SBSINews – Pemerintah memastikan kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan tetap akan dilakukan meski banyak pihak yang mengkritik.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
Kenaikan ini untuk peserta kelas I dan II atau peserta non-penerima bantuan iuran (PBI) pemerintah pusat dan daerah.
Berapa jumlah peserta yang terdampak?
Saat ini tercatat jumlah peserta BPJS Kesehatan sebanyak 223,3 juta jiwa, dengan 82,9 juta di antaranya merupakan peserta non-PBI.
Peserta non-PBI terdiri dari peserta penerima upah (PPU) pemerintah 17,5 juta jiwa, PPU badan usaha 34,1 juta jiwa, peserta bukan penerima upah (PBPU) 32,5 juta jiwa dan peserta bukan pekerja (BP) 5,1 juta jiwa.
Peserta non-PBI yang terbanyak ialah PPU badan usaha alias karyawan.
Saat ini iuran BPJS Kesehatan karyawan sebesar 5 persen dari gaji pokok. Rinciannya 4 persen dibayar oleh perusahaan dan 1 persen oleh karyawan.
Berapa kenaikannya?
Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat. Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000.
Kemudian peserta JKN kelas II membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.
Sebenarnya pemerintah juga mengusulkan kenaikan peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanan menjadi Rp 42.000 per bulan.
Namun, usulan itu ditolak DPR dengan alasan masih perlunya pemerintah membebani data peserta yang karut-marut.
Kenapa harus naik?
Dalam pemaparan pemerintah, iuran BPJS Kesehatan saat ini masih underpriced atau di bawah perhitungan aktuaria.
Hal ini menjadi salah satu akar masalah defisit berkepanjangan BPJS Kesehatan yang ditemukan dalam audit BPKP terhadap JKN.
Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut, bila iuran tidak dinaikkan, defisit BPJS Kesehatan akan tembus Rp 77,9 triliun pada 2024.
“Kalau kita tidak melakukan upaya-upaya policy mix, artinya meningkatkan iuran kemudian kaitannya dengan bauran kebijakan, maka akan terjadi defisit ini semakin lebar,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI dan IX DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Ia menyebutkan potensi pembengkakan defisit BPJS Kesehatan mulai Rp 39,5 triliun pada 2020, Rp 50,1 triliun pada 2021, Rp 58,6 triliun pada 2022, Rp 67,3 triliun pada 2023, dan Rp 77,9 triliun pada 2024.
BPJS Kesehatan mengatakan, dengan perubahan iuran premi, persoalan defisit anggaran bisa diselesaikan secara terstruktur.
Legacy
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dipastikan akan menjadi warisan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo akan dicatat publik.
Rencana pemerintah menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan disambut dingin DPR.
Presiden Joko Widodo diingatkan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan menjadi warisan buruk di akhir periode pertamanya.
“Saya kira dari pembantu Presiden ini harus ada cara lain mengatasi ini ya,” ujar anggota Komisi XI DPR Didi Irawadi saat rapat kerja dengan pemerintah, Jakarta, Senin (2/9/2019).
“Jangan sampai kenaikan yang tidak populer ini membebani rakyat bawah. Ini akan menjadi legacy Pak Jokowi di era periode pertama,” kata dia.
Anggota Komisi XI dari Fraksi PPP Elviana juga menolak usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dari pemerintah. Ia heran mengapa pemerintah justru mengejar rakyat atas masalah defisit BPJS Kesehatan.
Rakyat, kata dia, sudah terbebani berbagai harga kebutuhan sehari-hari, mulai dari listrik hingga BBM. (Sumber: kompas.com)