SBSINews – KPK mengingatkan BUMN berhati-hati terkait investasi dari China. Menurutnya, China tak memiliki standar yang baik dalam lingkungan, hak asasi manusia, dan good corporate governance.

Awalnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif berbicara soal Global Fraud Report 2018. Dia mengatakan berdasarkan laporan tersebut yang terbanyak mendeteksi pelanggaran bukanlah pengawas internal karena banyak fraud dilakukan atasan dari pengawas internal itu.

“Bukan mengecilkan arti pengawas internal. Tapi, menurut report itu, biasanya yang paling banyak menyumbangkan untuk mendeteksi fraud bukan pengawas internal. Menurut report ini paling 15 persen,” ujar Syarif di gedung penunjang KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (9/5/2019).

Hal itu disampaikan Syarif saat menjadi pembicara di Seminar Peran SPI (Sistem Pengawasan Internal) di BUMN. Syarif menyatakan kebanyakan deteksi kasus dugaan korupsi disampaikan karyawan yang sudah gerah oleh adanya dugaan pelanggaran. Selanjutnya, Syarif berbicara soal apa saja jenis pelanggaran yang biasa terjadi, antara lain financial statement fraud, korupsi, dan yang paling banyak asset misappropriation.

“Aset kantor jadi aset istri. Kalau kereta api itu kami bantuin. Kami tahu persis panjang rel kereta api zaman Belanda dan hari ini lebih panjang zaman Belanda. Rel kereta api zaman Belanda itu harusnya jadi milik negara, tapi hilang diambil siapa. Akhirnya kita pergi ke Belanda. Semua catatannya ada. Saya nggak pernah tahu dari Gowa ke Makassar dulu ada kereta api, saya lahir nggak lihat itu,” ujar Syarif.

Syarif lalu berbicara soal Location of Improper Payment 2009-2018. Saat menjelaskan hal tersebut, Syarif menyinggung soal keberadaan China yang disebutnya asing dengan good corporate governance.

“Mengapa saya perlu jelaskan. Ini statistik, banyak benarnya menurut saya. Pasti bapak-ibu di BUMN banyak bekerja sama dengan China, saya ulang lagi, dengan China. Good corporate governance di China itu adalah salah satu yang asing bagi mereka. Oleh karena itu, mereka menempati tempat yang pertama fraud improper payment. Mereka invest banyak di sini,” ujar Syarif.

Syarif mengatakan, jika ada investasi dari negara lain, seperti Inggris, Amerika Serikat, atau Uni Eropa, maka ada pengawasan yang ketat dari pemberi investasi. Karena buruknya tata kelola korporasi di China, BUMN harus berhati-hati.

“Kalau China invest di sini, you have to be very, very careful. Environment, what, human right, what, nggak ada. Safe guard mereka nggak seketat seperti perusahaan dari Eropa barat atau Amerika Serikat dan mereka invest banyak di sini. Oleh karena itu, tidak salah ketika kami, PLN itu, dari mana mereka? Dari China. Saya coba kasih contoh saja. Ini memang statistik, tapi ada benarnya. Laporan ke kami makin banyak laporan, saya makin percaya,” ucapnya.

Syarif selanjutnya menjelaskan alasan KPK ikut meyakinkan Mahkamah Agung (MA) membuat aturan soal pidana korporasi. Dia mengaku melihat contoh dari Hong Kong yang 70 persen kasus korupsi di sana terjadi di private sector, termasuk state own companies.

“Mengapa KPK harus ikut berupaya meyakinkan Mahkamah Agung agar tanggung jawab pidana korporasi itu penting dilakukan. Karena kita lihat Hong Kong 70 persen kasusnya private sector including state own companies. Singapura, lebih 90 persen KPK-nya nggak menyasar pejabat publik, karena mereka nggak mungkin lah. New Zealand juga private sector,” tutur Syarif.

Dia mengatakan dulu KPK tidak menyentuh sektor swasta. Namun, karena melihat banyak kasus dugaan korupsi yang melibatkan swasta, KPK mendorong agar korporasi juga bisa dijerat.

“Dulu saya suka bantu KPK proyek pencegahan korupsi di luar. Nggak pernah kerja sama dengan private sector. Karena apa? Takut terkontaminasi lah, tapi kita sadar, kita lihat. Dari jumlah pelaku korupsi, yang paling banyak setelah anggota DPR, paling banyak itu adalah private sector. Nomor dua tertinggi, terus apa cukup kalau kita hanya hukum orangnya? Perusahaannya juga,” kata Syarif.
(Sumber: detiknews)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here