Catatan Malam Terakhir 2019

SBSINews – Rencana Pemerintah untuk membuat UU Cipta Lapangan Kerja (UU CILAKA) dalam mekanisme Omnibus Law dengan harapan membuka lapangan kerja lebih luas lagi untuk menurunkan tingkat pengangguran adalah hal yang baik. Membuka lapangan kerja adalah amanat UUD 1945 agar pemerintah memberikan pekerjaan dan penhidupan yang layak buat seluruh warga negara Indonesia.

Data BPS per – Februari 2019 menyebutkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) saat ini 5,01% atau sekitar 6,28 juta orang, dengan jumlah orang yang bekerja 129 juta yang terdiri dari pekerja formal 42,4% dan pekerja informal 57,6%. Tentunya selain menurunkan TPT dan mengalihkan informal ke formal.

Ada beberapa pasal di UU Nomor: 13 Tahun 2003 yang akan diatur kembali di UU Cilaka seperti PHK, Pesangon, Outsourcing, Upah PKWT (kontrak kerja) dan Tenaga Kerja Asing (TKA). Untuk persoalan2 ini seharusnya pemerintah membicarakannya dengan seluruh stakeholder hubungan industrial seperti SP/SB. Tentunya persoalan pembuatan UU Cilaka ini harus terbuka dan terinfomasi kepada publik. Tidak hanya menjadi konsumsi segelintir elit SP/SB yg biasanya tergabung dalam Tim Kecil.

Saya berharap agar UU cilaka ini benar – benar memperhatikan fakta bahwa TPT kita masih tinggi dan UU Cilaka harus bisa menjawab bonus demografi kita yaitu tenaga kerja produktif kita harus bisa benar – benar bekerja, tidak menjadi penonton di negerinya sendiri.

Keinginan pemerintah untuk membuka ruang TKA seluas luasnya bekerja di Indonesia merupakan ancaman bagi penurunan TPT dan keberhasilan bonus demografi kita. Sebenarnya dengan lahirnya Permenaker Nomor: 11 Tahun 2019 tentang TKA yang ditandatangani pada saat Pak Hanif lalu ketentuan TKA sudah diliberalisasi sehingga pasal 42 – 49 UU Nomor 13/2003 yang mengatur tentang TKA tidak berarti lagi. Permenaker tersebut sudah meniadakan Pasal 42 – 49 sehingga TKA sangat leluasa masuk ke republik kita ini.

Saya bukan xenophobia atau anti asing tetapi hakekat UU Cilaka adalah untuk membuka lapangan kerja bagi pekerja Indonesia, bukan membuka lapangan kerja bagi TKA. Walaupun TKA saat ini masih sekitar 90.000 an namun dengan semangat untuk terus meliberalisasi TKA maka TKA akan berpotensi melimpah di negara ini dan angkatan kerja kita akan menjadi penonton saja.

Pemerintah harus menempatkan pekerja kita sebagai subyek UU Cilaka bukan sebagai obyek yang akan dikorbankan. Pemerintah harus memastikan lapangan kerja yang akan dibuka untuk sebesar besarnya bagi pekerja kita.

Selain itu dalam UU Cilaka Pemerintah juga akan mengkaji dan mengatur metode perhitungan upah minimum yang baru yaitu perhitungan upah berdasarkan konsumsi masyarakat rata – rata. Saat ini perhitungan upah minimum berdasarkan 60 KHL yang kenaikannya berdasarkan penjumlahan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional. Metode saat ini seertinya sudah tidak disukai lagi oleh pengusaha sehingga didorong untuk diubah. Pemerintah meyakini metode baru ini akan menjadi solusi tentang pengupahan.

Menurut saya memang pemerintah harus mampu mencari solusi atas masalah pengupahan yg selama ini selalu menjadi masalah antara pekerja dan pengusaha.Saya nilai metodologi penentuan upah minimum dgn mengacu pada sisi supply yaitu harga – harga yang ditawarkan di pasar sebagai penentu harga 60 item KHL sudah baik. Artinya perhitungan tersebut obyektif berdasarkan fakta di pasar. Nah tinggal saat ini sistem pengupahan dengan instrumen upah minimum harus melibatkan APBN/APBD dan jaminan sosial.APBN/APBD mensubsidi pekerja sehingga biaya yang dikeluarkan pekerja bisa disaving. Demikian juga dana pekerja yang dikelola BP Jamsostek harus mampu mendukung daya beli pekerja karena prinsip ke 9 SJSN mengamanatkan dana hasil investasi dari dana pekerja di BP Jamsostek dikembalikan untuk kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Kalau saat ini ada rencana pemerintah mau menentukan upah minimum berdasarkan rata rata konsumsi masyarakat di suatu propinsi maka penentuan upah ini berdasarkan sisi demand.

