SBSINews – Window dressing itu istilah yang hidup di lingkungan Fund Manager dan pemain Hedge Fund.
Apa itu Window Dressing? Seni memoles neraca agar nampak berkinerja baik, sebelum dilaporkan kepada pemegang saham. Caranya macam macam. Bisa melalui rekayasa harga saham di bursa sampai bayar akuntan publik. Bisa juga merekayasa transaksi fiktif yang diakui oleh Akuntan Publik seperti yang dilakukan Garuda Indonesia untuk neraca tahun 2018.
Setelah saya baca laporan keuangan lima tahun ke belakang. Ini perusahaan hanya untung karena Window Dressing. Saya enggak bego untuk ketipu. Tapi orang lain antusias sekali beli produk Jiwasraya. Sebetulnya Window Dressing ini masuk kategori Fraud atau penipuan. Nah apa yang terjadi pada Jiwasraya, itu adalah masuk kategori Fraud. Karena berkali kali melakukan Window Dressing.Mau tahu?
Waktu krisis moneter 1998, Jiwasraya mengalami kerugian besar karena salah masuk ke investasi deposito rupiah dengan mencairkan rekening valasnya. Akibat kurs terjun bebas terjadi penyusutan asset sangat besar. Itulah awal bencana. Namun saat itu pemerintah tidak segera menyelesaikannya. Keadaan dibiarkan gantung dengan laporan keuangan yang nampak bagus. Tahun 2006, ekuitas Jiwasraya sudah negatif Rp 3,29 Triliun. Lagi lagi ini tidak diselesaikan oleh Pemerintah SBY. Malah kantor Akuntan Publik Soejatna, Mulyana dan Rekan memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Tahun 2007, sama. Akuntan Publik membuat laporan WTP. Tetapi dibantah oleh BPK. Pemerintah tetap saja membiarkan.
Nah tahun 2008 defisit semakin besar, yaitu Rp 5,7 Triliun. Tetapi lagi lagi Akuntan Publik yang audit memberikan status WTP. Pada tahun 2008 ini, dipilih Direktur Utama Hendrisman Rahim yang menggantikan Herris Simanjuntak. Hendrisman dibantu oleh Indra Catarya Situmeang sebagai Direktur Pertanggungan, De Yong Adrian sebagai Direktur Pemasaran,
dan Hary Prasetyo sebagai Direktur Keuangan.
Justru di tahun ini Jiwasraya menyiapkan Bomb Waktu yang maha dahsyat. Yaitu menciptakan produk Saving Plan. Tapi belum dilakukan. Masih dipersiapkan. Mereka perlu waktu membuat neraca Jiwasraya semakin bersinar agar cantik mengundang syahwat orang untuk membeli Saving Plan Product.
Tahun 2009, defisit semakin membesar yaitu Rp 6,9 t Triliun. Aset lebih kecil ketimbang kewajiban. Direksi terpaksa mengajukan tambahan modal kepada pemerintah. Tetapi ditolak oleh Pemerintah. Solusinya?
Direksi melakukan Reinsurance kepada perusahaan asuransi di Amerika.
Hasilnya posisi neraca jadi sehat. Kewajiban klaim asuransi Jiwasraya dari seharusnya Rp 10,7 Triliun menjadi Rp 4,7 Triliun. Karena itu tahun 2010, Jiwasraya mencatatkan laba Rp 800 Miliar. Dapat status WTP. Langkah Reinsurance dilanjutkan lagi di tahun 2010-2012. Dampaknya ekuitas surplus Rp 1,75 Triliun. Lagi lagi dapat status laporan keuangannya WTP. Untuk lebih keren lagi, program revaluasi asset dilakukan. Hasilnya makin kinclong aja. Aset dari Rp 208 Miliar menjadi Rp 6,3 Triliun.
Nah, ketika neraca semakin kinclong, saat itulah aksi srigala yang sudah dipersiapkan sejak tahun 2008 dilakukan.
Tahun 2013, Jiwasraya meluncurkan produk Bancassurance JS Saving Plan yang bekerja sama dengan tujuh bank. Asuransi sekaligus investasi yang menyasar kelas menengah atas ini memiliki premi dibayarkan sekaligus Rp 100 juta. Produk ini ditawarkan dengan imbal hasil pasti sebesar 9% hingga 13%, dengan periode pencairan setiap tahun. Sudah bisa ditebak. Uang nasabah pun masuk bak air bah. Karena program investasi yang menguntungkan.
Pada 2014 hingga 2016, Perseroan melaporkan ekuitas surplus berturut-turut Rp 2,4 triliun, Rp 3,4 triliun dan Rp 5,4 triliun. Pada 2014, pertumbuhan laba perseroan sebesar 44% menjadi Rp 661 miliar. Keren kan.
Apalagi laporan keuangan statusnya WTP. Tapi berbeda dengan hasil audit BPK. Menurut laporan BPK, manajemen Jiwasraya diduga membuat laporan aset investasi keuangan yang overstated (melebihi realita) dan kewajiban yang understated (di bawah nilai sebenarnya).
Tapi lagi lagi pemerintah , saat itu Jokowi sebagai Presiden, tidak curiga dan tidak meminta KPK melakukan pemeriksaan atas adanya temuan BPK. DPR pun bungkam seribu bahasa.
Tahun 2018, RUPS mengganti Direksi. Direksi yang lama dianggap sukses menjalankan Jiwasraya.
Bahkan Hary Prasetyo yang jadi Direktur Keuangan Jiwasraya sejak tahun 2008, dianggap sangat hebat.
Makanya dia ditunjuk sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden.
Direksi yang baru, Asmawi melaporkan ketidakberesan keuangan pada Mei 2018 kepada Kementerian BUMN. Asmawi mencurigai ada yang tidak beres dengan laporan keuangan Jiwasraya.
Menteri diam saja. Pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya mengumumkan tidak mampu membayar (Default) klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar.
Tahun 2019, bulan November, Direksi Jiwasraya melapor ke DPR.
Dengan wajah penuh khawatir, Direksi memohon agar wakil rakyat memberikan suntikan dana sebesar Rp 32,8 triliun. Mengapa ? Defisit mencapai dua kali dari asset! Hebatnya DPR mendesak pemerintah untuk menyelesaikan Jiwasraya, dengan fokus kepada penyelamatan uang investor.
Apa yang terjadi pada Jiwasraya tak ubahnya dengan kejatuhan American International Group (AIG), yang sebelumnya pesta pora karena modus Window Dressing dan merasa hero. Ketika Window Dressing mentok, karena kehabisan stok bohong, mereka datang ke rakyat agar memberikan suntikan modal, tentu dengan alasan demi rakyat. Rakyat mana????
Bagi saya apapun solusi tanpa membubarkan Jiwasraya, maka itu hanya melanjutkan modus Window Dressing.
Namun dengan efek ledakan lebih besar di masa yang akan datang. Saya paham bahwa masalah Jiwasraya ini sangat sophisticated. Tidak mudah dipahami kecuali oleh pemain Hedge Fund. Saya tidak mau Presiden yang saya pilih terjebak dalam skema Financial Engineering yang scam.
Saya tunggu bagimana solusi dari Jaksa Agung dan KPK. (WAG KNP/SM)