SBSINews – Upaya Presiden Joko Widodo merangkul partai politik yang seharusnya menjadi oposisi merupakan pertanda buruk bagi demokrasi. Bila hampir semua partai bergabung dalam pemerintahan, demokrasi akan mengalami disfungsi. Demokrasi yang sehat selalu memerlukan oposisi yang kuat.

Pertemuan terakhir Jokowi dengan Prabowo Subianto menguatkan sinyal bahwa Partai Gerindra akan bergabung dalam koalisi besar pendukung pemerintah. Sinyal serupa muncul ketika Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Praktis, tinggal Partai Keadilan Sejahtera yang belum digoda untuk merapat ke Istana.

Berbekal sokongan koalisi yang menguasai 60 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Jokowi sebetulnya tidak perlu merayu Gerindra, Demokrat, dan PAN. Merangkul mereka ke dalam pemerintahan hanya akan mematikan meknisme pengawasan dan penyeimbangan (check and balances) dalam sistem demokrasi.

Di DPR, pemerintah tak hanya memerlukan barisan politikus yang selalu memuji-muji. Pemerintah juga membutuhkan oposisi yang kritis untuk menguji setiap usulan kebijakan dan rancangan anggaran. Oposisi yang kuat dan substantif-bukan asal beda-juga akan menjaga pemerintah agar tak melenceng dari rel aturan.

Dalih bahwa pemerintah perlu terus memperbesar koalisi untuk menjaga stabilitas politik dan kelancaran pembangunan jelas mengada-ada. Ketika DPR dikuasai satu blok politik besar, yang bakal terjadi justru kosolidasi oligarki dan kartel politik. Setelah bertarung keras dalam pemilu, para anggota kartel politik itu akan bahu-membahu mempertahankan kekuasaan dan segala hak istimewa mereka, tanpa mempedulikan lagi aspirasi pemilihnya.

Bahasa hilangnya checks and balances di DPR sudah terbukti dalam pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi serta sejumlah rancangan undang-undang bermasalah lainnya. Dalam hal pelemahan KPK-yang bisa membuat para politikus lebih leluasa menjarah uang negara-tak ada satu partaipun yang bersuara berbeda.

Tetenger lain menguatnya oligarki adalah rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Lewat pemberlakukan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara, MPR akan memaksa presiden pilihan rakyat menjalankan program pembangunan ciptaan politikus Senayan. Melalui amandemen konstitusi, MPR juga bisa menghapus sistem pemilihan presiden langsung. Bila terjadi, hal ini merupakan kemunduran besar dalam demokrasi.

Menguatnya oligarki dan lenyapnya partai oposisi hanya akan memicu lahirnya kembali oposisi jalanan, yakni unjuk rasa mahasiswa yang berkolaborasi dengan kekuatan masyarakat sipil. Hal ini akan menciptakan suasana politik yang panas dan tidak stabil-situasi yang justru bertolak belakang dengan harapan pemerintah saat merangkul hampir semua partai.

Presiden Jokowi semestinya menyadari bahwa penguatan oligarki cenderung mengundang perlawanan masyarakat sipil karena aspirasi mereka tidak tersalurkan. Memberi ruang bagi sebagian partai untuk menjadi oposisi justru akan menyehatkan sistem politik. (Editorial Koran Tempo, 16 Oktober 2019/ Jacob Ereste )

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here