Evaluasi ke – 5
Oleh : Muchtar B. Pakpahan
SBSINews – Pasal 29 ayat (2) memuat ketentuan ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu“. Itulah tugas Negara dalam hal agama. Negara menjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk.
Pasal 29 ayat (2) mengamanatkan adanya jaminan kepada tiap warganegara bahkan tia-tiap penduduk bebas memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agamanya itu. Tentu dengan syarat, tidak diperkenankan dalam rangka menjalankan ibadah sesuai imannya melanggar hukum dan ketertiban umum.
Kemudian amanat dari Pasal 29 ayat (2), tidak boleh ditafsirkan lain, selain memberi kebebasan atau kemerdekaan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai agama tersebut.
Menurut Saya ada yang keliru selama ini, dimana negara menjadi mengurus agama melalui eksistensi kementerian agama.
Pasal 29 ayat (1) menyatakan Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan Pasal 29 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara, adalah berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Secara hukum Pasal 29 inilah dasar menyelenggarakan negara yang penuh keyakinan berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan dasar memberi jaminan kemerdekaan memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah menurut agamanya itu.
Menurut Saya selama ini ada dua hal yang tidak pas dengan amanah Pasal 29 UUD. Pertama, Negara mengurus agama dengan mengadakan kementerian (dahulu Departemen) Agama. Kedua, Negara tidak hadir memberi jaminan manakala ada pemeluk sebuah agama sengaja diganggu kebebasan beribadahnya sesuai dengan iman kepercayaannya.
Maksud dari tulisan ini ialah evaluasi ke – 5 terhadap pemerintahan Jokowi-JK 2014-2019 tentang apakah Jokowi berhasil menjalankan pasal-pasal yang merupakan hak asasi rakyat yang diatur Undang-Undang Dasar.
Catatan saya tentang ini adalah: pertama, satu tahun Jokowi presiden yaitu Oktober 2015 terjadi pembakaran dan perusakan 21 gereja, puluhan gereja di Aceh Singkil dan tidak ada tindakan lebih lanjut tentang kasus tersebut.
Kedua, menjelang pemilu 2019 ada gangguan beribadah terhadap beberapa gereja di Jambi juga tidak ada tindakan.
Ketiga, gangguan beribadah terhadap HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin yang sudah 7 tahun mereka berkebaktian di depan istana tetapi hingga saat ini tidak ada penyelesaian.
Tiga kasus itu adalah sebagai contoh dari banyaknya kasus yang sama.
Menjadi pertanyaan adalah: Mengapa terjadi pembiaran seperti itu?
Pengalaman Saya mulai dari Pemerintahan Orde Baru, pemerintah memakai agama menjadi sarana main politik, mengatur kekuatan. Kadang-kadang antar agama yang diadu, dan bisa juga satu agama, bahkan satu organisasi keagamaan. Penguasa Orde Baru sangat sering memainkannya, walaupun dapat dilihat dengan kasat mata.
Demikianpun presiden Jokowi, sekurang – kurangnya tidak sungguh-sungguh menyelesaikan masalah agama yang ada di Indonesia.
Pada tulisan ini ada dua hal penting yang ingin saya sampaikan yaitu: Pertama, Apakah masih perlu adanya Menteri Agama?
Menurut saya tidak, diamanahkan UUD, dan kenyataannya hampir tidak ada manfaatnya menjalankan Pasal 29 ayat (2), malah yang terjadi memberi peluang beberapa Menteri Agama yang mengurus agama masuk penjara.
UUD tidak mewajibkan negara mengurus agama, melainkan UUD mewajibkan negara menjamin kemerdekaan atau kebebasan beragama dan menjalankan ibadahnya.
Jaminan yang ada pada Pasal 29 ayat 2 sudah harus diterapkan di Bumi Indonesia. Hal ini diharapkan menjadi perhatian Pemerintahan Jokowi-Amin di 2019-2014. (SM)