SBSINews – Ali Karim Oei menunjuk sebuah foto hitam putih yang tampak menguning di ruang kerja Kantor Yayasan Karim Oei, Jakarta Pusat. “Ini bapak saya. Lihat di sampingnya siapa?” tanya pria 63 itu kepada kumparan sambil tersenyum simpul.
Ada tiga orang dalam potret lawas itu. Seseorang yang tampak duduk adalah Karim Oei, ayah Ali. Sementara, dua pria lain mengapitnya sambil berdadalah Presiden RI pertama Soekarno dan ulama Buya Hamka. Ketiganya kompak mengenakan setelan kemeja berdasi lengkap dengan jas.
“Ini foto langka, Presiden berdiri, China (Karim Oei) duduk. Ini ada di Museum Bengkulu,” ucap Pria yang kini menjadi Ketua Yayasan Karim Oei ini.
Foto yang ia tunjukan diambil sekitar zaman pergerakan. Saat itu, ayah Ali yang merupakan keturunan Tionghoa turut serta bersama masyarakat pribumi berjuang melawan Pemerintah Kolonial Belanda di Bengkulu.
Persinggungan dengan masyarakat pribumi yang mayoritas muslim menggugah hati Karim untuk lebih mengenal Islam. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjadi mualaf pada 1930 dan bergabung dengan salah satu ormas Islam Muhammadiyah.
“Pas masuk Islam bapak saya diangkat jadi pemimpin,” Ali mengenang. Dalam buku karya Yunus Yahya, dikatakan bahwa Karim Oei menjadi konsul Muhammadiyah wilayah Bengkulu dari tahun 1937-1942.
Karim kemudian membentuk Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Jakarta pada 1961. Dia menghimpun para muslim Tionghoa di Indonesia untuk memperkenalkan Islam kepada sesama masyarakat keturunan.
Sebelum era Karim Oei, sebetulnya jejak muslim Tionghoa yang menyebarkan Islam di Nusantara sudah ada sejak lama. Mereka membentuk komunitas-komunitas di berbagai daerah, seperti Palembang dan pesisir utara Pulau Jawa.
Sejarawan ahli Tionghoa Universitas Airlangga, Shinta Rahayu, menyebut pada tahun 1800-an misalnya ketika Belanda menemukan sumber sejarah di Klenteng Talang Cirebon yang menginformasikan orang-orang China dulunya turut menyebarkan Islam di Indonesia. Namun, saat itu sumber tersebut dirahasiakan oleh Belanda.
“Langsung disegel, sumber-sumber itu tidak boleh diketahui oleh masyarakat luas supaya orang-orang China tidak bersatu dengan masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam,” tutur Shinta kepada kumparan, Selasa (28/5).
Dalam catatan sejarah, komunitas muslim Tionghoa di pesisir Jawa sudah ada sejak abad ke-11. Keberadaan mereka, menurut Shinta, tak lepas dari ekspansi kerajaan China.
Kala itu di era pemerintahan Dinasti Yuan (Mongolia), ada dua utusan Mongolia yang dikirim ke Kerajaan Singasari. Mereka meminta supaya Singasari yang kala itu dipimpin Raja Kertanegara tunduk kepada Dinasti Yuan.
Namun permintaan tersebut ditolak. Raja Kertanegara malah melukai telinga para utusan sebagai tanda penolakan. Utusan tersebut lalu pulang ke China. Kemudian Kerajaan China mengirim pasukan tartar untuk menyerang Singasari. Namun ketika mereka tiba, kondisi Singasari sudah hancur akibat diserang Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Jayakatwang.
Saat itu, Kertanegara terbunuh dan Jayakatwang mendirikan Kerajaan Kediri di wilayah Singasari. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Raden Wijaya (Majapahit) yang ingin menguasai Kediri. Dia mengatakan kepada pasukan Tartar bahwa Kertanegara menjadi Raja Kediri.
Tentara Tartar lalu menyerang dan berhasil menaklukan Kediri. Kemenangan itu kemudian dirayakan dengan pesta mabuk-mabukan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menyerang tentara Tartar.
“Tentara Tartar itu kocar-kacir kan, sebagian bisa pulang ke China, sebagian tidak bisa pulang. Nah sebagian yang tidak bisa pulang itu menetap di Jawa dan di antaranya itu ada yang beragama Islam. Kalau pada masa Dinasti Yuan itu memang banyak tentara China yang beragama Islam,” Shinta menjelaskan.
Banyaknya tentara China beragama Islam tak lepas dari penyebaran agama itu sejak abad ke-7. Saat itu kota-kota pelabuhan di China yang menjadi pusat perdagangan banyak dikunjungi oleh pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang sudah beragama Islam. Beberapa ada yang menikah dengan perempuan setempat. Dengan demikian, banyak keturunan mereka yang kemudian beragama Islam.
“Termasuk suku Hui itu kan Islam, orang-orang Yunan itu banyak yang beragama Islam,” sebut Shinta.
Dengan latar belakang tersebut, para tentara muslim yang tinggal di Indonesia kemudian membaur dengan penduduk sekitar. Ada yang menikah dengan penduduk setempat dan memiliki keturunan.
