SBSINews – Nahum Situmorang lahir di Sipirok Tapanuli Selatan pada tanggal 14 Februari 1908, sebagai anak ke-5 dari 8 bersaudara, putra dari Kilian Situmorang. Ayah Nahum, Kilian Situmorang, pada masa itu, termasuk kategori ‘terpandang’ mengingat statusnya sebagai guru di sebuah sekolah berbahasa Melayu di Sipirok Tapanuli Selatan, di tengah mayoritas penduduk yang masih buta huruf. Sebelum merantau ke wilayah Tapanuli Selatan, Kilian Situmorang lahir dan besar di Desa Urat, Pulau Samosir, yang merupakan kampung Ompu Tuan Situmorang, kakek moyang dari marga Situmorang, Siringo-ringo, Rumapea dan Sitohang.
Begitu Nahmum tamat dari HIS-Tarutung, dengan niatan agar anaknya dapat mengikuti jejaknya kelak untuk mengabdi kepada rakyat sebagai guru, Kilian Situmorang mengijinkan anaknya dibawa ke Batavia (Jakarta) oleh seorang Pendeta yang saat itu bertugas di Sipirok dan mau pindah Depok. Di Jakarta, Nahum mengikuti pendidikan guru di Kweekschool Gunung Sahari, namun karena sekolah tersebut ditutup oleh Belanda dengan alasan berbahaya, kemudian ia pindah ke sekolah guru Kweekschool di Lembang, Bandung dan lulus tahun 1928.
1928: Pejuang dan aktivis PemudaPada Kongres Pemuda II tanggal 27 – 28 Oktober 1928 di Jakarta, Nahum Situmorang ikut sebagai peserta, dan sebelumnya mengikuti sayembara untuk menciptakan lagu kebangsaan. Waktu itu, juri memutuskan Wage Rudolf Supratman sebagai juara satu sayembara dengan lagunya yang berjudul ‘Indonesia Raya’ sedangkan Nahum berada pada posisi kedua. Akhirnya, lagu ‘Indonesia Raya’ ciptaan W.R Supratman dikumandangkan pada puncak Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 setelah ikrar ‘Sumpah Pemuda’ selesai dibacakan. Namun, sangat disayangkan bahwa lagu kebangsaan versi Nahum Situmorang yang diperlombakan saat itu sampai sekarang belum dapat ditemukan. Konon, waktu itu Nahum sangat kecewa dengan kekalahan lagunya karena ia sangat yakin lagu ciptaanya lebih layak bila dilihat dari sisi keaslian (orisinalitas) dan durasi yang lebih pendek dibandingkan ciptaan W.R Supratman.
1929: Pulang ke TapanuliBeberapa bulan setelah Sumpah Pemuda diikrarkan, tepatnya pada tahun 1929, Nahum memutuskan untuk pulang ke Tapanuli tepatnya Sibolga, dan mengajar di Particuliere HIS van Batakse Studifonds. Sejak itu lah panggilannya sehari-hari menjadi ‘Guru’. Kemudian pada tahun 1932 Nahum pindah ke Tarutung atas ajakan abangnya, yang bekerja seorang guru bernama Sophar Situmorang, untuk mendirikan dan mengelola sekolah partikelir (swasta) bernama HIS-Partikelir Instituut Voor Westers Lager Onderwijs yang akhirnya tutup setelah kedatangan Jepang (Dai Nippon) pada tahun 1942.
Atas kecintaannya pada alam dan masyarakat Tarutung, Nahum terinspirasi menciptakan lagu Dijou Ahu Mulak Tu Rura Silindung dan Rura Silindung, yang antara lain liriknya berbunyi: molo masihol ho tu Silindung, endehon ma ende ni Situmorang (kalau kau rindu ke Silindung nyanyikan lah lagunya Situmorang). Pada saat masih tinggal di Tarutung juga, Nahum sangat sering pergi ke Medan untuk menyalurkan bakatnya dan mengikuti berbagai sayembara menyanyi dan mengarang lagu. Bersama Raja Buntal Sinambela, putra Sisingamangaraja XII, medirikan orkes musik ‘Sumatera Keroncong Concours’ dan pada tahun 1936 memenangkan lomba cipta lagu bernuansa keroncong di Medan.
Sejak tahun 1949, Nahum memilih untuk menetap di Medan dan mulai menggeluti usaha jual-beli mobil sambil tetap bernyanyi serta mencipta lagu. Kadang-kadang ia tampil mengisi acara musik di RRI bersama kelompok band yang ia bentuk.Periode 1950-1960 adalah masa-masa Nahum paling produktif mencipta lagu dan tampil total sebagai seniman penghibur. Selain suaranya yang indah, keistimewaan Nahum yang dikagumi banyak orang adalah kemampuannya menciptakan lagu sekaligus menyanyikannya. Ia juga sanggup memainkan berbagai instrumen musik, seperti: gitar, piano, biola, bas betot, terompet, perkusi. Ia juga terbiasa menciptakan dan menyanyikan lagu tanpa perlu menulis teksnya termasuk saat sedang berada di tengah-tengah orang banyak atau keramaian. Barangkali, itu lah salah satu penyebab lagu-lagunya hanya bisa terdata sebanyak 120 judul, sementara dugaan orang yang pernah mengikutinya jumlahnya bisa mencampai jumlah 200 judul lagu.
