SBSINews – Pemerintah tengah mewacanakan untuk menambah jaminan sosial yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK).

Dalam hal ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Hanif Dhakiri mengusulkan untuk menambahkan komponen Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Jaminan Pelatihan dan Sertifikasi (JPS).

“Ini sekadar wacana untuk antisipasi lebih baik dalam memberikan perlindungan dari sisi tenaga kerja yakni korban PHK. Korban-korban PHK juga harus dilindungi negara. JKP ini semacam unemployment benefit, ” kata Hanif, Selasa (13/8/2019).

Sementara JPS berupa jaminan sosial yang diberikan agar warga memiliki kesempatan menjalani pelatihan dengan baik.

Dirinya beranggapan bahwa dua program tersebut bisa menjadi instrumen negara untuk melindungi tenaga kerja. Terlebih saat ini disrupsi teknologi dan ekonomi membuat pasar tenaga kerja bergerak dinamis.

Untuk saat ini, BPJS TK sudah memberikan empat program jaminan sosial, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).

Adapun besaran iuran terbagi menjadi 2 yakni penerima upah (karyawan) dan bukan penerima upah.

Penerima upah sendiri merupakan orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain dari pemberi kerja. Sementara bukan penerima upah merupakan pekerja yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya.

Besaran iuran bagi penerima upah yakni 5,7% dari upah (2% dibayarkan pribadi, 3,7% dibayarkan perusahaan). Sementara untuk bukan penerima upah adalah 2% dari penghasilan peserta hingga maksimal Rp 414.000.

Jika nanti usulan tersebut disetujui, maka bukan tidak mungkin iuran BPJS TK yang harus dibayarkan oleh tenaga kerja akan naik. Namun, bagaimana kondisi keuangan BPJSTK saat ini? Apakah tambahan iuran bakal digunakan untuk memperbaiki kinerja perusahaan?
BPJS Ketenagakerjaan Sehat?

Menilik laporan keuangan yang dirilis oleh BPJSTK, kinerja perusahaan boleh jadi dikatakan sehat. Bahkan sangat baik. Salah satu indikatornya laba bersih yang sejalan dengan arus kas positif.

Setidaknya sejak tahun 2015, laporan keuangan BPJSTK selalu dihiasi oleh laba bersih. Paling tinggi terjadi pada tahun 2017, dimana perolehan laba bersih mencapai Rp 1,29 triliun. Sedangkan pada tahun 2018, laba bersih BPJSTK turun 61% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp 501 miliar.

Laba bersih tersebut datang dari pengelolaan dana investasi sebesar Rp 364,8 triliun. Jumlah ini bertambah dari tahun 2017 yang sebesar Rp 317,11 triliun. Sementara porsi dana kelolaan terbesar didapat dari program JHT, yaitu mencapai Rp 274,78 triliun di tahun 2018.

BPJSTK juga menyebutkan bahwa hasil pengembangan dana kelolaan JHT di tahun 2018 mencapai 6,26%, yang mana lebih tinggi dibanding rata-rata bunga deposito jangka waktu satu tahun di bank pemerintah (counter rate).

Perlu diketahui bahwa BPJSTK mendapat keuntungan dari aktivitas operasional dan investasi. Operasional berupa beban tetap yang diambil dari pelanggan. Sementara pendapatan investasi didapat dari imbal hasil investasi seperti saham dan obligasi.

BPSJ juga tercatat memiliki arus kas yang positif. Pada tahun 2018, arus kas yang berasal dari aktivitas operasi memang negatif Rp 35,9 miliar. Akan tetapi masih ada arus kas positif dari aktivitas operasi sebesar Rp 281 miliar yang dapat menutupi.

Pun aktivitas pendanaan juga mencatat arus kas negatif, yang artinya minim penarikan utang baru.

Alhasil sepanjang tahun 2018, secara total ada tambahan kas dan setara kas sebesar Rp 213 miliar. Jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 22,2 miliar.

Hal itu bisa terjadi karena pembayaran premi kepada BPJSTK cukup besar dan minim tunggakan.

Contohnya pada tahun 2018, total pendapatan iuran dari seluruh program BPJSTK mencapai Rp 64,9 triliun atau naik 15,2% dibanting tahun sebelumnya. Bahkan setidaknya sejak tahun 2015, pembayaran iuran selalu mengalami kenaikan.

Maka tak heran apabila dana kelolaan BPSJTK semakin membesar setiap tahun. Hal itu juga membuat pendapatan dari investasi juga semakin besar. Pada tahun 2018, total pendapatan dari aktivitas investasi mencapai Rp 1,06 triliun yang mana naik dari posisi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 825 miliar.

Kondisi keuangan yang sehat menjadi salah satu indikator bahwa BPJSTK masih mampu untuk mengelola dua komponen jaminan tambahan bila nantinya disetujui.

Selain itu, jika nanti memang ada penambahan iuran yang harus dibayar oleh tenaga kerja, hal itu kemungkinan bukan ditujukan untuk perbaikan kondisi keuangan perusahaan, seperti yang terjadi pada BPJS Kesehatan.

Selain itu perlu diingat bahwa rencana penambahan komponen jaminan ini masih sebatas wacana. Bahkan Hanif juga mengaku belum membicarakan wacana ini kepada Presiden Joko Widodo. (Sumber: CNBCIndonesia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here