UNTUK meningkatkan pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 khususnya Pasal 33 sangat baik diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional.
Karena maksud Pasal 33 UUD 1945 suatu amanat dari proklamasi yang tujuannya adalah kemakmuran rakyat. Untuk itu produk hukum nasional yang dibuat harus mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, rasional, keadilan, kebenaran dan bermanfaat kepada pembangunan ekonomi masyarakat banyak sehingga diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.
Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan atau UU tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Faillissement Verorodenning (peraturan kepailitan) Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348 (FV).
Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi dunia yang melanda dunia usaha dewasa ini, dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu maka makin banyak negara menjadi lebih rentan atau mudah terhadap goncangan-goncangan ekonomi yang dapat bersumber dari dalam maupun dari luar negara itu sendiri. Karena memang akibat kemajuan teknologi banyak negara yang ekonominya semakin terbuka dan terintegrasi dengan ekonomi global karena menerapkan kebijakan-kebijakan liberalisasi.
Globalisasi dan liberalisasi perdagangan yang terjadi saat ini dapat memberikan kemajuan yang cepat pada suatu negara tetapi sebaliknya juga dapat menimbulkan masalah lebih cepat terbuka. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan juga dapat menularkan masalah dari suatu negara ke negara lain lebih cepat, sebagaimana terlihat dalam krisis keuangan Asia 1997/1998 yang juga melanda Indonesia.
Persolan pemulihan krisis ekonomi ini telah dilanda isu ketidakpercayaan investor asing terhadap program pemulihan dan stabilitas sosial politik. Akibat gonjangan ekonomi program pemulihan ekonomi menjadi tersendat pada dua persoalan besar, yaitu rekapitulasi perbankan dan restrukturisasi perusahaan akibat dari kredit macet yang begitu besar. Beban pemerintah begitu tinggi untuk menopang rekapitulasi perbankan dan restrukturisasi perusahaan yaitu mencapai Rp. 61,8 triliun hingga bulan Maret 2000. Atau setara dengan 53,6% dari total PDB (product domestic bruto).
BACA JUGA: http://sbsinews.id/dana-rp73-triliun-untuk-surat-berharga-negara/
Krisis keuangan Asia 1997/1998 mengakibatkan tingginya biaya rekap yang harus ditanggung rakyat Indonesia melalui APBN, hal ini terjadi karena membengkaknya jumlah kredit macet (non-perming laon/NPL). Akibat kredit macet ini, pemerintah harus mengeluarkan paling sedikit pengeluaran APBN setiap tahunnya untuk membantu sektor perbankan yang terus mengalami keterpurukan/pendarahan (bleeding).
Pemerintah Indonesia berupaya untuk menyelesaikan persoalan ekonomi tersebut di atas, termasuk pula untuk meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia dan memberikan dasar hukum yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Untuk merealisasikan perbaikan ekonomi tersebut pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Monetary Fund (IMF).
Salah satu program yang menjadi perhatian serius dari IMF adalah aspek pembenahan hukum dalam rangka merestrukturisasi perekonomian Indonesia dengan cara pembentukan Hukum Kepailitan untuk menyelesaian kredit macet yang efektif dan efisien.
Rekomendasi hukum kepailitan dan pembentukan Peradilan Niaga diusulkan oleh IMF dalam paket perjanjian dengan Indonesia, hal ini didasari oleh dua hal yaitu lambannya perkembangan penyelesaian utang luar negeri swasta dan lemahnya komitmen untuk menyelesaikannya dalam perundingan antara pihak kreditur dan debitur. Tertundanya penyelesaian utang Indonesia membawa dampak cukup luas, karena disatu sisi, kreditor tidak lagi mau memberikan kredit, sedangkan debitur sendiri tidak mungkin memperoleh modal kerja (working capital) sehingga perekonomian tetap terpuruk.
Josep E. Stiglitz mantan ketuan dewan penasehat ekonomi USA masa pemerintahan Bill Clinton periode 1993-1997, dan ekonom senoir Bank Dunia periode 1997-2000 telah menyatakan model atau teori ekonomi yang dipakai IMF masih menggunakan pola pemikiran lama dan banyak kebijakan IMF yang melahirkan penderitaan di negara berkembang ketimbang hasil positifnya.
Josep E. Stiglitz juga mengkritik globalisasi yang sangat tidak adil, karena hanya menekan negara berkembang membuka akses tetapi sulit bagi mereka menerobos pasar negara maju. Globalisasi itu penting dan sebuah keharusan karena terbukti memakmurkan sejumlah negara. Namun ada yang harus ditelaah kembali yakni asas keadilannya.
