JAJARTA SBSINews – Pada Rabu (24/02) (K)SBSI menyatakan menolak draft RUU Omnibus Law dalam acara Konferensi Pers di Kantor DPP Tanah Tinggi Senen Jakarta Pusat oleh Ketua Umum Prof. Muchtar Pakpaha.
Dalam Konferensi Pers tersebut dinyatakan bahwa KSBSI menolak draft yang disampaikan oleh pemerintah karena banyak temuan persoalan setelah hal hal ini ditelaah secara mendalam oleh Tim DPP. ” Banyak persoalan dengan rencana pemerintah untuk membuat undang – undang ini, baik isinya, prosodur maupun tata cara pembuatan undang – undang bermasalah, ” jelas Muchtar.
Draf RUU itu sendiri baru diperoleh (K)SBSI bersama serikat lain pada Kamis 13 Februari 2020, dengan nama RUU Cipta Kerja yang populer disebut
RUU Omnibus Law Pada acara yang diselenggarakan Kemenkoperekonomian dan juga Kementerian
Ketenagakerjaan, setelah Rancangan RUU tersebut diserahkan kepada DPR RI.
Rancang RUU itu tebalnya mencapai 685 halaman, untuk Ketenagakerjaan dimulai dari halaman 554 sampai dengan halaman 582.
Keterlibatan (K)SBSI dalam membahas draft RUU ini dimulai dengan undangan Surat Nomor:4/1052/HI.03.00/XII/2019, tertanggal 10 Desember 2019, Ditjen PHI Jamsos mengundang SP/SB pada Senin 16 Desember 2019, dengan agenda: “dalam rangka mendiskusikan perubahan
ekosistem ketenagakerjaan untuk peningkatan Cipta Lapangan Kerja”.
“Dalam acara itu Saya
memberi gagasan Visi Ketenagakerjaan Gotong Royong yang diinspirasi oleh Sistem Hubungan
Industrial Jepang, dengan menyinggung pidato pengukuhan Saya sebagai Guru Besar yang
berjudul: Revolusi Mental Perburuhan,” jelas Muchtar Pakpahan.
Dalam keterlibatan di pembahasan RUU tersebut (K)SBSI berkesimpulan: Pertama; tidak ada kesepakatan dari SP/SB dengan pemerintah sebagai hasil pembahasan tentang
RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Kedua; (K)SBSI tidak bertanggung jawab jika ada kesepakatan dan selanjutnya menyatakan menolak RUU Cipta Kerja.
RUU Omnibus Law ini cocoknya diberi nama “RUU Kemudahan Berinvestasi”, bukan Omnibus Law
CiptaKerja. “Kami sudah membaca dan mendalami RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan Pemerintah kepada DPR RI, semua materi yang diatur dalam RUU ini adalah tentang
Kemudahanberinvestasi,” lanjut Muchtar.
“Sistematika RUU ini tidak memenuhi sistematika Perundang – Undangan sehingga membuat Kami
sulit untuk mengerti dan memahaminya,” Lanjut Muchtar.
Beberapa temuan yang membuat RUU Cipta Kerja ini membingungkan. Misalnya Pasal 170 ayat (1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja
sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) undang -undang ini Pemerintah Pusat berwenang
mengubah ketentuan dalam undang – undang ini dan atau mengubah ketentuan dalam
undang – undang yang tidak diubah dalam undang – undang ini.
Ayat (2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Ayat (3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Pasal 170 ini sangat membingungkan. Bagaimana mungkin Presiden dapat mencabut undang – undang dan cara mencabutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah, yang pembuatannya
dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR RI. Dengan demikian pasal ini menempatkan kekuasaan presiden berada di atas undang – undang.
RUU ini juga dapat dikatakan “nafsu besar tenaga kurang” , dimana keinginan Presiden Joko Widodo dalam membuat satu UU yang dapat
menjangkau semua hal tentang investasi adalah sangat kuat, tetapi sumber daya yang
menyiapkannya tidak siap sesuai harapan.
Dalam perjuangannya memerdekakan Indonesia, Soekarno berulang kali menyatakan ingin
membebaskan Indonesia dari Kapitalisme, Imperialisme, Liberalisme dan Kolonialisme yang membuahkan d’exploitation d’lhomeparlhome, salah satu buahnya adalah aannemer
(outsourcing) dan kuli kontrak (PKWT).
Kenyataan saat ini
Neolib mau menguasai Negara Kesatuan Republik Indonesia secara penuh. Kalau draft RUU Cipta Kerja (OmnibusLaw) yang sekarang berhasil menjadi Undang-Undang, dapat diperkirakan tidak terlalu lama lagi Indonesia akan mengalami kemunduran
bahkan kehancuran, maka sebaiknya draft RUU Cipta Kerja ini ditarik dan didiskusikan terlebih dahulu secara terbuka
dengan stakeholder dari 9 klaster. Ke-9 klaster itu adalah:1) Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. 2) Ketenagakerjaan. 3) Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK-M serta perkoperasian. 4) Kemudahan berusaha. 5) Dukungan riset dan inovasi. 6) Pengadaan lahan. 7) Kawasan Ekonomi. 8) Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional. 9) Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja
“Kami menyampaikan sikap (K)SBSI terhadap RUU Cipta Kerja (RUU Omnibus Law) klaster ketenagakerjaan sebagai berikut: Pertama; (K)SBSI menyatakan menolak materi RUU Cipta Kerja (RUU Omnibus Law) Secara
keseluruhan.
Kedua; (K)SBSI menyatakan menolak materi RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Ketiga; (K)SBSI memajukan sandingan untuk mengisi RUU CiptaKerja (RUU Omnibus Law) klaster Ketenagakerjaan dengan konsep Hubungan Industrial Gotong Royong dengan belajar dari pengalaman hubungan Industrial Jepang,” tegas Muchtar Pakpahan sekaligus menutup konferensi pers tersebut (SM)