Oleh: Hendrik Hutagalung, SH.

Iuran adalah modal pergerakan bagi SP/SB, dan dalam menjalankan Serikat Buruh membutuhkan biaya untuk surat – menyurat, membayar sewa sekretariat, membayar listrik, air dan membayar full timer bagi buruh yang sebagian besar waktunya bekerja untuk serikat, karena serikat buruh itu organisasi kolektif, dana tersebut didapat dari iuran anggota dan ini menjadi sumber utama serta sumbangan tak mengikat.

Selain secara eksternal serikat buruh dihadapkan pada persoalan perburuhan (advokasi kasus, pemogokan), serikat buruh juga sadar atau tidak menghadapi hambatan dari internal, yakni persoalan yang dianggap remeh-temeh, yakni mulai tidak disiplin dalam iuran sampai dengan penyelewengan uang iuran/korupsi.

Pada SP/SB, baik yang sudah lama berdiri dan mempunyai banyak anggota, maupun serikat buruh yang relatif baru dan jumlah anggotanya kecil, seringkali persoalan telat dalam membayar iuran, atau tidak membayar iuran, seringkali menjadi hal yang lumrah, dimaklumi, biasa dan bahkan menjadi kebiasaan.

Persoalannya adalah bukan pada poin “belum ada duit”, karena bukan ini hal yang kita bahas. Perilaku umum SP/SB baik anggota maupun pengurusnya, sering memaklumi tindakan-tindakan mulai dari menunda membayar iuran (padahal sudah ada duit, tetapi enggan untuk segera membayar) sampai tidak membayar iuran dengan banyak dalih. Lalu, kalau ini menjadi kebiasaan, bagaimana dengan jalannya organisasi serikat buruh dan capaian – capaiannya ?

Tidak disiplin dalam membayar iuran, karena sengaja menunda padahal uang ada atau hanya karena malas menyetor atau tidak membayar iuran sama sekali, adalah pangkal dari korupsi. Baik anggota maupun pengurus yang mentradisikan tindakan ini, sedikit demi sedikit tegah mengkorupsi “modal pergerakan dan kekuatan” dari jalannya organisasi itu dan memberikan beban serta tanggung jawab tambahan kepadanya.

Selain tidak disiplin soal iuran, tidak disiplin dalam melaporkan penggunaan uang kas, uang aksi mogok dan lain-lain adalah bagian dari ‘”korupsi kecil” (sepanjang ini luput karena tidak ada pengawasan), lebih – lebih jika uang tersebut dipakai untuk keperluan pribadi, hal tersebut adalah nyata sebagai korupsi. Tidak jarang, kita menemui bentuk pemakluman – pemakluman soal penggunaan uang oleh pengurus atau anggota diluar kebutuhan rill organisasi. Misalnya, SP/SB membuat buku AD ART atau buku saku dengan harga solidaritas Rp 10.000,-.

Biasanya, akan dipilih orang – orang yang bertanggung jawab untuk distribusi buku AD/ART atau buku saku tersebut, sekaligus bertanggung jawab tentang keuangannya. Namun, pada saat pelaporan berapa jumlah buku AD/ART atau buku saku yang sudah didistribusi sekaligus keuangan, hanya disetor 50%, tidak sampai 100%, atau bahkan tidak disetor sama sekali, dengan alasan, terpakai untuk kebutuhan ini-itu, berniat meminjamnya dahulu dan berjanji mengembalikan. Karena kenal, sesama kawan di SP/SB, maka diiyakan saja oleh kawan yang lain.
Namun, tidak jarang, tindakan memakai uang organisasi seringkali berujung pada tidak kembalinya uang tersebut. Bisa saja, karena pemakluman-pemakluman yang sudah biasa tadi, perilaku yang sama pun akan terulang kembali, tidak satu dua kali terjadi, melainkan terus menerus. Tugas bagian keuangan SP/SB mengurus dengan baik segala urusan tentang keuangan organisasi, dengan menyediakan buku-buku untuk mencatat seluruh uang yang dipegangnya. Selain buku kas, buku setoran, dan buku tunggakan iuran, semua pengeluaran harus disertai dengan bukti kuitansi, dan melaporkannya dalam rapat sebulan sekali.
Dalam banyak kasus, longgarnya pengawasan dan rasa sungkan antar sesama pengurus sering menjadi penyebab organisasi berjalan tidak seimbang. Bahkan, tidak jarang SP/SB yang lebih dari 10 tahun berdiri, runtuh begitu saja, minimal mengalami kemunduran dan para aktivisnya mengalami disorientasi dalam gerakan. Semuanya bisa ditelisik dari bagaimana SP/SB membangun tradisinya sejak awal. Jika tradisi yang dibangun didalam SP/SB itu rapuh, maka dengan mudah sekali akan runtuh. Ibarat membangun rumah, jika pondasinya tidak kuat, maka dengan mudah akan hancur
Artikel ini dikutip dari beberapa sumber.

Hendrik Hitagalung, Sekwil Wilayah II (Kalimantan – Sulawesi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here