SBSINews – Tidak kecil pengorbanan Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII menyerahkan wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman bergabung ke wilayah pertama NKRI pada 5 September 1945. Penyerahan itu membuat pemerintah berani menepuk dada sebab kolonialis Belanda selalu mengejek dan bertanya mana wilayah dan rakyatmu sebagai sebuah negara.
Tidak sedikit pengorbanan Sultan Syarif Kasim II menyatakan Kerajaan Siak Sri Inderapura menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia pada 28 November 1945. Tak hanya pernyataan, Sultan Syarif Kasim II menyertakan uang sebesar 14 juta gulden cuma-cuma untuk persiapan mendirikan sebuah negara. Jika ditakar dengan ukuran sekarang, nominalnya setara 69 juta euro.
Sultan Syarif Kasim II juga menyerahkan mahkota, pedang dan nyaris seluruh kekayaannya.
Susah payah sultan membujuk raja-raja di Sumatera untuk ikut meleburkan diri dalam NKRI. Saat itu, para raja dan sultan sedang bimbang mengkhawatirkan masa depan kerajaan dan rakyat mereka.
Tidak bisa diremehkan pengorbanan rakyat Aceh untuk berdirinya Republik Indonesia. Mereka menyumbangkan uang untuk membeli pesawat kenegaraan dan kapal. Seorang bernama Teuku Markam, menyumbang 28 kilogram dari 38 kilogram emas di ujung Monas. Kalau dikonversi menjadi uang saat ini, Teuku Markam mengeluarkan sekitar Rp 14 triliun.
Tidak kecil keikhlasan rakyat dan kaum ibu di Sumatera Barat yang menyumbangkan uang, perhiasan bahkan cincin kawin mereka untuk modal pemerintah dan membeli pesawat jenis Avro Anson. Pesawat ini sangat penting untuk misi-misi khusus dan membuka blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.
Tidak mudah bagi raja-raja di wilayah timur untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia. Bahkan, Sukarno dan Mohammad Hatta harus bolak-balik dari tahun 1945 hingga 1955 untuk merayu dan meyakinkan Raja Don Alfonso Nisnoni dari Kerajaan Timor beserta raja-raja lain.
Sukarno menjanjikan pemerintahan yang berdiri di atas UUD 1945 yang di dalamnya mencakup Pasal 33 soal keadilan, pemerataan ekonomi dan pengelolaan kekayaan negara. Pidato Sukarno disambut teriakan rakyat, “Haket Mese, Haket Mese”. Artinya, berdiri di atas kaki sendiri.
Para raja dan sultan itu akhirnya dengan rela melepaskan “keagungan” dan “kemuliaan” mereka demi Indonesia.
Kejadian serupa juga terjadi di beberapa daerah dan kerajaan lain di Nusantara.
Hasil riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2012, ada 186 kerajaan yang masih eksis secara fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI.
Pernahkah generasi sekarang membayangkan betapa sulitnya Sukarno mengajak para raja dan sultan yang jumlahnya ratusan untuk menyatu mendirikan negara?
Pernahkah kita membayangkan betapa galaunya para raja dan sultan ketika menimbang baik buruknya mendengar janji Sukarno tentang sebuah negara merdeka? Meninggalkan kursi kekuasaan, menyerahkan kekayaan dalam upaya mendanai kemerdekaan, berikut menyerahkan tanah dan rakyatnya.
Betapa sedihnya jika para raja dan sultan jika mengetahui banyak rakyat mereka kini jadi penonton di negeri sendiri. Kekayaan alam yang melimpah tidak dinikmati sebagian besar rakyat. Hutang negara menggunung.
Ibarat kapal besar, nakhoda memilih membungkam penumpang yang berteriak kapal bocor ketimbang memperbaiki kapalnya.
Ingatlah pemimpin2 saat ini, kekuasaan mereka merupakan mandat dari raja-raja dan rakyat di seantero nusantara. (Istigram.com/Jacob Ereste)