Pada tahun 1960, Nahum dan rombongan musiknya mengadakan tur pertunjukan dan mendapat sambutan yang meriah dari masyarak Jakarta. Setahun lebih mereka bernyanyi, mulai dari istana presiden, mengisi acara-acara instansi pemerintah, diundang kedubes-kedubes asing, live di RRI, hingga muncul di kalangan komunitas Batak. Pada saat tur ini pula ia manfaatkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk piringan hitam di perusahaan milik negara, Lokananta. Surat-surat penghargaan dari organisasi kebudayaan, masyarakat dan dari pemerintah telah berkali-kali ia peroleh. Terahkhir, semasa hidupnya, Nahum memperoleh penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1969.
Pada akhir tahun 1966 Nahum jatuh sakit dan dirawat di RSU Pirngadi Medan selama hampir 3 (tiga) tahun, dan kemudian menghembuskan nafas yang terakhir pada tanggal 20 Oktober 1969, pada usia 62 tahun. Berlawanan dengan syair lagunya yang berjudul ‘Pulo Saomosir’ ia dikebumikan di pemakaman Jalan Gajah Mada, Medan. Barangkali, itu lah gambaran betapa pedih dan tragisnya kematian seseorang yang tidak meninggalkan istri atau anak pada saat meninggal.
Nahum Situmorang menolak untuk menjadi pegawai penjajahBaik waktu masih di Bandung, di Jakarta maupun setelah pulang ke Tapanuli, mengingat dirinya sebagai nasionalis tulen, Nahum menolak dan tidak pernah berminat untuk menjadi pegawai Negara yang kala itu berada di bawah kendali penjajah Belanda maupun Jepang. Ia lebih memilih bekerja di lingkungan swasta ketimbang mengabdi pada penjajah. Sikap nasionalisme ini sejalan dengan nalurinya sebagai seniman yang menganut kebebasan berekspresi. Akibatnya, sebagaimana diuraikan sebelumnya, untuk menopang hidup, Nahum terpaksa beberapa kali gonta ganti kegiatan, disamping sebagai pengarang lagu dan penyanyi, untuk menopang kebutuhan hidup.
Nahum Situmorang tidak pernah menikahSampai akhir hayatnya, Nahum Situmorang memilih hidup sendiri atau tidak menikah. Sampai ajal menjemputnya ia tetap melajang. Konon karena ia pernah mengalami patah hati dengan seorang perempuan. Menurut cerita, si gadis idaman Nahum yang membuatnya patah hati adalah cicit seorang tokoh, yang memilih kawin dengan seorang dokter. Perempuan yang diceritakan itu pernah diwawancarai oleh seorang wartawan di Tuk-tuk, Samosir mengenai kebenaran cerita asmaranya dengan Nahum sewaktu di Tarutung. Namun perempuan yang sudah ubanan hanya membenarkan bahwa dirinya mengenal Nahum dan sering marguru ende (latihan koor) dan bernyanyi bersama di gereja namun keduanya tidak pernah dekat dalam arti special (pacaran). ”Mungkin saja dia menaruh cinta pada saya, namun dia tidak pernah mengungkapkan ke saya, dan saya pun tidak pernah merasakannya,” kata perempuan itu. Dia juga menceritakan bahwa di gereja, Nahum sering menghidupkan suasana dengan main gitar dan menyanyikan lagu-lagu ciptaannya.
Cerita lain menyebutkan bahwa perempuan yang membuat Nahum patah hati adalah seorang Boru Tobing, putri seorang tokoh terpandang. Orangtua perempuan itu tidak merestui si Boru Tobing menikah dengan Nahum karena status Nahum yang hanya seorang seniman (pengarang lagu dan penyanyi). Cinta Nahum rupanya bukan sembarang cinta sehingga tidak biasa ke lain hati. Sehingga, berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa, terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Dan, iapun terjebak untuk tetap meratapi kepergian kekasihnya yang yang melih menikah dengan pria lain.
Kuat dugaan, lagu ‘Beha Pandundung Bulung’ dan ‘Nahinali Bangkudi’ adalah ekspresi dari kesepian dan kekecewaan Nahum terhadap dirinya sendiri. Beha Pandundung Bulung adalah ungkapkan perasaan rindu Nahum pada perempuan yang meninggalkan dirinya, yang liriknya:Beha pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daolBeha pasombu lungun da inang, da songon on padao-daoHansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis inangBeha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan.Sementara syair lagu ‘Nahinali Bangkudu’ adalah kekecewaan atau penyesalan Nahum terhadap status lajangnya, yang liriknya:
Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk – burukni rere.
1942-1949: Gonta-ganti profesiKurun waktu tahun 1942-1945, Nahum membuka restoran masakan Jepang bernama Sendehan Hondohan sembari merangkap sebagai penyanyi untuk menghibur pengunjung restorannya. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan meninggalkan Indonesia, restorannya bangkrut. Dari tahun 1945-1949, sambil tetap menciptakan lagu-lagu baru, ia berkelana dari satu kota ke kota lain sebagai pedagang permata dan emas, antara lain ke Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe.
1950-1960: Masa produktif sebagai pencipta lagu
1966 – 1969: Sakit dan meninggal dunia