Teman-teman di Gresik pagi ini menyuguhkan berita tentang terputusnya kerjasama RSUD Ibnu Sina Gresik dengan BPJS Kesehatan. Hal ini didasarkan pada pemberitahuan yang disampaikan RSUD Ibnu Sina Gresik bahwa untuk sementara RSUD Ibnu Sina tidak bisa melayani pasien BPJS Kesehatan, kecuali pasien Hemodialisa dan gawat darurat.

Pengumuman ini disampaikan sebagai tindak lanjut terputusnya kerjasama antara RSUD Ibnu Sina dengan BPJS Kesehatan, akibat RSUD Ibnu Sina belum selesai mengurus perpanjangan akreditasi RS. Teman-teman Gresik menilai pengumuman ini akan berakibat langsung terhadap pelayanan kesehatan bagi peserta JKN di sana.

Akreditasi RSUD Ibnu Sina jatuh tempo bulan April lalu dan saat ini sedang menunggu survei yang dilakukan KARS (Komisi Akreditasi RS) untuk proses perpanjangan akreditasinya. Kasus seperti ini juga terjadi di RSAD Udayana dan RSUD Karangasem Bali, namun RSAD Udayana dan RSUD Karangasem saat ini sudah bekerjasama lagi dengan BPJS Kesehatan karena sudah mendapatkan perpanjangan akreditasi.

Memang fakta hukumnya saat ini akreditasi RSUD Ibnu Sina sudah jatuh tempo, ini artinya RSUD Ibnu Sina belum memiliki akreditasi lagi, dan dengan menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no. 71 Tahun 2013 jo. Permenkes No. 99 Tahun 2015 Kementerian Kesehatan langsung menutup kesempatan RSUD tersebut bekerjasama lagi dengan BPJS Kesehatan, karena dalam aturan tersebut akreditasi dijadikan sebagai syarat untuk melakukan kerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Tanpa menilai keberadaan RSUD tersebut yang memang sangat dibutuhkan rakyat, khususnya masyarakat peserta JKN, Bu Menkes langsung memutus kerja sama RSUD tersebut dengan BPJS Kesehatan. Bu Menkes tidak memikirkan bagaimana bertambah sulitnya masyarakat peserta JKN untuk mendapatkan pelayanan di RSUD tersebut. Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa peserta JKN pun terus mengalami persoalan mengakses pelayanan kesehatan di RS RS, nah dengan adanya pemutusan kerjasama ini maka peserta JKN akan semakin sulit mendapat layanan kesehatan karena RS yang bisa melayaninya semakin berkurang jumlahnya.

Tentunhya RS memang wajib melakukan akreditasi dalam upayanya meningkatkan mutu pelayanan secara berkala. Akreditasi RS adalah suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada manajemen rumah sakit dan wajib dilakukan minimal 3 (tiga) tahun sekali, sesuai amanat Pasal, 40 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS.

Apakah ketika RSUD tersebut masih dalam proses re-akreditasi maka dengan serta merta Pemerintah yang diwakili oleh Bu Menkes tidak mengakui lagi kualitas pelayanan RSUD tersebut, dan Manajemen RSUD tersebut dinyatakan telah gagal melayani masyarakat dan merugikan masyarakat sehingga kerjasama harus diputus?

Saya kira tidak begitu. Bu Menkes harus bijak melihat proses ini dan tidak kaku melaksanakan ketentuan hukum positif yang ada. Bu Menkes harus melihat pertama kali bagaimana kondisi riil masyarakat peserta JKN yang sangat membutuhkan RSUD tersebut, dan apa dampaknya bila RSUD tersebut tidak bisa diakses oleh peserta JKN khususnya rakyat miskin. Harusnya UU No. 44 Tahun 2009 dan Permenkes no. 71 Tahun 2013 jo. Permenkes No. 99 Tahun 2015 dilihat sebagai regulasi yang hidup yang berorientasi pada kesejahteraan dan keselamatan rakyat. Lawrence Meir Friedman, ahli sosiologi hukum dari Stanford University, mengingatkan kita bahwa substansi hukum juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).

Bila RS yang belum memiliki akreditasi diberikan kesempatan untuk tetap bekerjasama dengan BPJS Kesehatan hingga 30 Juni 2019, mengapa RS yang sedang melakukan re-akreditasi, artinya RS tersebut sudah memiliki akreditasi sebelumnya, harus diputus kerjasamanya saat ini. Bila mau fair ya harusnya RS yang sedang re-akreditasi juga dikasih kesempatan hingga akhir Juni 2019. Aneh memang bila Menkes lebih percaya kepada RS yang belum memiliki akreditasi dibandingkan dengan RS yang sedang proses re-akreditasi.

Saya kira persoalan akreditasi dan re-akreditasi khususnya untuk RSUD juga harus menjadi perhatian para kepala daerah agar seluruh Direksi RSUD bisa segera mengajukan akreditasi atau melakukan re-akreditasi sehingga pelayanan kepada peserta JKN tidak terkendala. Bila ada Direksi RSUD yang lalai maka kepala daerah harus menegurnya dan bila perlu diganti. Saya menilai para kepala daerah mempunyai tanggungjawab atas pelayanan kesehatan yang baik bagi rakyat.

Oleh karenanya BPJS Watch meminta agar Menteri Kesehatan tetap membuka kerjasama RSUD Ibnu SIna, dan RS RS lainnya yang sedang dalam proses re-akreditasi, dengan BPJS Kesehatan sehingga rakyat peserta JKN dapat terlayani.

Pinang Ranti, 3 Mei 2019

Tabik

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here