Selain kehadiran tentara Muslim dari China tersebut, andil orang berdarah Tionghoa dalam penyebaran Islam juga tampak dari jejak Wali Songo. Sunan Ampel, misalnya, yang aktif menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15. Dia diketahui lahir di Champa (sekarang Vietnam) dan bernama Bong Swie Ho. Orang-orang di Champa pada saat itu merupakan keturunan China yang beragama Islam.
Sunan Ampel aktif berdakwah di sekitar Surabaya lalu mendirikan masjid di sana. Dia kemudian menikah dan punya anak yang dikenal sebagai Sunan Bonang.
“Sunan Bonang otomatis berdarah Tionghoa karena dia anaknya Sunan Ampel. Sunan Drajat juga begitu. Ada pula yang menikah dengan perempuan China seperti Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tien,” jelas Shinta.
Meski berdarah Tionghoa, wali songo berdakwah tidak menggunakan bahasa China, melainkan bahasa sesuai masyarakat sekitar. Bahkan Sunan Bonan, menyebarluaskan Islam melalui tembang-tembang Jawa yang pada saat itu lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Pada periode selanjutnya, yaitu abad ke-17, di negeri China terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Ming ke Qing. Penguasa baru selanjutnya mengeluarkan kebijakan, orang-orang China di perantauan tidak boleh kembali ke China. Sementara, orang China di dalam negeri dilarang untuk keluar. Kebijakan itu juga berlaku bagi mereka yang Muslim. Para Muslim China yang tinggal di Indonesia kemudian hidup dan membaur dengan masyarakat Indonesia.
“(Mereka) menjadi orang Indonesia pada waktu itu. Akhirnya tidak kelihatan kechinaannya. Dalam hal tempat tinggal ya mereka membaur sampai VOC itu mengeluarkan kebijakan membagi wilayah permukiman berdasarkan etnis (Wikjen Stelsel),” terang Shinta.
Berdasarkan kebijakan tersebut, orang-orang Tionghoa yang sudah memeluk Islam rata-rata memilih membaur dan meninggalkan identitas kechinaannya. Pada waktu itu muncul tokoh Muslim Tionghoa di Deli Serdang bernama Haji Yapsiong.
Selepas menyelesaikan studi Islam pada 1931, Haji Yapsiong kemudian mendirikan organisasi dakwah bernama Persatuan Islam Tionghoa. Dia kemudian melancong ke beberapa tempat, termasuk ke Jawa untuk berdakwah. Dalam perjalanannya dia bertemu dengan Abdul Karim Oei di Jakarta tahun 1950. Pertemuan keduanya kemudian menjadi cikal bakal didirikannya PITI pada 1961.
Penggunaan nama Tionghoa dalam PITI kemudian dilarang setelah peristiwa G30S. Selain itu, pertunjukan kebudayaan Tionghoa seperti Barongsai dan lain sebagainya juga dilarang dipertontonkan. PITI kemudian berganti nama menjadi Persatuan Iman Tauhid Indonesia.
“Pascaperistiwa G30S itu orang-orang Tionghoa dipaksakan memeluk agama yang diakui oleh pemerintah. Agama yang diakui kan ada 5, Kristen, Katolik, Islam, Hindu dan Budha. Kong Hu Cu kan tidak lagi diakui sebagai agama resmi,” ungkap Shinta.
Di antara orang-orang Tionghoa yang terkena kebijakan tersebut, ada yang memutuskan untuk memeluk Islam. Mereka beranggapan dengan memeluk Islam mereka akan menjadi pribumi. Jumlah mereka tidak sebanyak masyarakat Tionghoa yang memutuskan untuk memeluk Kristen dan Katolik.
“Dan memang yang beragama Islam itu menjadi sangat mudah diterima. Misalnya tinggal di perkampungan,” kata Shinta.
Sejak saat itu, para mualaf Tionghoa di Indonesia jumlahnya perlahan bertambah. Apalagi setelah dibangunnya Masjid Lautze, Yayasan Karim Oei, tahun 1991 di Jakarta Pusat. Masjid tersebut didirikan setelah Karim Oei wafat pada 1988. Para muslim Tionghoa yang pada saat itu turut berjuang bersama Karim Oei mengabadikan perjuangannya dengan mendirikan yayasan.
Dari catatan tahun 1997, ada seribuan masyarakat Tionghoa yang berikrar menjadi mualaf di yayasan tersebut. Setiap hari Minggu selain di bulan Ramadan mereka berkumpul di Masjid Lautze untuk mendalami Islam. Misalnya belajar salat, Alquran, dan kajian keislaman lainnya.
“Salat tarawihnya kita lain daripada yang lain. Tiap dua rakaat imamnya kita ganti. Jadi mualaf baru hafal dua surat kita minta jadi imam. Karena ini salat sunah. Kesempatan orang belajar jadi pemimpin,” cerita Karim.
Tumbangnya Orde Baru pada 1998, juga memberikan angin segar bagi komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia. Pada masa Presiden Gus Dur, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk berserikat. PITI kemudian berganti nama seperti semula.
Dengan kebijakan tersebut, PITI semakin berkembang pesat dan di tahun 2019 sudah memiliki kantor cabang di 27 provinsi di Indonesia. Menurut Ketua PITI saat ini, Anton Medan atau Tan Hok Liang, jumlah umat Muslim Tionghoa di Indonesia berjumlah 1,1 juta orang. (Sumber: kumparan.com)