SBSINews – Amien Rais menyampaikan pernyataan tentang penembakan pengunjukrasa [Instagram.com @amienraisofficial]
“Saudaraku, saya menangis, saya betul-betul sedih tapi juga marah, bahwa polisi-polisi telah menembak umat Islam secara ugal-ugalan. … Karena itu, saudara Tito, saya atas nama umat Islam minta tanggung jawabmu. Ya, Tito jangan buat marah umat Islam.”
Pernyataan Amien Rais, yang disebarluaskan melalui akun instagramnya langsung disambut orang-orang yang mengapitnya dengan seruan takbir. Seseorang beteriak, menyatakan “kami tidak terima. Kami akan melawan”.
Pernyataan Amien Rais jelas-jelas merupakan fitnah sekaligus provokasi lanjutan. Pernyataan itu juga telanjang membuktikan kecemasan polisi bahwa ada desain kerusuhan melalui penciptaan martir yang ditudingkan kepada polisi sebagai pelaku penembakan.
Pertama, pernyataan Amien merupakan fitnah selama ia tidak menyampaikan klarifikasi setelah mengetahui penjelasan Kapolri yang disertai rangkaian bukti-bukti tentang skenario penciptaan martir.
Amien Rais pasti tahu tentang penangkapan Eks Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko atas dugaan penyelundupan senjata dan seruan mengepung istana. Amien pasti tahu tentang penangkapan 3 orang di Jakarta dan 2 orang di Sumatera Utara yang membawa senjata api ke tengah pengunjukrasa.
Amien tidak mungkin tidak turut menonton berita atau setidaknya mendengar brief dari orang-orangnya tentang konferensi pers Kapolri Tito Karnavian bersama Menkopolhukam Wiranto dan para pejabat terkait.
Dalam konferensi pers itu Tito katakan Polri akan melakukan pemeriksaan tentang kematian sejumlah orang. Tito tampak belum bisa memastikan dan karenanya menunggu penyelidikan tentang penyebab kematian dan pelakunya. Tito beberapa kali menyerukan agar masyarakat tidak buru-buru apriori terhadap polisi, menuduh polisi sebagai pelaku penembakan.
Pernyataan Amien Rais boleh jadi merupakan apriori ketika mula-mula disampaikan. Namun ia jadi fitnah jika Amien tidak melakukan klarifikasi dan men-take down tayangan instagramnya setelah setelah penjelasan polri disertai sejumlah bukti tentang adanya skenario penciptaan martir agar unjukrasa berkembang jadi riot.
Kedua, pernyataan Amien Rais adalah provokasi.
“Karena itu, saudara Tito, saya atas nama umat Islam minta tanggung jawabmu. Ya, Tito jangan buat marah umat Islam” dan banyak kalimat lain patut ditafsirkan sebagai seruan kepada umat Islam untuk bertindak menuntut “pertanggungjawaban” polri dan pemerintah.
Tanpa menghiraukan penjelasan polisi dan kenyataan atau bukti-bukti yang menguatkan penjelasan itu, Amien mengeluarkan pernyataan yang berpotensi membenturkan polisi dengan umat Islam. Agar lebih berdaya menggerakkan lagi, ia tempeli label PKI kepada polisi.
Penempelan label PKI ini sejak dahulu kala berfungsi memberikan legitimasi moral kepada aksi-aksi anarkis kalangan Islam yang terprovokasi karena menyangka mereka melakukan tindakan mulia melawan komunis.
Ketiga, pernyataan Amien Rais justru kian membuktikan kecemasan polisi tentang skenario membuat rusuh melalui penciptaan martir.
Sudah ada bukti penyelundupan senjata. Sudah ada bukti orang-orang membawa senjata ke tengah pengunjukrasa. Sudah terbukti massa dibayar untuk menciptakan mental kerumunan, memancing peserta aksi bertindak anarkis. Korban-korban berjatuhan terbukti.
Bahkan terbukti pula satu hal yang mungkin lupa diwaspadai Menkopolhukam dan tim-nya, yaitu desain mendemoralisasi TNI. Ini adalah mata rantai penting dalam memuluskan skenario riot yang berujung pembentukan pemerintahan sementara atau pemerintahan darurat.
TNI harus dibuat demoralisasi agar mau mendukung pihak pelaku gerakan politik inkonstitusional atau setidaknya berdiri di posisi netral. Jika TNI masih berposisi mendukung pemerintahan yang sah, upaya pembentukan pemerintahan darurat–atau maksimalnya kudeta–sulit terwujud.
Upaya mendemoralisasi TNI tampak melalui cara massa bereaksi ketika prajurit TNI berada di tengah-tengah mereka. Dengan mengelu-elukan kehadiran TNI, pesan yang ingin disampaikan adalah “mari berbaris bersama rakyat. Kita lawan pemerintah dan polisi di seberang sana.”
Reaksi massa di lapangan mengonfirmasi seruan eks Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko bahwa polisi akan bertindak keras sementara tentara tidak; dan bahwa tentara berpangkat tinggi sudah terbeli pemerintah, sementara tentara pangkat rendahan akan memihak rakyat.
Demoralisasi unsur tentara—berujung memihak kubu gerakan politik inkonstitusional atau minimal netral—adalah mata rantai penting dalam penggulingan kekuasaan. Sikap tentara adalah kunci.