Akibat dorongan dari IMF kepada pemerintah Indonesia guna menyelesaikan keterpurukan ekonomi Indonesia maka pada tanggal 22 April 1998, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan guna menyempurnakan ketentuan kepailitan sebagaimana diatur dalam Failissement Verordening Staatsblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatsblad No. 384 Tahun 1906. Perpu tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK) pada tanggal 24 Juli 1998 dan tercatat dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 1998 nomor 135, tambahan lembaran Negara Republik Indoenesia nomor 3778.
BACA JUGA: http://sbsinews.id/henri-lumban-raja-konsultasi-perbankan/
Dalam perjalanannya setelah terbentuknya Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 tersebut dirasakan banyak kekurangan dan kelemahannya akibat dari tidak sejalan tuntutan perkembangan masyarakat. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan yang ditetapkan pada tanggal 18 Oktober 2004 melalui Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Namun pada dasarnya Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) yang diharapkan lebih komprehensif ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan banyak pihak sebelumnya, yang tidak mengubah prinsip-prinsip kepailitan yang komprehensif melainkan hanya merupakan alat untuk menagih kredit macet semata tanpa memperhitungkan akibat dari pailit tersebut terhadap kelanjutan bisnis perusahaan secara global di Indonesia dan menambah pegangguran akibat kehilangan pekerjaan.
Undang-undang kepailitan yang berlaku saat ini dapat menjadi bom waktu dan ancaman bagi perusahaan yang sedang beroperasi dengan baik dan bagi investor yang ada maupun yang akan berinvestasi ke Indonesia. Hal ini karena dalam UUK dan PKPU tersebut banyak mengandung kelemahan dan celah yang bisa dimanfaatkan kreditor maupun perusahaan itu sendiri (debitor) untuk mempailitkan dirinya sendiri.
Kelemahan tersebut karena memang pembentukannya tergesa-gesa sehingga tidak menghasilkan perangkat aturan hukum yang memadai sehingga akibatnya ada banyak hal yang tidak diatur dengan tegas, dan akhirnya menimbulkan interprestasi yang beragam.
Dengan adanya kelemahan tersebut kreditor begitu mudahnya untuk mempailitkan perusahaan dengan menggunakan UUK dan PKPU tersebut, seperti dalam Pasal 2 ayat (1) yang intinya debitur yang mempunyai dua kreditor bila salah satu yang mempunyai piutang sekecil apapun bila sudah jatuh tempo dan dapat ditagih maka dapat mempailitkan perusahaan besar yang masih sehat (solvent).
Selain itu jika debitor (perusahaan) telat satu hari saja untuk bayar utang ke kreditor, maka kreditor itu dapat mengajukan gugatan pailit. Syarat pailit tersebut sangat riskan dan berbahaya bagi keberlangsungan perusahaan, karena orang yang punya piutang satu rupiah pun dapat mempailitkan perusahaan.
Masalah utama dewasa ini, dapat dilihat dalam Pasal 2 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai syarat-syarat pailit yang tidak rasional karena permohonan pailit dapat diajukan dan putusan pailit dapat dijatuhkan terhadap debitor yang masih solven atau debitor yang jumlah asetnya lebih besar dibandingkan dengan jumlah keseluruhan utang-utangnya.
Dengan syarat-syarat pailit yang demikian itu, maka kepastian hukum dan tujuan pelaksanaan hukum kepailitan yang adil akan sulit sekali tercapai. Selain itu, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 lebih memperhatikan dan melindungi kepentingan kreditor yang mempailitkan dari pada kepentingan debitor terpailit yang seharusnya juga dilindungi. Artinya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 seharusnya memperhatikan dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang baik kepada kepentingan kreditor maupun debitor sesuai dengan asas kepailitan pada umumnya yaitu asas memberian manfaat dan perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor dan asas mendorong Investasi dan bisnis.
Syarat-syarat pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 “Faillissements-Verordening” (Undang-undag Kepailitan), yang berlaku tanggal 1 Nopember 1906 padahal hanya memberikan kemungkinan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap seorang debitor dalam kondisi ketidak mampuan (Van de voorziening in geval van onvermogen van kooplieden) atau tidak mampu dengan nyata (kennelijk onvermogen) sehingga berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang-utangnya. Artinya, debitor tersebut telah dalam keadaan insolven atau lebih besar kewajiban dari pada asset dan piutangnya.
