Siapa yang sebetulnya berkuasa di KPK ?

Oleh: Ade Lukman

SBSINews – Alexander Marwata, Komisioner KPK 2015-2019 yang mengikuti tes Capim KPK 2019-2023 bercerita. Dia pernah ditolak penyidik hanya untuk melihat berkas Berita Acara Pemeriksaan sebuah kasus. Padahal, katanya, surat perintah penyidikannya ditandatangani oleh pimpinan.

Eh, begitu BAP, bahkan sebagai pimpinan dia tidak diperbolehkan mengakses dokumen. Sebagai pimpinan tentu saja aneh. Masa anak buahnya bisa punya kewenangan yang begitu luar biasa. Sampai hasil kerjanya gak boleh dilongok pimpinannya sendiri. Seolah kekuasaan penyidik jauh lebih tinggi ketimbang kekuasaan komisioner.

Memang sih, SOP di KPK, kata Alexander, tidak terlalu detil. Nah, bermodal SOP yang bolong itulah sebagian karyawan seolah bisa punya wewenang jauh melebihi komisioner. Mereka seperti menguasai lembaga anti rasuah itu.

Iya sih. Komisioner berganti setiap empat tahun. Tapi karyawan KPK bisa duduk di posisinya dalam waktu lama. Aturan kepegawaian ini kabarnya juga gak jelas. Apakah pegawai KPK ikut aturan ASN yang usia pensiunnya ditentukan oleh UU.

Nyatanya banyak pegawai KPK yang sudah melampaui usia pensiun ASN tetap dipergunakan. Demikian juga dengan hak dan kewajibannya.

Dalam urusan mengatur karyawan, KPK seperti lembaga tersendiri yang tidak mengacu kemana-mana. Seolah lembaga ini begitu spesialnya hingga dalam soal aturan kepegawaian juga berbeda dengan lainnya. Entahlah, kita tidak tahu bagaimana sistem renumerasi dan sebagainya.
Problem SOP juga yang tampaknya menjadi ihwal konflik di internal KPK.

Bahkan ada kabar perekrutan penyidik dituding tanpa prosedur yang jelas. Demikian juga dengan pergeseran posisi yang banyak dituding hanya menguntungkan satu kelompok sambil menyingkirkan kelompok lainnya. Problem inilah yang kemudian mencuatkan isu bahwa di dalam tubuh KPK ada kelompok Taliban ada juga Polisi India.

Kelompok polisi India tersingkir. Sementara kelompok Taliban ditenggarai berhasil menancapkan kukunya di KPK. Modalnya adalah SOP yang banyak bolongnya itu.

Jadi jangan kaget jika dalam proses seleksi Capim KPK sekarang ini karyawan KPK ikut bermain. Mereka menolak calon tertentu sambil menjadi ‘tim sukses’ calon lainnya. Mereka juga mengkritik panitia seleksi yang dimandatkan Presiden. Padahal mereka yang duduk sebagai panitia seleksi Capim KPK ini adalah orang-orang yang sejak dulu pasang badan membela KPK sebagai lembaga.

Tapi begitu hasil panitia seleksi tidak sesuai dengan kepentingan kelompok karyawan yang menguasai KPK, panitia seleksi juga kena hajar. Artinya siapa saja yang dianggap melawan kepentingan penguasa KPK ini, mereka akan disudutkan sebagai pembela koruptor. Atau menentang memberantasan korupsi. Sebuah stigma yang tentu saja buruk. Seolah yang suci hanya mereka yang mendukung kepentingan kelompok penguasa KPK itu.

Seperti biasa, suara karyawan dianggap mewakili KPK sebagai lembaga. Jadilah isu save KPK digaungkan. Padahal mungkin saja sesungguhnya yang mau disave adalah kelompok karyawan yang sudah begitu menggurita menguasai lembaga anti korupsi itu.

Bahkan untuk kasus ini mau didengungkan lagi isu Cicak vs Buaya. Meskipun mungkin saja, yang terjadi sebenarnya adalah kelompok Taliban vs Polisi India.

Seperti yang pernah disampaikan Neta S. Pane. Kelompok Taliban yang memguasai KPK sekarang hendak menjegal masuknya orang yang dianggap bisa menghambat geraknya.

Kita wajib menjaga marwah KPK. Kita harus menjaga lembaga ini dari dominasi satu kelompok. Apalagi jika ternyata kelompok itu juga punya orientasi politik.

Buktinya Prabowo pernah bicara, Novel Baswedan adalah calon jaksa agungnya.

Dan kita tahu, kemana afiliasi kelompok ini bermuara.

Sebagai masyarakat tentu perlu validitas informasi yang faktual.
(Kompasiana)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here