat membatalkan undang-undang, begitu pula substansi bermasalah. Apalagi kedua-duanya bermasalah,” sambung Feri.
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2021 tentang Minyak dan Gas Bumi, memang seharusnya tidak ada di dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR bersama pemerintah.
Namun, pasal tersebut belum dihapus saat DPR menyerahkan draf final UU Cipta Kerja ke pemerintah pada 14 Oktober 2020.
“Jadi kebetulan Setneg (Kementerian Sekretariat Negara) yang temukan. Jad itu (Pasal 46) seharusnya memang dihapus,” ujar Supratman saat dihubungi, Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Menurutnya, Pasal 46 berisi terkait tugas BPH Migas, di mana awalnya pemerintah mengusulkan kewenangan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa atau toll fee dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM.
Setelah dibahas pada rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, kata Supratman, usulan pemerintah tersebut tidak dapat diterima pada waktu itu.
“Tapi naskah yang kami kirim ke Setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4 (dalam Pasal 46),” paparnya.
“Karena tidak ada perubahan (kewenangan toll fee), Setneg mengklarifikasi ke Baleg, dan saya berkonsultasi ke kawan-kawan, seharusnya tidak ada (Pasal 46) karena kembali ke undang-undang eksisting,” ujar Supratman. (Tribunnews.com)