Oleh: Himawan Sutanto
SBSINews – Suatu kali berdiskusi dengan anak milenial tentang pahlawan. Anak milenial tersebut mengatakan bahwa kriteria pahlawan bagi mereka adalah orang yang selama hidupnya berjuang untuk kebenaran, keadilan dan meninggalkan jasa untuk bangsa dan negara. Sebab bagi kalangan minelial peroalan pahlawan bukan menjadi prioritas utama.
Sementara dalam aturan pemerintah, bahwa menjadi Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Pertanyaannya negara kita sekarang dijajah sama siapa ? Dan dengan cara apa ?
Dari pertanyaan hal diatas, maka sangat sulit bagi generasi sekarang atau generasi paska era orde baru menjadi pahlawan, apalagi milenial. Sebab belum memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara. Hanya saja diberikan gelar “pahlawan” yang sebatas sebutan sebagai penghargaan sosial saja. Seperti pahlawan olah raga, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan devisa negara dan lain-lain. Kami juga selalu bertanya, kenapa yang dimakamkan di TMP adalah mayoritas dengan latar belakang tentara bukan sipil ? dan pertanyaan itu sampai sekarang belum ada jawabannya.
Pahlawan tanpa upacara
Di Indonesia gelar pahlawan selalu identik dengan upacara negara dengan diperingati setiap tanggal 10.November. Untuk itu setiap tanggal tersebut selalu di sebutkan siapa pahlawan yang dikasih gelar buat mereka yang diusulkan dan dibacakan di Istana dengan seksama.
Hanya dalam pemerintahan Habibi menganugerahkan pahlawan reformasi tapi sekedar mengapresiasi para mahasiswa yang mati di tembak oleh aparat saat demonstrasi menurunkan Soeharto. Sepertinya Habibi lebih memberikan kesan suport pada mahasiswa, tapi tidak secara sungguh-sungguh di jadikan tonggak secara besar seperti upacara penganugerahan gelar kepahlawanan sesungguhnya.
Walaupun Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus 2005 memberikan Bintang Jasa Pratama kepada Elang bersama mahasiswa Trisakti lain yang meninggal dalam tragedi tersebut. Mereka dianggap Pahlawan Reformasi. Tapi itu tidak cukup, keadilan tak bisa ditukar status bintang jasa. Sementara di Yogyakarta juga telah meninggal seorang pemuda bernama Moses Gatotkaca tidak lebih hanya sebuah nama jalan di daerah Demangan yang tanpa upacara, tetapi tidak pernah menjadi perhatian negara. Belum lagi korban dari gerakan mahasiswa sejak tahun 1973, 1977/78, 1980, 1990 dan 1998. Belum juga warga korban yang meninggal karena mempertahankan dan memperjuangkan keadilan.
Bahkan seorang Tan Malaka yang sudah digelari pahlawan oleh Soekarno lewat Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963 juga masih penuh kontroversial. Karena banyak para pecinta Tan malaka tidak bisa leluasa mengadakan diskusi atau seminar yang berbau Tan. Padahal sebagai pencetus ide 100% merdeka harusnya, pikiran-pikirannya yang tertuang didalam beberapa buku menjadi acuan anak muda sebagai pisau analisa bagi bangsa negara ini.
Miris memang kalau kita melihat kriteria tentang arti kepahlawanan. Sebab semakin tidak jelas dan transparan. Sebab matinya 5 mahasiswa saat melakukan penolakan RUU KPK menjadi korban sia-sia dibanding pelantikan menteri dan wamen pada saat ini. Begitu juga korban warga pendatang di Wamena yang mati tanpa ada tanggung jawab negara, yang juga terusir dari daerah tempat pencari nafkah di NKRI. Atau selasa siang, 29 Oktober 2019, Maraden dan Martua menjadi korban di lahan sawit yang sudah lama menjadi lapangan pencahariannya yang sudah turun menurun dan masih banyak lagi korban yang berjatuhan memperjuangkan haknya. Pertanyaannya apakah kasus diatas juga bisa menjadi pahlawan ?
Sulit membayangkan jika kepahlawanan identik dengan heroisme. Kepahlawan identik dengan kedekatan kepada penguasa, jika hanya faktor like and dislike dengan pendekatan politik semata. Politik di Indonesia akan memberikan peran yang signifikan jika ada terobosan baru tentang kriteria pahlawan. Sebab tidak mungkin terjadi jika para anak bangsa menjadi penting bagi bangsa negara menjadi sia-sia jika dibenturkan kriteria menjadi pahlawan nasional. Adanya cuma menjadi pahlawan ditengah hari pahlawan yang sarat dengan kekosongan makna belaka.
Seseorang menjadi pahlawan memang tidak pernah terbayangkan, cuma kepeduliannya dan komitmennya itulah yang membuat dia seorang pahlawan. Seperti kata orang bijak, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.
Depok, 10 November 2019