BACA JUGA: http://sbsinews.id/potret-keadilan-di-sumba-dan-indonesia/
Sedangkan untuk debitor yang masih solven sebaiknya kurator meminta debitor untuk bersama-sama mencari solusi melunasi kewajibannya dengan cara membenahi manajemen, salah satu contoh Kurator dan debitor melakukan audit independen untuk mengetahui masalah debitor sehingga kurator tidak langsung melakukan pemberesan asset dari debitor pailit.
Contoh perkara yang menunjukkan tidak rasionalnya syarat-syarat pailit dalam undang-undang kepailitan kita yaitu kasus kepailitan PT Dirgantara Indonesia (PT. DI) dan kepailitan PT Telekomunikasi Selular Tbk. (PT. Telkomsel). Dalam perkara pailitnya PT. DI selaku debitor, dimana sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, PT DI sejatinya hanya bisa dimohonkan pailit atas izin Menteri Keuangan. Hal itu diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan, dimana berbunyi: Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Namun penjelasan dari Pasal itu mengatur hal yang lebih detail lagi, yaitu hanya pada BUMN yang tidak terbagi atas saham yang membutuhkan izin Menteri Keuangan. Dengan kata lain, dalam konteks ini adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara. Pengaturan tentang BUMN yang terbagi atau tidak terbagi atas saham ini terdapat dalam Undang-undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam undang-undang itu, BUMN yang terbagi atas saham berbentuk Persero.
Sementara yang tidak terbagi atas saham berbentuk Perum. PT DI berbentuk Persero, artinya terbagi atas saham dan tidak membutuhkan izin Menteri Keuangan untuk dipailitkan. Hal ini jelas tidak memberi perlindungan hukum bagi BUMN Persero karena dapat dipailitkan oleh siapa saja walaupun BUMN Persero tersebut merupakan aset Negara yang penting dan berpengaruh pada perekonomian bangsa dan Negara. Jika Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Efek, Perusahaan Dana Pensiun dilindungi kenapa BUMN Persero tidak?
Sedangkan dalam kepailitan PT Telekomunikasi Selular Tbk. (PT. Telkomsel) sesuai Putusan No.48/Pailit/2012/PN. Niaga.JKT.PST menyatakan bahwa PT. Telkomsel terbukti memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT Prima Jaya Informatika sebesar Rp5,3 miliar dan sejumlah kreditur lain, seperti PT Extend Media Indonesia senilai Rp21.031.561.274 dan Rp19.294.652.520. Padahal seperti diketahui dampak dari pailitnya PT. Telkomsel adalah menyangkut nasib rakyat pengguna produknya dan ribuan karyawan yang terancam kehilangan pekerjaan akibat begitu mudahnya dipailitkan sebagaimana maksud dari Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU.
Kondisi ini menjadikan betapa tidak rasionalnya syarat-syarat pailit yang tidak memberikan perlindungan hukum bagi kreditor dan debitor secara seimbang. Telkomsel sebagai Debitor yang memiliki aset dan laba triliunan rupiah juga sebagai perusahaan yang masih sangat solven harus menjadi pailit, walaupun dalam tingkat Kasasi Hakim Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan niaga tersebut.
Bahwa dengan adanya putusan pailit maka Kurator sudah berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dimulai adanya putusan pernyataan pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan yang berlaku dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat sesuai pasal 24 ayat 2 UUK & PKPU meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali sesuai pasal 16 ayat
- Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan oleh pengadilan sebagai akibat Kasasi atau Peninjauan Kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan kurator tetap sah dan mengikat debitor sesuai pasal 16 ayat 2. Tugas yang pertama yang harus dilakukan kurator sejak mulai pengangkatannya, menurut pasal 98 UUK & PKPU adalah melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis berpendapat sebagai berikut:
- Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU mengenai syarat-syarat pailit belum menerapkan asas pemberian manfaat dan perlindungan yang seimbang antara debitor dan kreditor hal ini terbukti dalam putusan pailit PT. Dirgantara Indonesia dan PT. Telkomsel.
- Seharusnya syarat-syarat pailit dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU agar dapat memberi manfaat dan perlindungan hukum bagi kreditor dan debitor secara seimbang.
- Kurator cenderung belum bekerja memberikan hak dan kewajiban yang seimbang kepada Kreditor dan Debitor Pailit.
Ditulis Oleh: Henri Lumban Raja, SE., S.H., M.H. (Advokat, Kurator & HKHPM)