Kalau acuannya pada sisi demand maka akan ada gap antara rata – rata harga dari sisi demand dan harga dari sisi suply (yang ditawarkan di pasar), yaitu harga berdasarkan demand akan lebih rendah dari perhitungan dengan pendekatan supply.Ini artinya nilai upah minimum berdasarkan rata – rata konsumsi masyarakat akan lebih rendah dibandingkan upah mininum berdasarkan 60 KHL yang ditawarkan di pasar. Kalau ini dilaksanakan maka kaum pekerja akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup layaknya yang sudag diamanatkan UUD 45.

Lalu kalau perhitungan berdasarkan konsumsi masyarakat secara umum maka konsumsi masyarakat yang menganggur juga akan menjadi acuan perhitungan upah minimum sehingga nilainya akan semakin rendah. Padahal konsumsi masyarakat secara umum berbeda dgn konsumsi pekerja dan keluarganya. Pastinya konsumsi pekerja dan keluarganya akan lebih tinggi dari konsumsi masyarakat secara umum.

Di tahun 2018 saja rata rata Konsumsi masyarakat untuk makanan sebesar Rp. 556.899 sementara konsumsi non makanan Rp. 1.124.717, jadi totalnya Rp. 1.681.616.

Kalau upah minimum berdasarkan rata rata konsumsi masyarakat maka daya beli buruh dipastikan menurun drastis sehingga akan mempengaruhi Konsumsi Agregat (C) yang menyumbang 53% untuk pertumbuhan ekonomi kita.

Seperti kita ketahui PDB (Produk Domestic Bruto) = C (konsumsi agregat) + I (Investasi) + G (Goverment Expenditure) + E (eksport) – X (import).

Semangat Pemerintah menaikkan Investasi (I) dengan mengorbankan daya beli pekerja yang mempengaruhi C maka kontribusi C terhadap PDB akan menurun dan ini artinya Pertumbuhan Ekonomi akan menurun juga.

Pemerintan harus hati – hati merancang kebijakan ketika memfokuskan Kenaikan (I) tapi mengorbankan (C) maka akan menjadi masalah lagi bagi rakyat Indonesia.

Jadi saya kira tidak tepat kalau perhitungan upah minimum berdasarkan konsumsi rata – rata masyarakat atau pendekatan demand.
Yang pas adalah seperti saat ini yaitu dengan pendekatan supplai yaitu harga yang terjadi di pasaran.

Tentang upah per jam yang akan juga diusulkan masuk dalam UU CIlaka menurut saya upah per jam bisa diterapkan untuk jenis pekerjaan yg sifatnya sementara dalam waktu tidak lama dan pihak penerima upah dan pemberi upah dalam posisi bargaining yg equal (sama posisinya) bukan subordinat seperti terikat hubungan kerja.
Upah per jam bisa diterapkan untuk konsultan, lawyer dan usaha jasa lainnya yg memang kedua belah pihak bersepakat dgn posisi bargaining yang sama.

Kalau dikatakan upah per jam untuk pekerjaan yg sifatnya tetap (misalnya di pabrik) maka ini akan merugikan pekerja dan pengusaha. Penerapan upah per jam ini akan berbenturan dgn kepastian adanya jam istirahat dan waktu lembur. Demikian juga dengan hitungan iuran 5 program jaminan sosial.

Upah per jam tidak bisa diterapkan utk jenis pekerjaan yang sifatnya berkesinambungan atau tetap.

Terkait dengan usulan menghadirkan unemployment benefit (UB) sebagai penganti pesangon, yaitu pekerja yang mengalami PHK akan mendapat UB selama maksimal 6 bulan.
Menurut saya UB bukan solusi.
Walaupun pekerja yang terPHK dikatakan akan mendapatkan pelatihan, apakah pekerja yang ter PHK akan dipastikan dalam 6 bulan akan dapat pekerjaan? Apakah UU cilaka bisa membuka lapangan kerja yang akan memastikan pekerja yang ter PHK akan langsung bisa bekerja dalam 6 bulan? Menurut saya tidak juga.

Bila belum bekerja dalam waktu 6 bulan lalu apa yang menjadi tumpuan pekerja untuk membiayai hidupnya?

Menurut saya solusi yang pas adalah pesangon diintegrasikan ke jaminan sosial yaitu jaminan pesangon yang dikelola BPJamsostek. Pengusaha membayar iurannya.

Dengan adanya pesangon yang akan dibayarkan oleh BPJamsostek maka pekerja yang ter PHK punya dua pilihan yaitu bisa mencari kerja lagi dengan menggunakan pesangonnya sebagai tumpuan biaya hidupnya, atau pekerja yang ter PHK bisa menggunakan pesangonnya untuk modal berwiraswasta. Dengan berwiraswasta maka pekerja tersebut akan ikut membuka lapangan kerja.

Kalau UB berarti pekerja diposisikan dan diarahkan hanya utk jadi pekerja saja, ditutup ruang untuk berwiraswasta.

Rencana penbuatan UU Cilaka masih membuat ketidakpastian bagi pekerja. Perjuangan SP/SB akan semakin berat di 2020. Semoga SPSB bisa bersatu merespon UU Cilaka ini.

Pinang Ranti, 31 Desember 2019

Tabik

Timboel Siregar
DPP KRPI – Sekjen OPSI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here