Inilah yang terjadi ketika Amerika Serikat mensponsori sejumlah perwira tinggi untuk mengkudeta Presiden Hugo Chavez dahulu. Ini pula –sikap Wiranto sebagai Panglima ABRI—yang menyebabkan gerakan reformasi 1998 bisa lebih cepat berujung kepada mundurnya Soeharto. Ini juga—dukungan dewan prajurit kepada Dewan Buruh dan Komite Tani—salah satu faktor penentu dalam revolusi Rusia.
Mata rantai yang tersisa adalah narasi yang mengarahkan kemarahan rakyat kepada polisi dan pemerintah, menuding jatuhnya korban disebabkan tindakan represif kepolisian.
Siapa yang akan jadi juru propaganda bagi narasi itu?
Mata rantai ini terisi—terisi, bukan diisi menyiratkan asas praduga tak bersalah, yaitu bahwa bisa saja peran itu dimainkan tak sengaja—oleh lontaran pernyataan Fadli Zon dan (yang paling lugas) Amien Rais.
Waspada Skenario “Martir” berlapis
Skenario riot melalui penciptaan martir sudah gagal. Rakyat tidak terpancing amarahnya. Meski begitu, terlalu dini untuk menyimpulkan kelompok yang hendak mengambil kekuasaan secara inkonstitusional akan berhenti mengeksploitasi korban sebagai pintu masuk pencetus riot.
Narasi korban tewas ditembak aparat akan terus dimainkan, dan sangat mungkin dilapisi skenario “martir” baru. “Martir” lapis kedua ini tidak harus korban tewas. Prinsipnya tetap sama, ada orang yang dikorbankan demi bukti narasi aparat represif dan pemerintah tidak demokratis.
Narasi ini penting karena gerakan menggulingkan pemerintahan hanya memiliki legitimasi moral—bagi kalangan rakyat awam—jika saluran-saluran konstitusional dinilai mampet. Unjukrasa yang direpresi brutal, KPU yang curang, dan MK yang tidak bisa dipercaya adalah rangkaian narasi tentang mampetnya ruang demokrasi konstitusional.
Maka penciptaaan “martir” lapisan kedua bisa saja berupa pemenjaraan tokoh ikon perlawanan.
Inilah yang terjadi dengan revolusi mahasiswa di Paris 1968. Gerakan melawan diktator Charles de Gaule belum tentu mampu menyeret massa nonpolitis andai pemerintahan Jenderal De Gaule tidak menangkap dan mendeportasi Cohn-Bendit, pemimpin gerakan mahasiswa Nantes turunan Jerman-Yahudi.
Penangkapan terhadap Cohn-Bendit turut menyebabkan perlawanan mahasiswa yang mula-mula menuntut kekebasan kaum muda (isu kebebasan seksual) dan fasilitas bagi mahasiswa berkembang menjadi perlawanan terhadap “ketidaktatoran.” Ketika bertemu keresahan rakyat terhadap keterpurukan ekonomi, jadilah revolusi demokratik atau jika tak terpimpin ia menjadi riot.
Sangat mungkin ada auctor intellectualis yang membaca potensi Amien Rais menjadi Cohn-Bendit. Tidak tertutup kemungkinan Amien Rais sendiri yang membaca potensi dirinya menjadi ikon perlawanan.
Penangkapan dan penahanan Amien Rais akan diolah menjadi bahan propaganda pemerintah anti-demokrasi, dijadikan energi baru bagi kelanjutan gerakan menumbangkan kekuasaan Jokowi-JK atau menggagalkan pelantikan Jokowi-Ma’ruf dan menggantikannya dengan pemerintahan darurat sementara.
Apa Sebaiknya Tindakan Aparat?
Pemerintah dan aparat keamanan saat ini memang berada dalam dilemma simalakama. Pembiaran terhadap sepak terjang Amien Rais berarti melanggar asas kesamaan di depan hukum sekaligus memelihara corong propaganda gerakan politik inkonstitusional terus efektif.
Sebaliknya penangkapan dan pemenjaraan terhadap Amien Rais juga akan dieksploitasi oleh gerakan politik inkonstitusional menjadi isu demokrasi dan bisa saja menyeret lebih banyak orang melawan pemerintahan Joko Widodo.
Untuk menentukan tindakan yang tepat, aparat dan pemerintah butuh masukan intelijen yang benar-benar teliti, terutama tentang imbangan polarisai serta tentang para cukong pendana dan operator penggerak massa dalam gerakan politik inkonstitusional ini.
Jika Amien Rais hendak ditahan, sebaiknya dilakukan serentak dengan penahanan para cukong pendana gerakan inkonstitusional dan para operator lapisan atas.
Tindakan penahanan serentak akan efektif sebab gerakan ini bukanlah spontanitas yang lahir dari keresahan rakyat oleh keterpurukan ekonomi pun oleh karakter pemerintahan yang tidak demokratis.
Gerakan politik inkonstitusional 2018-2019 ini berdiri di atas fitnah dan perang propaganda yang dilancarkan aliansi kelompok ideologis politik identitas, mantan petinggi militer berkarakter orde baru, dan para cukong yang menyempit aksesnya terhadap rente ekonomi selama pemerintahan Joko Widodo.
Gerakan yang muncul dari atas akan mudah mati jika sumber pendanaan dan operator-operator penggerak massanya dilumpuhkan.
Selamat menimbang dengan teliti sekaligus cepat sebelum kemunduran ekonomi menciptakan persatuan antara operasi politik elit dengan keresahan sosial-ekonomi rakyat. (Sumber: kompasiana.com)